Sedang Membaca
Wawancara Khusus dengan Gus Dur 29 Tahun Silam: Kapan Parpol Dewasa? (2)
Luthfil Hakim
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Tarbiyatul Mubtadiin, Danawarih, Balapulang, Tegal dan Alumni Pesantren Misbahul Huda Al-Amiriyah, Kambangan, Lebaksiu, Tegal.

Wawancara Khusus dengan Gus Dur 29 Tahun Silam: Kapan Parpol Dewasa? (2)

Whatsapp Image 2022 04 15 At 05.43.28

Tapi kalau massa mengambang dihapus, jangan-jangan rakyat yang belum siap, karena mereka juga belum dewasa?

Kalau memang belum dianggap dewasa, ya sudah, terimalah partai politik yang kayak begini terus-terusan. Sampai 100 tahun akan begini terus, wong rakyat tidak dibiarkan dewasa kok 

Apa campur tangan pemerintah juga menjadi fenomena biasa di dunia ketiga?

Oh, ya. Indonesia malah lebih baik daripada negara-negara yang lain. Pemerintah kita campur tangan, tapi indirect.

Tapi di Malaysia kenapa calon bisa dari bawah ya?

Karena di Malaysia seperti yang saya katakan tadi. Pemilihan pengurusnya oleh anggota, dari bawah bukan dari atas. Dan dikombinasikan dengan undang-undang yang keras. Kalau ada sengketa, seperti misalnya antara Rozali Hamzah dengan PM. Mahathir ya diselesaikan di pengadilan. Ahirnya Mahathir terpaksa mengubah UMNO menjadi UMNO Baru. Tapi ada sanksi-sanksi hukum itu.

Tapi aib sekali kalau penguasa masuk ke pengadilan.

Ya tidak dong. Itu kan untuk ditterance untuk mengubah supaya pemerintah tidak berbuat ceroboh, sehingga tidak perlu masuk ke pengadilan, gitu lho. Harus dilihat secara demikian. Seperti Mahathir waktu itu kan ceroboh. Toh dia tetap berkuasa, rakyat tidak mempersoalkan hal itu, dan pemilu dia tetap menang. Rakyat kan tidak melihat dari yang gitu-gitu saja ‘kan?

Tapi apakah Anda melihat makin hari pemerintah makin menunjukkan niat baik untuk lebih memberi keleluasaan pada partai politik dan rakyat agar lebih dewasa?

Langkah-langkah sudah mulai, ya, tapi belum diikuti dengan aturan-aturan yang lebih baik.

Langkah-langkah itu misalnya apa?

Baca juga:  Foto Masjid Nusantara Tarik Atensi Publik Nijmegen Belanda

Lha itu, misalnya rakyat dibiarkan atau diperkenankan ke DPR untuk menyatakan pendapat. Kemudian pers kita sekarang lebih terbuka. Kemudian manajemen organisasi politik kan lebih dituntut untuk bertanggung jawab kepada masyarakat.

Tapi kalau anggota DPR-nya sendiri tetap dipilih dengan cara yang notabene kurang demokratis, apa bukan tambal sulam saja?

Ya, memang. Tapi kalau tambal sulam kalau semakin banyak sulamannya, kan lama-lama bukan tambal sulam lagi. Tambalannya lebih banyak, kan lama-lama tambalan semua.

Apa dong jadinya?

Ya jadi saja, nggak apa-apa he-he-he … Baju baru kan?

Apakah kekurangdewasaan partai politik itu juga karena birokrasi berasal dari partai atau organisasi politik?

Di mana birokrasi berasal dari partai politik? Terbalik! Golkar itu yang berasal dari birokrasi. Mustinya birokrasi itu kan partial, jangan ambil bagian dalam politik. Kita ini kan lucu. Ulama nggak boleh berpolitik. Tapi birokrat yang mustinya tidak boleh berpolitik malah berpolitik. Di negeri-negeri lain nggak ada. Di malaysia saja, yang namanya civil servant ya betul-betul sebagai servant.

Melihat keadaan seperti itu apa Anda tidak gemas?

Ah, nggak. Saya cuma kasihan. Itu kan mubeng-mubeng, tidak mencapai sesuatu. Sebenarnya lebih efisien dengan dibukanya kran.

Kalau kasihan kenapa tidak masuk partai politik?

Wah, lha untuk apa, memperbaikinya dari mana, wong itu sudah kayak telor dan ayam. Tidak tahu lagi ke mana membetulkannya.

Konon bisa memperbaiki dari dalam.

Ah … Agendanya juga gak sampai sana. Maksud saya tidak punya agenda yang politis sekarang.

Lho kabarnya Fordem (Forum Demokrasi) yang Anda pimpin bibit sebuah partai politik?

Baca juga:  MATAN NU: Hadapi Era Big Data dengan Tebar Islam Ramah di Media Sosial

Nggak, kita gak akan jadi partai politik. Kita nggak ingin ke sana. Fordem hanya kekuatan moral saja.

Kok kabarnya sudah punya simbol partai, padi dan kapas?

Ah, nggak. Itu kan simbolnya orang-orang Padi dan Kapas, partainya eh … yayasannya Dr. Syahrir.

Seandainya jadi petinju, dan partai politik ini adalah permainan tinju, apa tidak lebih suka sparring partner yang seimbang dan menang karena usaha sendiri?

Memang ini bukan tinju, kok. Ini silat. Politik itu kan silat, bukan tinju, jadi nggak butuh sparring partner.

Hah?

Kalau silat itu kan tenaga dari dalam dirinya. Wong sendiri saja bisa main kok … (Gus Dur tertawa tertahan). Politik itu kan kayak silat.

Tapi apa tidak malu, kalau besar sendirian, menang sendirian, lalu disorak-soraki sendiri?

Wong enak kok malu, Anda yang salah … enak kok malu he-he-he … Ya, Ut, ya (Ia menyapa rekannya yang duduk di belakang stir mobil yang tengah menuju kantor Ari Sudewo itu).

Itulah hasil wawancara khusus yang dilakukan oleh Widya Saraswati dengan Gus Dur 29 tahun silam yang saya tulis ulang dari majalah dwi mingguan, Tiara No. 85, edisi 15-28 Agustus 1993.

Jika ditilik dari berbagai fragmen hasil wawancara di atas, pemikiran Gus Dur begitu sangat progresif. Dalam kaitannya sistem demokrasi utamanya dalam pemilihan umum idealnya partisan pemilu adalah seluruh rakyat Indonesia bukan dari golongan yes men semata, sebagaimana yang sudah diwedar oleh Gus Dur di atas.

Baca juga:  Memetik Hikmah dari Lika-liku Hidup Buya Syafii Maarif

Maka jika ditinjau lebih jauh maka sistem pemilu maupun “merdeka berpolitik” masyarakat Indonesia yang ada sekarang ini tentunya tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sosok ad-Dakhil tersebut. Pasalnya ketika ayah dari Zanuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid menjabat sebagai Presiden RI pun beliau mulai merumuskan segala gagasan dan makro-konsepnya tentang demokrasi yang ideal utamanya dalam hal sistem pemilihan umum di Indonesia, yang kemudian gagasan serta makro-konsepnya diimplementasikan oleh mantan wakilnya yaitu Megawati lewat Pemilihan Umum 2004, di mana Pemilu 2004 ini menjadi tonggak bersejarah bagi sistem demokrasi di Indonesai di mana rakyatlah yang langsung memilih presidennya.

Lebih jauh lagi, dalam kaitannya implementasi dari “merdeka berpolitik” ala Gus Dur utamanya gagasan serta makro-konsepnya tentang demokrasi Indonesia pasca Reformasi 1998, implementasinya begitu nyata. Hal ini bisa ditilik ketika beliau menjabat sebagai Presiden RI, beliau tidak sungkan untuk membuka pintu Istana Negara selebar-lebarnya untuk masyarakat yang ingin menemuinya, tak terkecuali para kiai dan aktivis yang kerap kali menyambangi dirinya di pagi buta.

Di tangan Gus Dur politik elektoral dijadikan sebagai “software” untuk menegakan konsep amar ma’ruf nahi munkar, bukan nyamar ma’ruf nyambi munkar sebagaimana yang marak dilakukan oleh para politisi belakangan ini. Alih-alih berkampanye untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, tapi nyatanya ketika sudah uncang-uncang di Senayan dirinya malah nyamar ma’ruf nyambi munkar dengan melakukan korupsi bil jamaah.

Terima kasih, Gus Dur …

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top