Kalau di Jawa ada makam wali, maka di Ternate ada ‘jere’. Jere ini sebutan lain dari makam wali yang tidak diketahui namanya. Masyarakat setempat, khususnya dari kalangan adat, sering ziarah ke tempat (jere) ini.
Letak jere pun unik, tepat di puncak gunung Gamalama, Ternate. Setiap puncak gunung yang ada Maluku Utara, seperti di Ternate, Tidore, dan Makian, punya jere-nya masing-masing. Tidak hanya di puncak gunung, jere pun juga ada di pesisir pantai.
Masyarakat meyakini bahwa jere ini timbul dari perut bumi dan hadir begitu saja di atas permukaan tanah atau bebatuan. Siapa sang pemilik jere ini? Tidak ada yang mengetahuinya. Namun, ada penyebutan yang di sandarkan pada sang pemilik jere ini, masyarakat memanggilnya momole.
Sebutan momole berasal dari kata tomole yang artinya ‘kesungguhan dalam tindakan’. Momole ini berjumlah empat orang, masing-masing bernama Duturu Malamo, Bela Malamo, Tolu Malamo, dan Hai Malamo.
Duturu Momole bertugas menjaga langit agar tidak runtuh. Bela Malamo bertugas menerangi bumi. Tolu Malamo bertugas menjaga keselamatan bumi. Terkahir Hai Malamo bertugas menjaga ketertiban bumi.
Tugas dari keempat momole itu ialah membantu keempat Sultan yang ada di Maluku Utara (Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo). Rakyat pun bisa memperoleh bantuan dari momole jika di perlukan. Untuk itu, masyarakat harus mengunjungi tempat momole ini berdiam, yakni di puncak gunung Gamalama, dan berdoa demi keselamatan dan ketertiban bumi. Ritual ziarah ini dinamakan “Ferekie”, berdoa kepada Tuhan agar hubungan rakyat dengan momole baik. Jika hubungan rakyat dengan momole ini baik maka bumi pun akan menjadi lebih baik.
Ritual Ferekie dapat di maknai dari syair ‘jou se ngofa ngare’ yang telah menjadi falsafah hidup masyarakat di Maluku Utara, khususnya di Ternate dan sekitarnya. Makna filosofi dari syair itu ialah pertalian hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Jika kita mencermati syair tersebut, sangat terlihat jelas hubungan (relasi) antara masyarakat setempat dengan momole, serta efeknya pada keseimbangan alam semesta.
Pertanyaannya ialah bagaimana kita melihat ritual ferekie? Yakni ketika masyarakat berziarah ke jere (makam momole) yang terletak di puncak gunung Gamalama?
Terkadang, ritual ini di pandang sebagai bid’ah dan khurafat. Padahal memaknai ritual Ferekie tidak semudah itu. Memaknai ritual Ferekie harus bertumpu pada dua syarat utama.
Pertama, ritual ini harus di pandang secara epistimologi-relasional, yakni setiap ritual harus dipandang dari perspektif kemanusiaan, bersifat bebas-kreatif, untuk kemaslahatan bersama. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam syair ‘jou se ngofa ngare’ di atas.
Kedua, ritual ferekie ini juga harus di pandang secara hermeneutik, yakni apa yang melandasi masyarakat setempat berperilaku (ritual Ferekie) demikian. Jika kita tengok semangat dari ritual ferekie ini, sebagaimana juga yang tertuang dalam syair ‘jou se ngofa ngare’, sebenarnya punya spirit yang sangat positif, yakni demi menjaga keseimbangan alam.
Terkait kedua syarat di atas, ulasan singkatnya dapat di lihat (di https://alif.id/read/m-kashai-ramdhani-pelupessy/tradisi-masyarakat-maluku-aktualisasi-diri-hamba-allah-b220306p/).
Dengan memahami kedua syarat ini, membuat kita tidak mudah menjustifikasi ritual Ferekie sebagai bid’ah atau khurafat, melainkan sebagai spirit untuk kemaslahatan bersama. Sebagaimana juga yang menjadi spirit Islam yakni rahmatan lil ‘alamiin. Semoga ritual ferekie ini terus di praktikkan oleh masyarakat setempat demi kemaslahatan bersama. Aamiin. Wallahua’lam.
menjalani hidup harus seimbang…. Hubungan antara Kita manusia dengan Sang Pencipta, Manusia dengan Alam serta Manusia dengan Manusia sendiri….
Dulu pemikiran saya bahwa ziarah atau apapun yang dinisbatkan dgn tradisi adalah hal yang tidak boleh dilestarikan dengan alasan bidah