Pada bulan Mei lalu, Tim Gambang Syafaat cabang Semarang merayakan ulang tahun Emha Ainun Najib (Cak Nun) ke-67 dengan menulis buku. Kehadiran buku berjudul Begini Begitu Emha: Cerita Kecil dari (Surat) Pembaca (2020) merupakan wujud syukur para santri (Maiyah) atas bertambahnya usia Emha.
Mereka mendokumentasikan hal-hal yang berkaitan tentang Emha yang tersebar di berbagai majalah lawas. Para penulis berusaha memperkenalkan Emha kepada para pembaca dari hasil telaah data sejarah. Mereka menyelipkan kisah-kisah surat pembaca, puisi, esai, liputan tentang Emha dari kliping majalah Panji Masyarakat, HumOr, Tempo, Gatra, dan Horizon. Peristiwa yang terhimpun di buku ini merupakan rekam jejak perjalanan dakwah Emha sebagai sastrawan sekaligus agamawan yang menyebarkan Islam di jalur kultural.
Emha merupakan sosok agamawan yang karismatik dan digandrungi semua elemen masyarakat muslim di Indonesia. Realitas ini bisa dibuktikan dari ceramah-ceramahnya bersama KiaiKanjeng di berbagai penjuru kota. Segala bentuk dakwah Emha bersama KiaiKanjeng selalu menyebarkan nilai-nilai spiritualitas dan toleransi umat beragama. Ribuan jamaah selalu hadir untuk “sinau bareng” dan ngaji rohani bersama Emha.
Pemilihan penamaan “sinau bareng” yang sering diucapkan Emha menjadi identitas syiar yang berbeda dari para ustaz pada umumnya. Emha memandang bahwa syiar dakwah semestinya bukanlah tindakan ustaz yang selalu bersikap otoritatif dalam menyampaikan ceramah untuk dipahami umat secara absolut. Emha justru mengatakan semestinya dalam berdakwah lebih mementingkan adanya dialog-interaktif di dalam menyampaikan keresahan atas persoalan keagamaan.
Dialog-keagamaan inilah yang kemudian kita bisa membacanya di esai berjudul Emha Jangan Sinis yang ditulis Muhamad Yunan Setiawan. Yunan menelusuri alasan-alasan Emha memilih kata “Sinau Bareng” di setiap pengajiannya. Yunan cukup berhasil menjelaskan tentang pemilihan kata sinau bareng yang bersumber dari majalah. “Penamaan “Sinau Bareng” dalam setiap acaranya bersama KiaiKanjeng hendak memosisikan warga dan jamaah tidak sebagai objek yang terus dituntut mendengarkan ceramah.
Namun, ada juga kesempatan kepada jamaah naik panggung untuk berbagi cerita, pengalaman, dan pergulatan hidup. Cara ini dilakukan untuk mencari dan menemukan kisah-kisah kebajikan yang kerap bersembunyi di balik orang-orang yang sulit mendapatkan tempat berbagi (hlm.25)”.
Dialog-interaktif seperti ini merupakan langkah progresif yang ditempuh Emha untuk menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan. Pesan ini telah menyatu dengan iringan musik tradisional yang disandingan sebagai tanda bahwa Islam juga bergerak melalui laju suara.
Emha mewarnai dakwah dengan irama yang KiaiKanjeng mainkan sebagai wujud perpaduan kebudayaan dan kesenian yang menyatu. Di sinilah letak perbedaan konsepsi dakwah pada umumnya. Bahwa apa yang dilakukan Emha adalah kerja pendakwah yang memiliki sikap keterbukaan pandangan dari setiap pikiran para jamaahnya.
Hal itu dapat dibuktikan tatkala kita membaca esai-esainya yang pernah terbit di majalah Tempo. Tulisan tersebut diterbitkan menjadi buku berjudul Slilit Sang Kiai (1994). Emha banyak menulis esai-esai dari hasil dialog tanya-jawab dari para jamaahnya. Salah satu esai yang menarik berjudul Maha Satpam.
Di sebuah pengajian, seorang pemuda bertanya kepada Emha kenapa ia bersikap toleran kepada orang-orang yang datang ke kuburan untuk meminta-minta sekaligus menuduh orang-orang tersebut melakukan syirik, perbuatan yang dilarang agama.
Emha memberikan penjelasan secara filosofis dan mendalam tentang tradisi ziarah kubuh yang banyak dilakukan masyarakat Indonesia. Ia memaparkan temuan-temuan di lapangan perdesaan bahwa orang yang berziarah tidak serta merta meminta kepada roh atau orang yang sudah meninggal, melainkan bisa saja orang-orang tersebut mendoakan sanak keluarga serta mengingatkan dirinya akan kematian.
Emha lalu menulis “syirik itu letaknya di hati dan sikap jiwa, tidak di kuburan atau di kantor pemerintah. Sebaiknya kita jangan gemampang, jangan terlalu memudahkan persoalan dan gampang menuduh orang. Saya terharu Anda bersedia memerangi syirik sampai titik darah penghabisan, namun saya juga prihatin menyaksikan Anda bersikap begitu sombong kepada orang miskin”.
Emha menanggapi setiap diskursus perbedaan keagamaan, fikih, beda mazhab, dengan cara terbuka tanpa mengatakan sesat-menyesatkan. Problem sosial-keagamaan ini justru jarang kita temui dan dibahas dalam forum-forum pengajian para ustaz dan dai baru. Persoalan ini bisa jadi salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Bahwa tidak adanya dialog-interaktif antar pemahaman yang berkembang dapat melumpuhkan paradigma Islam agama yang memiliki sikap keterbukaan ke sesama manusia.
Tantangan semacam ini masih saja menjadi perbincangan yang eksklusif akibat minimnya pertukaran pemikiran umat Islam di Indonesia. Tulisan-tulisan yang terhimpun di buku ini adalah catatan perjalanan dakwah Emha yang menempatkan budaya sebagai pendekatan untuk memahami Islam. Sebab mempelajari sosial-budaya masyarakat merupakan cerminan untuk memahami identitas kolektif: agama, kultur, entis, yang banyak mengalami perbedaan.
Barangkali menurut Emha perbedaan adalah anugerah dan hikmah yang harus dihargai dan dihormati. Sehingga perlu adanya banyak ruang-ruang pengajian yang lebih bersifat inklusif untuk menerima keberagaman masyarakat di Indonesia.
Judul Buku : Begini Begitu Emha: Cerita Kecil dari (Surat) Pembaca
Penulis : Muhamad Yunan Setiawan, dkk
Penerbit : Beruang
Tebal Buku : 122 halaman
Cetakan : Mei, 2020
ISBN : 978-623-926-919-7