Sedang Membaca
Gus Sholah dan Literasi Pesantren Tebuireng

Dosen di Ma'had Aly KH Hasyim Asy'ari, Tebuireng, Jombang. Selain menulis di jurnal dan buku, Anang aktif menulis esai-esai populer di berbagai media. Buku yang sudah terbit antara lain, Karomah Sang Wali; Biografi KH. M. Adlan Aly Jombang (Pustaka Tebuireng), Aswaja dan KeNUan Pesantren Tebuireng (team) (Pustaka Tebuireng, 2020), dan مختصر جامعة المقاصد للعالمة الشيخ محمد هاشم أشعري (Turats Tebuireng, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Jombang). Aktif di pusat kajian pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari.

Gus Sholah dan Literasi Pesantren Tebuireng

Gus Sholah

Jika berbincang tentang Kiai Salahuddin Wahid dan capaian keberhasilannya di Pesantren Tebuireng, sebagian dari kita mungkin menganggap “Kiai Teknokrat” tersebut laiknya Deus Ex Machina (God From Machine), plot yang mengisahkan orang atau benda yang datang tiba-tiba sebagai solusi atas buntunya jalan cerita, ia memecahkan masalah pelik yang mematikan alur dengan cara yang ajaib dan tak terduga, sangat heroik.

Dalam drama Yunani dan Romawi kuno, Deus Ex Machina sering diperankan sebagai dewa yang turun menjelang akhir cerita dengan derekan mesin, dari sinilah istilah ini dibuat. Atau mungkin seperti Gilgames dalam mitologi Mesopotamia kuno, ia adalah seorang raja di negara Sumeria yang menjadi pahlawan revolusi kerajaannya. Setelah berpulang, ia didewakan oleh rakyatnya yang amat fanatik.

Pada awalnya, saya pun berpikir demikian. Namun setelah beberapa lama berinteraksi dengan Gus Sholah, saya menjumpai kesimpulan yang justru berbeda. Selama kurang lebih lima belas tahun menjadi santri beliau, ada banyak pengalaman dan pelajaran yang saya dapatkan. Layaknya tokoh besar yang lain, semua para penderak Gus Sholah serasa dekat dengan beliau, termasuk saya. Berikut ini sepenggal pelajaran yang saya ambil dari Kiai yang mulai menjejakkan kaki di Tebuireng sebagai pengasuh di bulan Pebruari, dan menutup kisahnya di bulan yang sama. Allah Yarham.

Mengajarkan untuk Berproses

Menjadi sekretaris Pustaka Tebuireng di tahun 2009 membuat saya dapat berinteraksi secara intens dengan Gus Sholah. Tahun itu adalah tahun keempat masa khidmat beliau sebagai pengasuh. Dua tahun sebelumnya, Gus Sholah sudah memulai usaha untuk mengembalikan kejayaan Majalah Tebuireng di era keemasan KH. M. Yusuf Hasyim dan saya belum terlibat banyak. Kala itu Majalah Tebuireng yang berpusat di Jakarta telah menasional, para penulisnya sekelas Prof. Dr. Nurcholis Madjid, Prof. Dr. Emil Salim, Gus Dur, WS. Rendra dan Tokoh Nasional yang lain. Pimpinan Redakturnya saja adalah Dr. KH. Lukman Hakim, Alumni Tebuireng yang sekarang menjadi pimpinan Majalah Cahaya Sufi. Di hadapan kami para pengurus Pustaka dan Majalah Tebuireng (karena beda unit), Gus Sholah menyampaikan cita-citanya untuk mengulang sekali lagi kesuksesan Kiai Yusuf Hasyim di bidang literasi. Namun kali ini, Gus Sholah ingin memulai dari Tebuireng, bukan Jakarta. Dengan sumber daya “seadanya” yang ada di Tebuireng, baik mahasantri atau pun pengurus pondok. Bukan dari alumni yang sudah matang dengan segala title dan karya akademiknya.

Dengan sumber daya yang sangat terbatas, Gus Sholah mengajari untuk berproses dari nol. Jangan dibayangkan Majalah Tebuireng seperti sekarang, pada awalnya majalah atau pun buku Tebuireng sangatlah sederhana. Kesederhanaan itu bisa dilihat dari desain cover, kualitas kertas, konten dan rubrik yang ala kadarnya. Seringkali Gus Sholah memberikan majalah maupun buku berkelas mayor yang sudah beredar di arus mainstream sebagai bandingan, atau mungkin sebagai contoh untuk diduplikat. Baik dari segi desain cover, ukuran, jenis kertas, jumlah halaman, rubrik dan konten. Ya, Gus Sholah mengajak para insan Pustaka Tebuireng untuk merasakan majalah dengan “cita rasa” Ibu Kota, beserta segala detail pesonanya. Kejadian ini tak hanya terjadi sekali atau dua kali, Gus Sholah    

Baca juga:  Ulama Banjar (4): Syekh Salman Al-Farisi

Tidak hanya membebani tugas kepada kami, Gus Sholah juga membimbing secara langsung dengan telaten. Pengalaman Ibu Kota dibawakan Gus Sholah kepada kami, mulai dari konten, penulis, layout hingga manajemen pengelolaannya. Begitu pula dengan buku Pustaka Tebuireng. Tugas pertama yang berikan Gus Sholah kepada Pustaka Tebuireng adalah mengabadikan para Masyayikh Tebuireng dengan menulisnya dalam buku. Kata beliau, ini adalah bentuk penghormatan kita kepada para kiai yang secara ikhlas mengabdi di Pesantren Tebuireng, dahsyat. inilah nilai pertama yang saya dapatkan dari beliau. Saya pun mengerti inilah alasan mengapa Pesantren Tebuireng dapat berkembang pesat seperti sekarang. Ya, karena menghormati para masyayikhnya. Meski dari delapan masyayikh Tebuireng yang beliau tugaskan, namun hanya empat masyayikh yang berhasil dibukukan. Gus Sholah sangat mengerti bahwa kami masih berproses dengan segala keterbatasan kami. Gus Sholah benar-benar menjadi bapak yang membimbing bagi kami.

Mengajari dengan Diskusi dan Menghargai Pendapat 

Pada pertemuan awal, kami diminta untuk membuat outline dari masing-masing buku seri Masyayikh Tebuireng. Semua outline dibahas dan didiskusikan pada pertemuan rutin bulanan. Dalam pertemuan itu, tidak ada kata-kata destruktif yang bernada menyalahkan atau pun mengecilkan hasil kerja kami. Semua didiskusikan dengan fair, hingga dapat diketahui kesalahan dan kelemahan outline buku. Kami dibebaskan untuk  menulis buku dengan kehendak kami. Hal ini menjadikan proyek pengasuh ini serasa proyek pribadi kami. Setiap dari kami diberikan “modal” untuk mencari sumber referensi, yang kebanyakan dari hasil wawancara. Maklum, para masyayikh yang akan dibukukan ini sangat jarang dijumpai tertulis dalam buku-buku. Inilah salah satu alasan mengapa Gus Sholah menginginkan kami untuk membukukan para masyayikh Tebuireng. Di samping itu, juga supaya santri dapat mengenal para masyayikh yang telah mengalirkan keberkahan ilmu di Pesantren Tebuireng dengan ikhlas tanpa disertai tendensi apa pun.

Keterbatasan data tertulis itu membuat kami harus melakukan rihlah dari kota ke kota, menemui banyak tokoh untuk mengumpulkan referensi. Dari sini kami dipaksa untuk keluar dari pagar pesantren ke dunia nyata, berinteraksi dengan banyak tokoh, membuat toor dan list wawancara, setelah itu menulisnya dalam narasi. Tidak mudah untuk dapat bertemu dengan para tokoh. Kesibukan beliau-beliau membuat kami bersabar untuk dapat melakukan wawancara. Sebagian dari para narasumber antara lain KH. A. Mustofa Bisri, KH. Muchith Muzadi, Habib Luthfi bin Yahya, Prof. Dr. KH. Tholhah Hasan, Prof. Dr. Kh. Ma’ruf Amin, Prof. Dr. KH. Ali Musthafa Ya’qub, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siraj, KH. Bashori Alwi, KH. Yahya Cholil Tsaquf dan puluhan kiai lainnya yang tak kalah kharismatik. Selain mendapatkan data, kami juga dibuat Gus Sholah untuk belajar kepada para tokoh besar tersebut. Sungguh kesempatan emas yang tidak akan kami dapatkan di bangku kuliah mana pun kecuali karena lantaran Gus Sholah.

Baca juga:  Obituari: Ajip Rosidi, Membaca dan Menulis Tanpa Akhir

Mendidik menjadi seorang penulis 

Pada masa awal penugasan ini, Gus Sholah menghadirkan alumni Tebuireng yang kala itu tengah menjadi penulis dan kolomnis surat kabar nasional. Ia adalah Zainal Arifin Toha Yogyakarta. Pendiri pesantren menulis ini membagikan pengalamannya untuk menjadi penulis dan cara mencetak santrinya (mahasiswa) menjadi penulis. Banyak hal yang kami serap dari beliau. Bagaimana mengubah keterbatasan menjadi sebuah kekuatan untuk menulis. Bagaimana pula mengumpulkan uang dari menulis, dan dengan uang tersebut dapat merintis pesantren mahasiswa dengan menjadikan menulis sebagai program unggulannya. Para santri binaan kiai penulis ini telah menjadi penulis sehebat kiainya. Hingga beberapa santri dapat membiayai sebagian besar kebutuhan kuliahnya melalui menulis. Kami berpikir, Kiai Zainal Arifin Toha akan membantu kami di Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng (UPPT), di Majalah dan di Pustaka. Namun rencana ini urung dilaksanakan karena Kiai Zainal Arifin Toha berpulang pada 14 Maret 2007.

Sebelum Zainal Arifin Toha, Gus Sholah sendiri telah membagi pengalamannya pada awal-awal beliau mencoba untuk menulis. Gus Sholah bercerita bahwa sebenarnya beliau tidak memiliki bakat bawaan yang istimewa untuk menulis. Kemampuan menulisnya ia dapatkan dari hasil belajar dan kerja keras. Berbeda dengan Gus Dur, yang telah mempunyai bakat menulis semenjak masih duduk di bangku sekolah dasar. Kala itu Gus Dur telah memenangi lomba menulis tingkat Propinsi. Adapun Gus Sholah, beliau mulai belajar menulis ketika masa krisis 1998, yang mana salah satu sumber penghasilan beliau didapatkan dari menulis. Beliau mengaku, telah puluhan kali mencoba mengirikan tulisan ke berbagai media cetak dan surat kabar, namun selalu saja ditolak. Kegagalan itu tidak membuat Gus Sholah patah arang untuk selalu mencoba menulis. Dari kedua tokoh ini kami belajar bagaimana menulis untuk hidup, dan hidup untuk menulis. Gus Sholah telah berhasil mentransfer motivasi menulis kepada kami, dengan tanpa kami sadari.

Tidak berhenti di proyek buku seri Masyayikh Tebuireng yang nama tulisan kami (baik atau buruk) pasti akan diterbutkan, Gus Sholah justru ingin membawa kami kepada arus pergulatan penulis mainstrem. Di suatu pertemuan bulanan, Gus Sholah melempar wacana kepada kami untuk menulis opini di surat kabar nasional. Beliau bersedia untuk menjadi mentor yang baik secara langsung. Tawaran ini beliau sampaikan secara serius, meski kami menganggapnya hanya sebuah mimpi. Kami seruangan terdiam mendengar gagasan Gus Sholah itu. Tidak ada yang mengiyakan niat baik Gus Sholah tersebut. Hingga akhirnya tidak ada satu pun dari kami yang menyetorkan tulisan opini kepada beliau. Tampaknya Gus Sholah telah menyadari keterbatasan wawasan kami, dan tidak pernah menagih kepada kami setelah sekali saja menawarkan gagasan itu. Namun belakangan, beberapa dari kami secara personal berusaha untuk mewujudkan keinginan Gus Sholah tersebut. Ada yang menulis artikel, opini, resensi atau pun cerpen, baik di media cetak maupun di media elektronik, bahkan menulis buku karya sendiri. Saya pun sadar, betapa lembutnya cara kerja Gus Sholah dalam mendidik kami, hingga membiarkan kami berkembang secara alami dan mandiri, tanpa disertai tekanan atau pun tuntutan sedikit pun.

Baca juga:  Mbah Maimoen Zubair Melindungi Anggota PKI dan Memberi Zakat

Membangun SDM sebagai Investasi Jangka Panjang

Pelan tapi pasti, harapan Gus Sholah akan tumbuh kembangnya budaya literasi di Pesantren Tebuireng sedikit demi sedikit mulai menampakkan hasil. Semua insan pustaka berproses dari hulu ke hilir, dari lembah ke bukit. Kini geliat literasi di Pesantren Tebuireng begitu terasa. Sudah ratusan buku telah diterbitkan Pusata Tebuireng. Lembaga yang tengah memasuki dasawarsa kedua itu telah mapan. Dari yang awalnya defisit hingga menuai profit. Lantas dari segi mana keberhasilan itu bermula? Keberhasilan itu diraih tidak lain bermula dari pengembangan Sumber Daya Manusianya (SDM), bukan lembaganya. Jika kualitas SDM diangkat, secara otomatis kualitas Lembaga juga ikut terangkat. Selain itu, pembangunan SDM akan menjadi investasi jangka panjang. Dengan mempertimbangkan bahwa SDM akan selalu berkembang seiring dengan jalannya waktu.

Logika tersebut sangat sesuai dengan kaidah mubtada’ dalam bait Alfiyah ibn Malik, wa rafa’u mubtada’a bi al-ibtida # kadzaka raf’u khabarin bi al-mubtada’. Mereka (bangsa Arab) merafa’kan mubtada’ karena sebab (amil ma’nawi) ibtida’. Demikian pula rafa’nya khabar disebabkan oleh mubtada’. Kaidah ini menyiratkan bahwa SDM yang menjadi aktor utama sebagai sandaran keberhasilan lembaga (mubtada’ sebagai musnad ilaih) harusnya memang diangkat kualitasnya (marfu’), sebab ia berada di garda depan dalam mengelola Lembaga tersebut (ibtida’). Jika demikian, maka keberhasilan Lembaga yang disandarkan kepada SDM (khabar sebagai musnad) secara otomatis kualitasnya juga akan ikut terangkat (marfu’), karena sebab kualitas SDMnya (mubtada’). Benar saja, setelah Majalah dan Pustaka Tebuireng berkembang dengan SDM yang telah mengalami kaderisasi, muncul beberapa kelompok baru yang saling mendukung dalam hal literasi. Bahkan kelompok baru ini lebih mengarah kepada literasi digital. Sebut saja Kopi Sareng (Komunitas Pecinta Sastra Tebuireng), Kopi Ireng (Komuitas Photography Tebuireng), Tebuireng.online, dan Maksi (Rumah Produksi) Tebuireng. Bahkan Maksi Tebuireng ini telah bekerja sama dengan PP. Muhammadiyah dalam menggarap Film Biografi KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan dalam judul Jejak Langkah 2 Ulama yang telah rilis di awal tahun 2020 ini. Hingga semua lambaga literasi yang ada, disatukan dalam wadah Tebuireng Media Grup.

Kiprah dan Keteladanan Gus Sholah akan selalu dikenang, bukan untuk mendewakan beliau, akan tetapi untuk terus bergerak melangkah kepada menuju harapan ideal Gus Sholah. Dari sini semua menjadi jelas bukan?, Gus Sholah bukanlah sebuah Deus Ex Machina yang secara magis, mencapai keberhasilan secara tiba-tiba tanpa melewati suatu proses. Bukan pula seperti Gilgames yang mewariskan romantisme historis. Namun keberhasilan itu dicapai dengan cara berproses dan belajar secara kontinyu. Bukan hanya sekedar sentuhan magis, dan bukan pula hanya dengan bermodal romantisme historis belaka. Namun justu dengan terus belajar dan berproses akan selalu melahirkan keajaiban demi keajaiban. Lahu al-fatihah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top