M. Rosyid HW
Penulis Kolom

Bergiat di LESBUMI NU Malang dan Asisten Peneliti di Kajian Melayu, National University of Singapore.

Membaca Misi Kenabian dalam Puisi-Puisi Gus Mus

Gus

Pada 12 Maret 2011, Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) membacakan sajak-sajaknya di Semarang. Sebelum pertunjukan dimulai, kiai dari Rembang ini berujar “Anda sekalian sudah menikmati syair-syair dari penyair sungguhan, sekarang sudah waktunya anda menikmati syair-syairan dari penyair-penyairan.”Hadirin pun tergelak dalam tawa. Memang, Gus Mus tak pernah mendaku penyair meski telah menerbitkan sembilan buku kumpulan puisi dan seringkali membacakan sajak-sajaknya dalam pentas-pentas kebudayaan.

Dalam acara yang bertajuk Membaca Indonesia itu, empat sajak Gus Mus yang berjudul “Negeriku”, “Di Negeri Amplop”, “Negeri Haha Hihi” dan “Aku masih sangat hafal nyanyian itu”meluncur dengan diselingi riuh tepuk tangan dan ledak tawa penonton. Gus Mus menyuguhkan puisi-puisi yang sarat akan kritik sosial. Kalimat-kalimat seperti penegak keadilan jalannya miring, wakil rakyat baunya pesing, sekali dayung dua pulau terlampaui/sekali untung dua pulau terbeli, gajah mati meninggalkan gading/harimau mati meninggalkan belang/kalian mati meninggalkan hutang berhasil menyentak kesadaran tentang kebobrokan negeri dengan nada satir dan menyindir. Gus Mus menyebut puisinya sebagai puisi balsem. “Anda senang sekali, merasa tercerahkan sebentar, lalu pening lagi,” tegasnya.

Sebagai kiai dan sekaligus seorang penyair, Gus Mus adalah teks yang unik dan menarik. Kenapa, misalnya, Gus Mus sebagai kiai lantas menulis puisi? atau kenapa Gus Mus menyebut dirinya sebagai penyair-penyairan, bukan penyair betulan? Mengapa puisi Gus Mus mengandung unsur kritik sosial? Mengapa Gus Mus memilih puisi balsem sebagai bentuk estetik puisinya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat kita temukan jawabannya dari buku Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Muskarya Abdul Wachid BS.Buku ini secara ilmiah dan argumentatif menjelaskan proses kreatif KH. Mustofa Bisri dalam menulis puisi; mulai dari latar belakang pendidikan-intelektualnya hingga pemaknaan hermeneutis atas puisi-puisinya.

Baca juga:  Sabilus Salikin (90): Wirid-wirid Suhrawardiyah (1)

Buku ini seakan membuktikan bahwa Mustofa Bisri adalah benar-benar penyair. Dengan amatan yang jeli, penulis buku ini menjelaskan rancang bangun puisi-puisi kiai yang tidak terlepas dari genealogi intelektualnya, akar kultural sosialnya, pandangan dunia dan ideologinya. Puisi-puisi Gus Mus, bagi Wachid BS, memiliki niat yang kokoh (umat yang bermanfaat), makna dan tema yang jelas (representasi misi kenabian), serta ekspresi estetis yang khas (puisi balsem).

Sajak-sajak Gus Mus sejalan dengan misi kiai-ulama’ yang mengemban semangat-semangat kenabian. Semangat kenabian tersebut, seperti yang ditulis oleh Kuntowijoyo, bersumberkan dari nash Al-Qur’an; yaitu surat Ali Imron ayat 110 yang dapat disarikan menjadi tiga laku; amar ma’ruf dalam artian menyuruh kepada kebaikan, nahi munkar yang berarti mencegah kemungkaran dan tu’minuna billahsebagai manifestasi keimanan. Maka, puisi-puisi Gus Mus adalah laku ibadah untuk menganjurkan kebajikan dan melarang keburukan dengan berlandaskan iman kepada Tuhan.

Abdul Wachid BS mencontohkannya dengan puisi Gus Mus berjudul “Sajak Dor Dor Hure Dua” yang sejalan dengan spiritnahi munkar yang berupa pembebasan manusia secara sosial (hal.98).

Dor! /Hidup Ketuhanan yang Maha Esa/ Dor! Dor! /Hidup Kemanusiaan yang Adil dan Beradab/ Dor! Dor! Dor! / Hidup Persatuan Indonesia / Dor! Dor! Dor! Dor! / Hidup Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan/ Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! / Hidup Keadilan Sosial Bagi Seluruh Indonesia/ Dor! / Dor! / Dor! / Dor Pancasila! / Dor! Dor! (1983)

Puisi ini adalah bentuk protes dan sindiran atas kekuasaan Orde Baru dimana banyak manusia menghilang atau mati tertembak dengan mengatasnamakan Pancasila. Pancasila menjadi jargon rezim untuk menyingkirkan dan membasmi siapapun yang tidak sejalan dengan keinginan kekuasaan. Puisi Gus Mus seakan ingin ‘membebaskan’ manusia dari cengkeraman pemerintah yang otoriter dan sewenang-wenang.

Baca juga:  Saatnya Pesantren Bangkit

Misi kenabian seperti yang diuraikan di atas tidaklah tercipta dari ruang-ruang kosong, tetapi berakar kuat pada latar belakang pendidikan dan intelektual Gus Mus yang berasal dari pesantren. Buku ini menyebutkan bahwa sajak-sajaknya memiliki kekhasan tersendiri karena tiga hal. Pertama, keterpengaruhan yang kuat dari ulama-ulama terdahulu seperti Hamzah Fansuri, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Hamid, Kiai Bisri Mustofa, Kiai Ali Maksum dan Syeikh Ihsan Jampes. Kedua, pemahaman yang mendalam atas ilmu-ilmu sastra arab seperti balaghah, mantiq dan bayan untuk mengapresiasi keindahan Al-Qur’an. Ketiga, puisi sebagai manifestasi untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama manusia.

Gus Mus menyebut puisi-puisinya sebagai puisi balsem. Hal ini merupakan strategi estetiknya untuk mengungkap realitas dan penyakit sosial secara telanjang.Sajak-sajaknya dipenuhi dengan bahasa sehari-hari yang cenderung populer dan sederhana namun menohok secara lugas, jenaka, satir dan penuh ironi. Laksana balsem, puisi Gus Mus memberikan efek panas nan nikmat yang membuka kesadaran reflektif. Kesadaran akan eksistensi manusia yang memiliki hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam.

Sebagaipenelitian disertasi, buku ini memiliki banyak istilah dan konsep ilmiah yang cukup menyulitkan dalam pembacaan sehingga memerlukan ketelatenan yang berlebih. Di sisi lain, sebagai buku akademik,Suminto Sayuti dalam kata penutup menyebutkan bahwa pada mulanya riset Wachid BS sedikit keluar dari lajur teoritiknya hingga pembahasannya menjadi bertele-tele dan terlalu panjang. Namun, ‘pelanggaran akademik’ itu pula yang malah membuat analisis terhadap puisi-puisi Gus Mus menjadi irama yang padu.

Baca juga:  Kisah Gus Dur dan Isu Sektarianisme Era Orba

Di tengah-tengah kegersangan catatan dan kritik sastra, buku ini seperti oase yang menyuguhkan pembacaan terhadap substansi puisi salah satu penyair dari banyak penyair yang muncul pada kurun waktu 1980an. Sebuah upaya dari Wachid BS yang layak diapresiasi karena telah mengisi sedikit lubang sejarah dan kritik sastra yang masih banyak menyisakan nganga.

Akhirul kalam, penelitian buku ini menunjukkan bahwa laku kiai dalam menulis puisi merupakan langkah yang sejalan dengan misi kenabian agar manusia senantiasa menjalin relasi yang baik dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan alam. Sehingga, tatkala ulama adalah pewaris para nabi, maka tutur-tutur kiai yang menjelma menjadi syair-syair adalah suara-suara profetik untuk melukis keindahan kemanusiaan dan keislaman.

 

Judul Buku     : Dimensi Profetik dalam Puisi Gus Mus; Keindahan Islam dan Keindonesiaan

Penulis : Abdul Wachid B.S.

Penerbit        : Penerbit Nuansa Cendekia

Cetakan        : Februari 2020

Tebal            : 346 halaman

ISBN             : 978-602-350-535-7

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top