Sedang Membaca
Hubungan Tasawuf dan Ekologi: Menyikapi Fenomena Perubahan Iklim

Dosen Psikologi IAIN Ambon.

Hubungan Tasawuf dan Ekologi: Menyikapi Fenomena Perubahan Iklim

Ilustrasi. Sejumlah negara di Asia mengalami gelombang panas ekstrem. Foto: Getty Images

Sependek yang saya tahu bahwa tasawuf ini berkaitan dengan upaya seseorang melakukan ‘tazkiyatun nafs’ (pembersihan jiwa). Segala apapun yang berkaitan dengan dorongan hawa nafsu destruktif akan dikontrol melalui teknik ‘tazkiyatun nafs’ ini. Hawa nafsu merusak diri sendiri, merusak orang lain, dan juga merusak terhadap alam, ini semua harus dikontrol agar ke-diri-an manusia tetap berada di jalan yang lurus (benar)

Pada prinsipnya, ‘tazkiyatun nafs’ merupakan teknik reflektif agar seseorang selalu menghitung-hitung dirinya sebelum bertindak. Menghitung-hitung diri yang saya maksud disini adalah berkaitan dengan sikap ke-hati-hati-an sebelum bertindak. Hati-hati melakukan sesuatu. Misalnya, apakah yang saya lakukan sudah benar secara teologis yakni sesuai dengan rambu-rambu ke-iman-an atau belum? Pertanyaan ini sesungguhnya adalah pertanyaan reflektif.

Melalui ‘tazkiyatun nafs’ maka seseorang akan selalu melakukan refleksi sebelum bertindak. Dengan kata lain, ‘tazkiyatun nafs’ merupakan teknik mawas diri. Uniknya, Tuhan menciptakan hati untuk selalu melakukan mawas diri tersebut. Dalam kajian tasawuf, seseorang yang sering melakukan ‘tazkiyatun nafs’ akan menghantarkan dirinya (jiwanya) pada tingkat ‘nafs muthmainnah’ (ketenangan; damai; bahagia). Tingkat muthmainmah merupakan puncak kesehatan jiwa manusia.

Dampak dari individu yang jiwanya sudah sampai pada level muthmainmah adalah segala apapun yang dilakukannya merupakan pancaran cahaya Ilahiah. Kemanapun wajahnya tertuju, gerak langkahnya, pikirannya, tangannya, dan semua hal yang berkaitan dengan dirinya, ini semua merupakan pancaran Ilahiah. Karena itulah, seseorang akan selalu merasa tenang dan damai dalam bertindak (baik itu sebelum bertindak maupun setelah bertindak).

Lalu, apa kaitannya ‘tazkiyatun nafs’ dalam kajian tasawuf dengan ekologi? Saat ini, kondisi ekologi kita sangat mengkhawatirkan. Suhu bumi diprediksi akan naik terus akibat emisi karbon yang disebabkan oleh gas knalpot mobil, motor, dan mesin uap dari sejumlah perusahaan. Beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2021, ada pertemuan akbar yang disebut pertemuan COP26, pertemuan ini melibatkan banyak negara semua menyepakati untuk menurunkan suhu bumi menjadi dibawah 1,5 derajat Celsius. Artinya, fenomena suhu global sekarang sangat mengkhawatirkan.

Baca juga:  Makna Relasi Tuhan dan Insan dalam Sebilah Pusaka

Belum lagi masalah pengundulan hutan secara sembarangan, dan gentrifikasi marak terjadi, hal ini tentu akan selalu memperparah kondisi ekologis kita sekarang ini. Anehnya lagi, ada beberapa argumentasi yang datang dari sebagian kalangan akademisi mengatakan bahwa pada prinsipnya alam itu bisa mereparasi dirinya sendiri sehingga upaya untuk mengeksplorasi alam tidak apa-apa. Padahal, alam itu butuh waktu untuk mereparasi dirinya sendiri. Mungkin butuh waktu 100 tahun, 200 tahun dan bahkan lebih daripada itu.

Sementara di satu sisi, usia biologis manusia sekarang ini terbatas. Angka harapan hidup paling tinggi mungkin hanya sampai 80 tahun. Kalaupun ada manusia yang berusia sampai diatas 80 tahun, maka ini hanya bonus saja. Paling tidak, usia yang lebih itu digunakan untuk melakukan pertobatan.

Bayangkan, usia biologis manusia terbatas, sementara alam yang sudah rusak butuh waktu melebihi usia biologis manusia yakni di atas 100 tahun untuk mereparasi dirinya, ini menunjukkan bahwa kerusakan alam yang terjadi akan ditanggung oleh generasi berikutnya. Problem rusaknya alam ini adalah tidak lain karena ulah manusia. Hewan dan tumbuhan mustahil merusak tempat tinggalnya sendiri. Hanya manusia-lah dengan kemampuan nalarnya menyibak alam sehingga alam menjadi rusak sekarang ini.

Anehnya, ada segelintir manusia sekarang ini yang masih meyakini bahwa dengan kemampuan nalarnya maka ia mampu memperbaiki alam yang sudah rusak dengan cepat. Padahal, lagi-lagi, meskipun manusia dengan kemampuan nalarnya sekalipun, ini pun juga butuh waktu bagi alam untuk mereparasi dirinya sendiri. Artinya, implementasi nalar manusia dalam memperbaiki alam pun harus mengikuti nalar alam. Dengan kata lain, alam punya kemauannya sendiri, dan mau-tak-mau manusia harus memahami kemauan alam.

Baca juga:  Ngaji Rumi: Mengenal Konsep Manusia dalam Kitab Matsnawi

Kerusakan alam yang dialami sekarang ini secara tidak langsung telah mengaktifkan tanggungjawab manusia untuk harus menyelesaikannya. Tanggungjawab ini muncul karena manusia sudah merasa bersalah akibat perbuatan destruktifnya terhadap alam. Ada juga muncul kekhawatiran terhadap masa depan bersama, ini juga turut membangkitkan tanggungjawab untuk menyelesaikan kerusakan alam yang terjadi sekarang ini.

Bagaimana manusia bisa tenang? Sementara kehidupan di sampingnya rusak parah? Kekhawatiran ini mendesak manusia harus berusaha menjaga kelangsungan hidup bersama. Dalam kajian tasawuf, rasa penyesalan dan kekhawatiran terhadap masa depan ini masuk pada kategori ‘nafs lawwamah’. Ada tiga tingkatan kategori nafs (jiwa) yang diberi Tuhan terhadap manusia, yakni ‘nafs ammarah bissu’, ‘nafs lawwamah’, dan ‘nafs muthmainmah’. Dinamika psikologis dari ketiga tingkatan nafs (jiwa) tersebut sebagai berikut.

Awalnya, manusia bertindak destruktif terhadap alam yakni dengan mengeksplorasi dengan tujuan mengeksploitasinya. Ketika manusia bertindak destruktif terhadap alam, maka ini merupakan gejala dari ‘nafs ammarah bissu’. Seiring berjalannya waktu, rupanya alam semakin rusak dan memberi efek psikologis yakni kekhawatiran, ketidaknyamanan, dan ketidakbahagiaan. Rasa khawatir yang muncul pasca tindakan destruktif terhadap alam ini merupakan gejala ‘nafs lawwamah’, yakni jiwa manusia menyesal atas perbuatan destruktifnya sehingga alam menjadi rusak. Dengan kata lain, ‘nafs ammarah bissu’ telah memicu melahirkan gejala ‘nafs lawwamah’ yakni jiwa yang menyesali perbuatannya.

Baca juga:  Mengenal Lebih Dekat Sosok Sahl bin Abdullah al-Tustari: Tokoh Sufi dalam Islam

Lambat laun, karena sudah menyesal maka jiwa manusia berusaha mencari untuk menemukan ketenangan jiwa. Melalui ‘tazkiyatun nafs’, manusia berusaha mencari ketenangan tersebut. ‘Tazkiyatun nafs’ akan menghantarkan manusia sampai pada suatu titik dimana ia ber-taqarrub (mendekati) cahaya Ilahi. Dengan ber-taqarrub maka manusia mengenali siapa dirinya di tengah alam semesta. Disinilah hakikat:

Siapa mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya. Dan siapa mengenal Tuhannya maka ia akan selalu berhati-hati dalam bertindak baik terhadap orang lain maupun terhadap alam semesta secara keseluruhan.

Kondisi jiwa pada level ini disebut ‘nafs muthmainmah’. Efek dari kondisi jiwa ini adalah ketenangan, kebahagiaan, dan kesejahteraan psikologis, karena manusia sudah menyadari dirinya tidak akan bertindak destruktif lagi terhadap alam yang pada ujungnya menyengsarakan jiwanya sendiri. Inilah dinamika psikologis dari tiga tingkatan jiwa tersebut yakni, ‘nafs ammarah bissu’, ‘nafs lawwamah’, dan ‘nafs muthmainmah’.

Kondisi jiwa manusia bisa sampai pada level ‘nafs muthmainmah’ apabila ia selalu meritualkan dzikir (sholawat), dll. Manusia yang jiwanya sudah sampai pada level ‘nafs muthmainmah’ ini akan membuatnya lebih berhati-hati dalam bertindak destruktif terhadap alam. Sebab, jika manusia bertindak destruktif terhadap alam, maka sama halnya ia telah merusak dirinya sendiri. Simtomnya adalah jiwanya selalu merasa tidak tenang, penuh kegelisahan dan kekhawatiran. Dengan demikian, orang yang selalu melakukan ‘tazkiyatun nafs’ sebagaimana menjadi substansi dalam kajian tasawuf, maka ia (orang tersebut) akan selalu menjaga relasi harmonis dengan alam semesta. Disinilah letak tasawuf dan ekologi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top