Sedang Membaca
Secangkir Kopi, Bisik Rindu: Modiano, Mahfuz, dan Kafe-Kafe yang Merajut Jiwa
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Secangkir Kopi, Bisik Rindu: Modiano, Mahfuz, dan Kafe-Kafe yang Merajut Jiwa

Najib Mahfuz dan Patrick Modiano

Di sebuah kafe kecil di Paris, dindingnya memudar laksana surat cinta yang dilipat berulang-ulang. Lampu temaram menciptakan bayang-bayang yang berbisik ihwal janji yang terlupa. Secangkir espresso mengeluarkan uap tipis, dan di meja kayu yang penuh goresan, seseorang membaca novel Patrick Modiano, jari-jarinya menelusuri kalimat-kalimat yang larut dalam kabut, seperti mencari kekasih yang hilang.

Jauh di Kairo, di kafe yang diterpa debu dan nyanyian pedagang, seorang tua menyeruput kopi hitam dari cangkir kecil, matanya mengembara ke jalanan, seolah melihat karakter-karakter Najib Mahfuz menari di antara kerumunan, membawa cerita cinta yang abadi. Kopi, kafe, dan nostalgia—tiga elemen ini bukan sekadar latar dalam karya mereka, tetapi puisi yang menyala, jantung narasi yang menghidupkan kenangan, kerinduan, dan pencarian abadi akan makna.

Saya menjelajahi kopi dan kafe dalam karya Modiano dan Mahfuz sebagai ruang suci, tempat waktu terhenti, dan nostalgia menjadi bahasa cinta yang tak terucapkan. Saya berhayal duduk di sudut, buku catatan terbuka, pena saya menari di antara aroma kopi, mencoba menangkap pelbagai fragmen kehidupan yang seperti uap—hadir, tetapi selalu melayang, seperti ciuman yang tertunda di bibir.

Patrick Modiano, pemenang Nobel Sastra 2014, menulis novel-novel yang seperti lukisan impresionis: buram, penuh bayang-bayang, tetapi sarat makna yang menggenggam hati. Dalam In the Café of Lost Youth (2007), kafe bukan sekadar tempat minum kopi; ia adalah pelukan lembut bagi jiwa-jiwa yang tersesat, tempat pemuda yang patah hati, detektif amatir, dan pengembara malam mencoba menyusun pecahan cinta dan identitas mereka. Kafe Condé, dengan meja-mejanya yang lengket dan asap rokok yang menggantung seperti kabut, adalah panggung di mana waktu terasa terhenti, seperti detik sebelum dua tangan bersentuhan.

Bayangkan Jacqueline, duduk di sudut kafe itu tahun 1960-an, café crème di depannya mengeluarkan uap, jendela buram oleh hujan. Di tangannya, buku catatan kecil berisi nama-nama orang yang pernah mencuri hatinya, alamat-alamat yang kini lenyap seperti janji yang pudar. Modiano menulis, “Di kafe-kafe itu, Anda merasa bisa menahan waktu, tetapi sebenarnya, waktu yang memeluk Anda.” Jacqueline adalah kita: jiwa-jiwa yang merindukan cinta yang tidak pernah utuh, yang mencari makna dalam fragmen kenangan yang seperti bayang-bayang di dinding, lembut namun menghantui seperti lagu yang tak selesai.

Kafe Modiano laksana pelabuhan rindu di tengah anonimitas kota. Dalam Missing Person (1980), Guy Roland, detektif tanpa identitas, mencari petunjuk tentang dirinya di kafe-kafe Paris. Kopi di cangkirnya adalah ritual kesendirian, cara untuk memperlambat detik-detik yang berlalu, seperti menahan napas sebelum mengakui cinta. Modiano menulis dengan fragmen—nama jalan, nomor telepon, percakapan yang terputus—dan kafe adalah tempat fragmen-fragmen itu bertemu, meski selalu meninggalkan pertanyaan yang manis tapi pahit. Di sini kafe Modiano adalah “kuil kerapuhan cinta,” tempat manusia belajar merangkul ketidakpastian hati mereka, sebuah tema yang bergema dalam sejarah emosi yang ia teliti.

Di gang-gang sempit Kairo, di mana aroma rempah bercampur dengan suara pedagang dan doa dari masjid, Najib Mahfuz, pemenang Nobel 1988, menjadikan kafe sebagai jantungan kota. Dalam The Cairo Trilogy (2001) atau Midaq Alley (1975), kafe adalah tempat tukang cukur, pedagang, dan filsuf jalanan berkumpul, menyeruput kopi hitam kental sambil berbagi cerita tentang politik, cinta, atau nasib. Kopi di sini bukan sekadar minuman; ia adalah pelukan kota, saksi bisu cerita-cerita yang mengalir seperti sungai Nil, dari generasi ke generasi.

Bayangkan kafe Fishawi di Khan el-Khalili, salah satu kafe tertua Kairo, yang konon menginspirasi Mahfuz. Di bawah lampu tua dan cermin berdebu, orang-orang duduk dengan cangkir kecil berisi kopi seduh ibrik, asap shisha mengalir seperti puisi yang tak terucapkan. Mahfuz pernah berkata, “Kopi adalah bahasa Kairo. Anda tidak bisa mencintai kota ini tanpa kafe-kafe-nya.” Dalam Midaq Alley, kafe Kirsha adalah mikrokosmos Kairo: intrik, gosip, mimpi-mimpi kandas. Hamida, karakter utama, mungkin tidak minum kopi di sana—kafe adalah ruang laki-laki saat itu—tapi aroma kopi menyusup ke mimpinya perihal cinta dan kehidupan yang lebih indah, seperti embusan angin di malam musim panas.

Baca juga:  Konsep Fikih Menjaga Lingkungan (1): Menyoal Pertambangan dan Pemerintah

Kafe Mahfuz adalah “ruang di mana kota bernapas dalam harmoni.” Kafe seperti Fishawi atau Kirsha adalah tempat di mana waktu tidak menghancurkan, tetapi menganyam, menghubungkan generasi melalui cerita-cerita yang dituturkan di atas cangkir kopi. Mahfuz menangkap nostalgia bukan sebagai kerinduan semata, tetapi sebagai cara mencintai kota dan manusia di dalamnya. Kafe Mahfuz adalah “tarian cinta kolektif,” tempat manusia belajar merangkul satu sama lain, meski di tengah konflik dan perubahan.

Puisi Cinta

Modiano dan Mahfuz menjadikan kopi dan kafe sebagai puisi cinta, sebuah ritual yang mengungkapkan kerinduan manusia untuk mencium waktu yang telah pergi. Dalam novel Modiano, kopi adalah jeda dalam kesendirian, mengisi kekosongan di antara fragmen kenangan seperti catatan cinta yang tak pernah dikirim. Dalam karya Mahfuz, kopi adalah ikatan komunal, menyatukan orang-orang dalam cerita-cerita yang tak pernah selesai, seperti lagu rakyat yang dinyanyikan turun-temurun. Mereka menjadikan kopi sebagai “soneta emosi,” sebuah ritual yang memungkinkan manusia berbisik kepada masa silam dengan cinta dan duka.

Saya membayangkan Modiano dan Mahfuz duduk di kafe imajiner, di perbatasan Paris dan Kairo. Modiano memesan espresso, uapnya menari seperti kabut pagi di Seine. Mahfuz meminta kopi hitam, diseduh dengan ibrik, aromanya kental seperti malam di Nil. “Kenapa kafe begitu penting bagimu?” tanya Mahfuz, suaranya lembut seperti angin gurun. Modiano tersenyum samar, matanya hilang di kejauhan. “Di kafe, saya bisa menjadi bayang-bayang, atau lenyap dalam rindu.” Mahfuz mengangguk, mengaduk kopinya. “Dan di kafe, saya mendengar detak cinta kota. Kopi adalah puisi yang kita minum.”

Nostalgia mereka adalah nostalgia pahit, seperti kopi tanpa gula, yang memaksa kita menatap luka-luka masa lalu dengan kelembutan. Modiano merindukan Paris yang lenyap dalam kabut Perang Dunia II, kota yang hanya ada dalam arsip dan ingatan buram, seperti kekasih yang pergi tanpa pamit. Mahfuz merindukan Kairo yang terkikis modernitas, tetapi ia juga merayakan ketahanannya, seperti aroma kopi yang tetap agam meski cangkir dingin. Kafe adalah kuil kerinduan itu, kopi menjadi jembatan antara yang hilang dan yang tersisa. Kafe menjadi “ruang di mana manusia menulis puisi waktu,” tempat mereka belajar mencintai tanpa memiliki, mengingat tanpa terbelenggu.

Dalam buku Filtered: Coffee, the Café and the 21st-Century City (2019), Emma Felton mengeksplorasi kafe sebagai ruang sosial yang merepresentasikan jiwa kota dan manusia di dalamnya. Ia menulis bahwa kafe bukan hanya tempat minum kopi, tetapi “ruang ketiga” antara rumah dan kerja, tempat orang mencari koneksi, refleksi, atau pelarian. Dalam konteks Modiano dan Mahfuz, kafe adalah lebih dari itu: kuil nostalgia, di mana kopi menjadi puisi yang menghubungkan hati dengan masa lalu.

Felton berargumen bahwa kafe menciptakan “komunitas sementara,” di mana orang asing berbagi ruang dan cerita tanpa perlu ikatan permanen. Dalam In the Café of Lost Youth, kafe Condé adalah komunitas sementara bagi Louki dan pengembara lainnya, yang duduk dengan espresso mereka, mencari petunjuk tentang cinta yang hilang. Felton menulis, “Kafe adalah tempat di mana orang bisa anonim namun terhubung, kesepian tetapi tidak sendirian.” Hal ihwal ini mencerminkan Modiano, yang menjadikan kafe sebagai ruang paradoks: tempat kesendirian yang penuh kehadiran orang lain, seperti dua kekasih yang saling menatap tanpa berbicara.

Di Kairo Mahfuz, kafe seperti Fishawi atau Kirsha adalah pusat komunitas yang lebih abadi, tempat cerita kota dituturkan ulang. Felton mencatat bahwa kafe di kota-kota non-Barat sering berfungsi sebagai “ruang publik” yang menjembatani kelas sosial dan generasi. Dalam Midaq Alley, kafe Kirsha adalah teater sosial, di mana kopi hitam menyatukan pedagang, penutur cerita, dan pemimpi. Felton menulis, “Kopi adalah ritual yang memungkinkan obrolan, bahkan di tengah perubahan sosial.” Mahfuz memahami ini, menjadikan kopi sebagai bahasa cinta Kairo, menyimpan cerita tentang revolusi, hasrat, dan pengkhianatan.

Baca juga:  Pemetik Puisi (8): (Tanpa) Membuka Mata

Felton juga menyoroti bahwa kafe menyimpan nostalgia, tetapi nostalgia itu sering “dikonstruksi,” dibentuk oleh imajinasi kolektif. Bagi pembaca Modiano, kafe Condé adalah Paris yang romantis, meski kini dipenuhi turis. Bagi penggemar Mahfuz, Fishawi adalah Kairo yang abadi, meski lampu LED kini meneranginya. Felton menulis, “Kafe adalah tempat di mana kita memproyeksikan kerinduan kita, menciptakan masa lalu yang mungkin tidak pernah ada.” Ini adalah inti dari nostalgia Modiano dan Mahfuz: bukan sekadar rindu, tetapi penciptaan ulang masa silam melalui ritual kopi, seperti menulis surat cinta yang tak pernah dikirim.

Akan tetapi, Felton memperingatkan bahwa kafe modern, dengan wi-fi dan desain seragam, mengancam esensi ruang ini. “Kafe kontemporer sering lebih tentang produktivitas daripada refleksi,” tulisnya. Ini menjelaskan mengapa kafe Modiano dan Mahfuz terasa asing di era digital, di mana kopi lebih sebagai bahan bakar tinimbang puisi. Meski begitu, Felton optimistis: “Selama ada kopi, akan ada ruang untuk cerita.” Dalam jagat Modiano dan Mahfuz, cerita-cerita itu hidup di setiap tegukan, seperti detak jantung yang tidak pernah berhenti.

Secangkir Kopi Terakhir

Kopi, dalam cangkir kecil Paris atau gelas logam Kairo, adalah penutur waktu, penjaga ritme hidup yang mengalir pelan atau berhenti. Dalam karya Modiano dan Mahfuz, kopi dan kafe menjadi lensa untuk memahami bagaimana manusia bergulat dengan waktu—linier dan penuh kehilangan bagi Modiano, siklikal dan kolektif bagi Mahfuz.

Dalam novel Modiano, waktu adalah garis patah-patah, seperti coretan pena yang kehabisan tinta. Karakter seperti Guy Roland atau Louki mencari sesuatu yang hilang: identitas, cinta, nama. Kafe, dengan espresso-nya, adalah tempat mereka berhenti, menyusun pecahan-pecahan itu. Kopi adalah ritual kesendirian, memperlambat detik-detik yang berlalu, seperti menahan napas sebelum mengakui rindu. Tetapi cangkir selalu kosong, dan waktu terus berjalan. Espresso Modiano pahit, seperti nostalgia untuk Paris yang lenyap pasca-perang. Ia hanya “tarian manusia dengan waktu yang fana,” sebuah perjuangan yang tragis namun penuh keindahan.

Di Kairo, waktu Mahfuz adalah lingkaran yang berulang. Kafe seperti Fishawi atau Kirsha adalah pusat komunal, tempat waktu terasa siklikal, seperti musim yang datang dan pergi. Orang-orang duduk, menyeruput kopi hitam, berbagi cerita tentang cinta atau revolusi. Kopi adalah ikatan kolektif, menghubungkan generasi. Dalam The Cairo Trilogy, kafe adalah tempat Ahmad Abd al-Jawad mendiskusikan masa depan Mesir. Kopi pahit adalah simbol ketahanan. Mahfuz menulis bahwa waktu tidak menghancurkan, tetapi menganyam simfoni cinta yang abadi.

Modiano dan Mahfuz menggunakan kopi untuk menjelajahi waktu. Bagi Modiano, kopi adalah jeda dalam perjalanan yang tak pernah selesai, seperti menulis puisi untuk kekasih yang pergi. Bagi Mahfuz, kopi adalah ritme yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini, seperti lagu yang dinyanyikan bersama. Kopi adalah cermin nostalgia, pintu menuju waktu lain. Kopi menjadi ritual yang mengajarkan kita cara mencintai waktu. Sebuah kebiasaan semenjana yang mengungkapkan kerinduan manusia untuk memahami keberadaan mereka. Dalam setiap tegukan, kita menemukan diri kita—atau kehilangan diri kita—di antara detik-detik yang berlalu.

Di kafe modern, dengan lampu neon yang menyilaukan dan deru mesin kopi yang tidak henti, ada sesuatu yang hilang. Cangkir keramik digantikan gelas kertas bertuliskan nama pelanggan, latte art menghiasi minuman, dan wi-fi gratis mengundang orang untuk menatap layar ponsel mereka. Kafe Modiano dan Mahfuz—penuh asap, percakapan, dan kenangan—terasa seperti puisi yang dilupakan. Saya duduk di meja plastik yang mengilap, memesan cappuccino, membaca novel mereka. Aroma kopi bercampur dengan bau croissant yang dipanaskan di microwave, dan suara pelanggan tenggelam dalam dering notifikasi ponsel. Apakah nostalgia yang mereka ceritakan masih hidup di sini?

Kafe modern, dengan desain seragam dan fokus pada efisiensi, telah kehilangan aura yang melukiskan keindahan yang lahir dari cerita. Dalam novel Modiano, kafe adalah labirin kenangan, tempat Louki bisa bersemayam dalam kesendiriannya seperti kekasih yang menanti. Dalam novel Mahfuz, kafe seperti Kirsha adalah teater sosial, tempat komunitas berkumpul untuk meratapi atau merayakan seperti keluarga yang berkisah di malam hari. Tapi di kafe modern, kesendirian terasa steril, dan kebersamaan terputus oleh earphone. Kopi, yang dulu menjadi jembatan menuju nostalgia, kiwari sering kali hanya bahan bakar untuk produktivitas. Ia tersisa sebagai ritual yang kehilangan cinta.

Baca juga:  Diaspora Santri (4): Peran Nahdlatul Ulama dalam Isu Xinjiang

Namun, nostalgia belum sepenuhnya lenyap. Di sudut-sudut Paris yang tersembunyi, di gang-gang Kairo yang masih berdebu, kafe-kafe kecil tetap ada, tempat pelayan masih menyapa dengan kelembutan atau menyeduh kopi dengan penuh perhatian, seperti menulis surat cinta. Nostalgia adalah cara manusia menciptakan puisi di tengah perubahan. Pertanyaan yang menggantung adalah: Apakah kita masih punya waktu untuk nostalgia? Modiano dan Mahfuz mengajarkan bahwa kafe adalah tempat untuk mendengarkan, untuk merindu. Di kafe modern, apakah kita masih mendengarkan—atau hanya menunggu pesanan kita selesai, seperti menanti cinta yang tak kunjung datang?

Saya membayangkan sebuah kafe yang tidak ada di peta, sebuah ruang di mana kabut Paris bercampur dengan debu Kairo. Modiano duduk di sudut, rambutnya memutih, tangannya memegang cangkir espresso yang uapnya mengepul laksana napas pagi. Mahfuz, dengan kacamata tebal dan senyum kecil, menyeruput kopi hitam dari cangkir kecil yang diseduh dengan ibrik. Mereka tidak berbicara, tetapi kafe ini—dengan dinding retak, meja kayu penuh goresan, dan aroma kopi yang mengisi udara—berwicara untuk mereka. Ini adalah tempat di mana waktu tidak berlaku, di mana nostalgia bukan sekadar kerinduan, tetapi puisi yang hidup, ditulis dengan setiap tegukan.

Saya duduk di antara mereka, buku catatan terbuka, pena saya diam. Cangkir kopi di depan saya sudah dingin, tetapi aromanya masih ada, seperti kenangan yang menolak untuk pergi, seperti ciuman yang masih terasa di bibir. Modiano memandang ke jendela, seolah mencari kekasih yang telah lama hilang. Mahfuz menatap cermin tua di dinding, seolah melihat refleksi Kairo yang dulu, kota yang dicintainya seperti seorang ibu. Kafe ini adalah milik mereka, tetapi juga milik kita—milik setiap jiwa yang pernah duduk di kafe, menyeruput kopi, dan merindukan sesuatu yang tak pernah utuh. Kopi adalah jembatan menuju masa lalu, ritual untuk mengingat, cermin untuk melihat siapa kita, dan puisi untuk mencintai apa yang telah pergi.

Mahfuz menulis bahwa kopi harus pahit, seperti hidup yang kita peluk. Modiano menulis bahwa kafe adalah tempat di mana kita bisa menjadi siapa saja, atau lenyap dalam rindu. Kafe adalah kuil cinta, tempat kita duduk dengan cangkir di tangan dan berhadapan dengan waktu—waktu yang telah pergi, waktu yang masih ada, waktu yang kita ciptakan melalui cerita. Saya menutup buku catatan, meninggalkan kafe imajiner itu. Di luar, dunia nyata menunggu—dengan kafe-kafe modern penuh wi-fi dan gelas kertas, dengan jalanan sibuk dan waktu yang tak pernah berhenti. Tapi saya membawa sesuatu dari kafe itu: aroma kopi yang melekat di jari-jari saya, seperti sisa-sisa rindu yang Modiano dan Mahfuz ajarkan.

Saya melangkah ke luar, angin membawa aroma kopi yang samar, laksana bisikan kekasih yang telah pergi. Di Paris atau Kairo, kafe-kafe menunggu—menunggu seseorang untuk duduk, memesan kopi, dan mulai merindu. Namun di ujung gang sempit, saya menemukan pintu kayu tua, setengah terbuka, dengan cahaya temaram di dalam.

Di meja sudut, sebuah buku catatan terbuka, halamannya penuh dengan puisi yang ditulis tangan, dan dua cangkir kopi—satu espresso, satu hitam ibrik—masih hangat, uapnya mengepul pelan. Tidak ada Modiano, tak ada Mahfuz, tetapi di cermin tua, saya melihat bayang-bayang kita semua—pembaca, penulis, pecinta—menulis cerita mereka, menyeruput kopi mereka, menjadi nostalgia itu sendiri. Kafe ini bukan milik mereka, tetapi milik cinta yang kita tulis, satu tegukan pada satu waktu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top