Memasuki dekade ahir abad XX persisnya tahun 1993 kondisi sistem perpolitikan di Indonesia kala itu nampaknya masih jauh dari cita-cita kemerdekaan Indonesia, utamanya dalam hal “merdeka berpolitik.” Pasalnya jika meneropong dari sistem pemilu yang dipakai pada pemilu 1992 masih begitu sarat akan nepotisme dan tanda-tanda ketidakdewasaan dalam berpolitik masih begitu rendah.
Pemilu yang diselenggarakan pada 9 Juni 1992 yang menorehkan tinta perolehan suara kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebanyak 282 kursi untuk Golkar, 61 kursi untuk PPP dan 56 kursi untuk PDI yang kemudian disusul dengan peristiwa “geger geden” Kongres IV PDI di Medan 21 Juli 1993 yang diwarnai anarkisme dan memenangkan Soerjadi sebagai Ketum PDI namun tidak disetujui oleh beberapa pihak —termasuk di dalamnya Megawati yang kemudian mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Sukolilo, Surabaya 2-6 Desember 1993 yang memenangkan Megawati sebagai Ketua Umum PDI periode 1993-1998— itu pun ahirnya menuai banyak respons dari berbagai kalangan, tak terkecuali dari kalangan ulama dan cendekia yang datang langsung dari sosok Abbdurahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU untuk ketiga kalinya.
Dalam wawancara khusus dengan Tiara —sebuah majalah dwi mingguan besutan R. Risman Hafil cs— dan dipandu langsung oleh Widya Saraswati, Gus Dur memberikan banyak catatan untuk perjalanan demokrasi Indonesia utamanya dalam sistem demokrasi di Indonesia yang saat itu usianya sudah mencapai angka 48 tahun.
Lebih lengkapnya berikut saya tuliskan kembali hasil wawancara khusus Widya Saraswati dengan Gus Dur 29 tahun silam yang dimuat oleh Tiara yang dimuat dalam rubrik Sarapan Pagi, dan berikut petikan wawancaranya:
Lagi-lagi kita dikejutkan dengan perilaku yang cenderung anarkis dalam kongres PDI. Apa ini dapat dikatakan sebagai fenomena yang menunjukan partai politik kita belum dewasa?
kalau cara mengatur organisasi politik di sini seperti selama ini, ya tidak akan ada yang pernah dewasa. Bukan hanya partai politik, Golkar juga tidak dewasa.
Lho, Golkar kata pemerintah kan bukan partai politik?
Ah, semua juga tahu, Golkar itu sama dengan partai politik. Dalam arti, DPP (Dewan Pimpinan Pusat) mengesahkan hanya susunan DPC (Dewan Pimpinan Cabang) yang disenanginya. Nah, lalu nanti dalam kongresnya atau munasnya, DPC atau DPC tingkat II memilih DPP-nya. Lha, sikusnya kan cuma mubeng wae (berputar saja, red). Jadi ahirnya percaturannya cuma di atas. Itu jelas tidak akan membuat dewasa.
Indikasi partai politik tidak dewasa, konon juga dari kegemarannya meminta restu dari atas dari atas, bukannya lebih mendengarkan suara dari anggota partainya.
Memang betul, restu dari atas itu iya. Tapi masalahnya bukan di situ. Bahwa tidak ada pencalonan dari bawah itu, lho!
Kenapa bisa begitu?
Sebab memang di masing-masing level itu tidak ada pencalonan dari bawah. Di kabupaten, semua tahu, kalau tidak ada izin dari Bupati, atau Kaditsospol ya tidak akan jadi calon.
Tapi kok sampai tidak ada calon dari bawah itu bagaimana duduk perkaranya?
Ya karena tidak dikasih kesempatan, kok. Nggak ditanya. Apa dukung boleh yang namanya komisaris? Kan nggak. Apa anggota partai atau anggota Golkar itu pernah diajak rapat bareng-bareng untuk menentukan pengurus, kan tidak. Jadi utusan-utusan yang datang itu gak ada apa-apa. Musda-musda itu ya selektif, sudah diseleksi oleh pemda masing-masing. Pemda itu dalam arti luas, lho. Termasuk kodimnya, termasuk kantor sospolnya, apa aja deh.
Apa yang dibilang ini merupakan efek dari situasi state terlalu kuat dan people yang lemah?
Ya memang begitu. Tapi kita harus lebih dari itu melihatnya. Bahwa memang masyarakat tidak diberi akses untuk menentukan keputusan politik.
Maksud Anda bagaimana? Kan pemerintah selama ini selalu menjelaskan, ada Pemilu, ada DPR dan segala macam yang merupakan wujud dari penyaluran aspirasi rakyat.
Lha, wong pemilu itu calonnya ditetapkan dari atas, kok. Pemilu itu saringannya berapa kali coba? Di kabupaten diusulkan oleh berbagai pihak-lah, ya, termasuk pemdanya. Disaring di situ. Naik ke atas ke tingkat I. Baru nanti ke DPP. Di DPP tidak cukup ke DPP masing-masing. Musti ke Mendagri-lah, Litsus ke Bakin, Bais, segala macam. Gitu, lo. Semua itu kan menyeleksi. Ahirnya yang tinggal itu kan orang-orang yang tidak dikenal rakyat. Lha yang dikenal rakyat ya hilang gitu saja, di jalan. Jadi terlalu panjang jalur untuk seleksinya.
Kalau di negeri lain kan nggak. Saya ingin jadi anggota parlemen, saya tinggal di suatu daerah pemilihan. Saya tantang lawan saya dari partai yang sama. Umpamanya Golkar, A lawan B beradu, atau saya lawan siapa gitu. Kalau saya menang di sini, ya saya calonnya. Dengan melalui pemilihan pendahuluan. Jadi saya dipilih rakyat. Saya maju dari partai saya. Nanti beradu lagi dari calon partai lawan. Gitu lho. Jadi pendek proses seleksinya. Nggak sampai di atas-atas begini.
Ada anggapan proses yang panjang itu justru untuk mendapat jago-jago yang bagus.
Ah, wong nyatanya yang dapat yes men semua. Pintar sih pintar, tapi yes men. Wataknya itu watak nggantung ke atas semua. Susah sudah. Nggak ada inisiatif semua. Ya nunggu saja dari atas.
Kalau begitu apa Pemilu sebenarnya tidak diperlukan?
Kalau dengan cara seperti sekarang, sebenarnya Pemilu itu hanya untuk mendapatkan legitimasi. Itu yang penting, tapi tidak lebih dari itu. Padahal mestinya pemilu itu jauh lebih dari itu. Dia bisa menentukan jatuh tidaknya suatu pemerintahan. Seperti LDP di Jepang itu kan, karena kehilangan suara di Pemilu, ya sudah. Dia harus berusaha keras untuk mendapatkan suara kembali dalam Pemilu yang akan datang.
Berarti untuk partai, kalau mau sebuah lembaga politik formal dibiarkan agar efektif, mandiri, dan segala macam, itu ya harus tumbuh dari rakyat. Berarti konsep massa mengambang itu massa di bawah. Perkara kepengurusan dibatasi, misalnya level kecamatan hanya boleh ada pengurus saja, itu ya tidak masalah, tapi pengurus dipilih di bawah. Jadi di tiap kecamatan pun pengurus harus dipilih. Sekarang ini kan nggak. Komisaris Golkar ditunjuk oleh DPD tingkat II gitu lho. Komisaris PPP ditunjuk oleh DPC, komisaris PDI oleh DPD tingkat II ‘kan?