Sedang Membaca
Semesta di Balik Makanan
Avatar
Penulis Kolom

Nama lengkapnya M. Mario Hikmat Anshari, almnus FKM UNHAS

Semesta di Balik Makanan

Apa yang dihidangkan di piring makan saat sarapan, atau makan siang atau makan malam, tak bisa kita lihat sebagai pengisi perut belaka. Makanan punya sesuatu yang tak kasat mata. Ada kepercayaaan, nilai, mitos, dan hal-hal lain yang tak sekadar susunan karbohidrat, protein, juga lemak. Makanan itu merupakan sebuah fenomena. Ada semesta perbincangan yang luas di sana.

Seorang dokter cum antropolog, Cecil Helman, melakukan riset dan menemukan bagaimana penduduk suatu daerah memiliki kebiasaan yang berbeda dengan penduduk di daerah lain berkaitan dengan makanan. Dalam buku penting berjudul Culture, Health, and Illness yang terbit pada 1984, Helman membuat kategori makanan ditinjau berdasar perjumpaan manusia dengan alam sebagai produsen pangan yang telah membudaya.
Ada lima kategori mahsyur ala Helman, yaitu; pertama, makanan dan bukan makanan; kedua, makanan sakral dan profan; ketiga, makanan yang digunakan sebagai obat dan obat sebagai makanan; keempat, makanan sebagai simbol status sosial; kelima, makanan paralel.

Lima kategori yang dikemukakan Helman menunjukkan bahwa ada pemaknaan tertentu dari sesendok makanan yang masuk lewat mulut seseorang. Mungkin sesuatu yang religius atau semacam penyembuh dari rasa sakit, atau prestise tentang identitas suatu kelas sosial. Kelindan pemaknaan itu dikontrol oleh ruang, waktu, dan kebudayaan. Tafsir tentang itu diwariskan secara turun temurun, yang barangkali, sudah dimulai sejak zaman nenek moyang.

Dalam sebuah tradisi, misalnya, seseorang dituntut bersikap spesial, dimulai ketika dia ingin memperoleh bahan makanan, termasuk bagaimana cara mengolahnya, mencicipinya, hingga menyediakannya di tempat makan. Bahkan, di tempat lain dan untuk bahan makanan tertentu, ritual perlu digelar agar mendapat berkah sebelum aneka bahan makanan dibersihkan, dipotong, dan dimasukkan ke dalam panci bersama sedapnya aneka aroma bumbu.

Baca juga:  Sastra Etnik Bangsa Kepulauan

Helman yang meneliti pengaruh sosial-budaya terhadap makanan, agaknya cukup terbantu oleh riset Marvin Harris yang secara tak langsung menyinggung ihwal makanan dengan sangat eksploratif. Hasil riset itu termaktub dalam buku yang telah menjadi klasik, Cows, Pigs, Wars, and Witches (1974). Marvin Harris, dengan pendekatan materialnya yang khas, menelaah mengapa orang hindu di India tidak memakan sapi dan orang-orang Islam justru memakannya. Mengapa orang Islam tidak makan babi dan orang-orang kristen memakannya. Di sana tampak determinasi kuat situasi material-ekologis, kebudayaan lokal, terhadap sikap manusia di hadapan rempah-rempah, sayuran, dan daging hewan. Rentetan konsep itu mengikat seseorang untuk patuh secara kultural dan religius. Sebab, apabila ada kesepakatan kolektif tentang pantangan dilanggar, peristiwa buruk diyakini bakal terjadi.

Prosesi makan, juntrungannya, bukanlah semata untuk bikin perut kenyang. Makan juga berarti menjalankan ritus kebudayaan dan kepercayaan. Orang tak bisa asal takar, asal makan. Karena tak semua makanan melulu baik untuk dilahap. Ada makanan yang dilarang, ada pula yang dianjurkan untuk disantap. Aktivitas makan terpahami bukanlah sebuah kesemena-menaan. Yang bersyukur atas makanan juga berarti pemuliaan terhadap lingkungan dan kebudayaan. Nilai di balik makanan memberi dorongan untuk melanjutkan kehidupan, sembari menjaga kekayaan tradisi agar tetap lestari.

Tragedi Terjadi

World Food Programme (WFP), Badan Pangan Dunia, menegaskan bahwa sejak pandemi covid-19 menyerang, ratusan juta orang di seluruh dunia terancam kelaparan. Laporan itu jadi sesuatu yang ironis tatkala hari ini, masih banyak orang tidak menghabiskan makanan di piringnya dan kemudian membuangya begitu saja. Tanpa ada rasa sesal setelahnya.

Baca juga:  Mbah Moen dan Majalah Arab-Pegon

Sementara di tempat lain, kelaparan masih jadi momok mengerikan. Amat banyak orang tak bisa makan karena akses ke bahan pangan tidak murah dan tidak mudah didapatkan.
Miskinnya penghormatan atas makanan terlacak pada kian tereduksinya pelbagai pemaknaan di balik hal tersebut. Makanan dianggap sebagai barang belaka, yang tak memiliki makna kultural, ekologis, dan religius. Dan karena itu, tak mengapa jika makanan disia-siakan. Dicampakkan. Persoalan itu, jika ditarik lebih jauh, tidak terlepas dari praktik politik yang secara struktural, menyebabkan hancurnya fungsi ekologi sebagai penyedia bahan pangan dan terkikisnya pengalaman kebudayaan bagi suatu komunitas untuk menentukan mana bahan yang bisa dan boleh di makan.

Di Indonesia, kasus-kasus pengalihan fungsi lahan maupun hutan, berdampak amat buruk bagi sumber pangan dan kebiasaan makan masyarakat yang tinggal di sekitar lahan tersebut. Kasus yang menyedihkan pernah dan tengah terjadi di Merauke, Papua. Suku Malind –penduduk lokal di sana- lebih akrab dengan sagu, ketela, dan tanaman pangan yang lain. Mereka juga biasa berburu hewan di hutan dengan hati-hati agar tak ada lanskap yang rusak. Orang-orang di sana sudah terbiasa memakan aneka jenis bahan pangan yang disediakan hutan sejak dulu.

Kebudayaan mereka juga menganggap hutan sebagai penyedia obat-obatan, dan karena itu, hutan jadi tempat yang perlu dijaga serta disakralkan. Akan tetapi, salah satu mega-proyek negara berusaha mengonversi hutan yang berperan sebagai pemasok utama sumber pangan penduduk, menjadi perkebunan sawit, padi, dan tanaman lain yang asing bagi orang-orang suku Malind.

Baca juga:  Bergerak dengan Gagasan: Renungan Diaspora Santri

Proyek tersebut, alih-alih menjadi sumber pangan dunia –seperti yang dicanangkan negara-, justru jadi malapetaka pangan bagi penduduk lokal. Mengubah lanskap hutan dan lingkungan di areal tempat tinggal penduduk, juga berarti mengubah struktur ekologis dan sumber makanan utama penduduk secara koersif. Itu artinya, dengan perlahan, turut mendorong penduduk untuk tercerabut dari akar kebudayaan mereka yang kaya, termasuk laku kebudayaan mereka di hadapan aneka makanan. Di titik inilah, dalam makna harfiah, negara terang-terangan mengganggu piring makan warganya sendiri. Negaralah penyebab segala krisis itu terjadi.

Kita harus menginterupsi proyek-proyek negara yang tak berlanggam keberlanjutan. Negara secepatnya harus menyudahi program pembangunan yang melihat masyarakat dari kacamata para penjajah. Dampak buruk cara pandang khas kolonial, selain menimbulkan krisis lingkungan, juga meluluhlantakkan warisan kebudayaan. Dan karena itu, ia juga menghancurkan banyak hal di sekitar kemanusiaan.

Aneka makanan sebagai simbol berkebudayaan di nusantara sudah tentu perlu dijaga. Usaha untuk memuliakan makanan, sekaligus menjaga marwah kebudayaan, perlu dipahami sebagai upaya yang secara struktural, terintegrasi dengan menjaga ekosistem lingkungan sebagai sumber pangan secara berkelanjutan. Memperbaiki satu hal, tak perlu harus mengorbankan dan mengakibatkan krisis untuk hal yang lain. Jika usaha memartabatkan makanan bisa dilakukan beriringan dengan melindungi kelestarian lingkungan dan kekayaan budaya, mengapa harus memilih program yang bikin rugi salah satunya(?).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top