Nama Th. Sumartana biasa dilekatkan dengan nama lembaga dialog antaragama pertama yang yang hadir di Indonesia, yaitu Institut DIAN/Interfidei di Yogyakarta. Selain sebagai salah seorang pendiri dan menjadi direktur dari tahun 1991 hingga 2003, beliau adalah dosen tetap Program Pascasarjana Studi Agama dan Masyarakat Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Jawa Tengah.
Sangat mungkin generasi muda saat ini tidak banyak yang mengenal dan mengetahui kontribusi Dr. Th. Sumartana (atau akrab dipanggil Pak Tono) dalam hubungan Islam Kristen di Indonesia dan hubungan antarumat beragama pada umumnya, yang tentunya berpengaruh dalam berbagai aspek lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hingga Perang Dunia II berakhir, situasi hubungan umat Islam dan Kristiani (untuk menyebut Gereja Protestan dan Katolik khususnya) secara umum diliputi suasana yang saya istilahkan ‘canggung’. Di satu sisi, masing-masing umat sadar memiliki tuntutan moral untuk ‘berbuat baik pada para tetangga’, tetapi di sisi lain ada ingatan-ingatan sejarah politik yang pahit yang senantiasa diwariskan (plus paham keagamaan yang dibentuk dari tafsir atas teks-teks keagamaan dengan metode yang tidak kontekstual terkait agama-agama lain).
Hal itu menghadirkan hubungan sosial yang kaku, kurang harmonis. Pada masa-masa itu relasi saling curiga dan saling merasa superior atas yang lain mudah dijumpai dalam pergaulan sehari-hari, yang pada kalangan tertentu suasana tersebut bahkan masih terasa hingga saat ini.
Pada sekitar tahun 1967 diselenggarakan kegiatan yang disebut ‘Musyawarah Antaragama’ yang melibatkan banyak tokoh agama, di Indonesia. Salah satu yang melatarbelakangi adalah adanya keberatan dari para tokoh muslim atas aktivitas pengkristenan orang-orang yang sudah menganut agama, yang menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat. Masalah-masalah hubungan antarumat beragama ini juga telah diperbincangkan dengan intens oleh kalangan pemikir dan pemimpin agama-agama di negara lain seperti di India.
Atas berbagai persoalan yang berkembang, ada dua peristiwa penting di dunia yang termuat dalam dokumen, yaitu Dokumen Konsili Vatikan ke-2 (yang ditetapkan dalam semacam muktamar para Uskup sedunia yang diselenggarakan antara tahun 1962-1965), yang dalam salah satu bab membahas bagaimana agama Katolik memperbaharui cara pandangannya terhadap agama-agama lain.
Bila masa lalu Gereja Katolik memandang agama-agama lain sebagai sesat dan kafir, setelah melalui upaya mendapatkan kebijaksanaan, pada Konsili Vatikan ke-2 ini ditetapkan adanya pengakuan bahwa ‘Gereja Katolik tidak menolak apa yang dianggap suci dalam agama lain’.
Gereja Katolik juga mengakui adanya hak asasi manusia, di mana semua orang berhak menganut agama sebagaimana yang diyakini. Di lingkungan gereja-gereja Protestan juga mulai berkembang pembaharuan senada, baik untuk lingkup internal Gereja Protestan yang memiliki beberapa denominasi (firqah berdasarkan perbedaan salah satu segi dalam teologi Protestan), maupun dengan agama-agama lain.
Intinya kesadaran yang berkembang di lingkungan gereja-gereja arus utama tentang adanya hak kebebasan beragama telah mengubah cara pandangan tentang apakah umat di luar Kristiani perlu dikristenkan atau tidak. Lembaga-lembaga Kristiani arus utama memilih membuat penafsiran dan teologi baru yang lebih relevan serta bermanfaat sesuai dengan situasi kehidupan dunia yang makin majemuk, untuk mewujudkan kehidupan antarkelompok dan golongan yang didasari semangat welas asih.
Meski era membangun hubungan antarumat secara baru mulai berkembang di berbagai penjuru dunia, gereja-gereja di Indonesia pada tahun 60-70-an itu belum mengalami pembaharuan yang berarti. Di kalangan muslim umumnya, saat itu juga belum terbuka dengan penafsiran nash terkait agama lain dengan metode kontekstual, sehingga dalam masyarakat terkesan mengalami pengerasan dalam hubungan antarkelompok.
Kondisi ini memicu pergulatan pemikiran para pemikir Kristiani, tentang bagaimana misi Kristiani dalam masyarakat yang sangat plural di Indonesia. Di sisi lain mulai banyak pemikir muslim yang mengembangkan pemikiran terbuka dalam melihat hubungan dengan umat agama lain.
Ini bukan pergumulan yang mudah, mengingat umumnya lembaga agama berkepentingan untuk mematangkan keimanan sesuai ajaran lembaga agama atau mengokohkan akidah umat sesuai yang diarahkan lembaga keagamaan. Apalagi terdapat teks-teks kitab suci yang bila dibaca secara harfiah diantaranya menuntun pada gerak yang lebih fokus untuk menjayakan agama masing-masing, tanpa mempedulikan adanya umat lain.
Bagaimana kerpercayaan dan keyakinan agama ditumbuhkembangkan tanpa merusak harmoni dan rasa keadilan di tengah masyarakat yang memiliki beragam agama dan keyakinan? Inilah tantangan yang diambil Th. Sumartana untuk dicarikan jawaban.
Th. Sumartana, adalah salah satu teolog Protestan Indonesia yang sangat fokus memikirkan hal ini. Sejak menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, skripsinya berjudul Soal-soal Teologis dalam Pertemuan Antar Agama, berupaya menghadirkan dasar pemikiran inklusif dari banyak teolog. Demikian pula disertasi yang diselesaikan di Vrije Universiteit Amsterdam Belanda juga masih pada fokus yang sama berjudul Mission on the Crossroad pada tahun 1992.
Pak Tono melalui gagasan-gagasannya berupaya meyakinkan umat Kristen bahwa untuk mewujudkan kesetiaan pada Yesus Kristus bukan dengan mengkristenkan orang lain, melainkan dengan menjalankan ajaran-ajaran Yesus dalam aktivitas memajukan kehidupan bersama, sebagai ungkapan kesaksian iman di tengah masyarakat. Ini termasuk juga dengan memberi dukungan bagi umat lain untuk merealisasikan keyakinannya untuk kemajuan bersama.
Bukan hanya gagasan dan pengajaran yang diupayakan, Pak Tono juga bergandengan dan mengajak umat lain untuk berproses bersama melalui Institut DIAN/ Interfidei yang didirikan bersama Daniel Dakidae, Johan Efendi, Zulkifli Lubis, Pendeta Eka Dharma Putra. Mereka juga didukung banyak tokoh nasional seperti almarhum Gus Dur, tokoh agama lain seperti dan almarhum Ibu Gedong Bagoes Oka, Bante/Biksu Pannavaro Mahatera, almarhum Haksu Tjie Tjai Ing, dll serta kalangan aktivis pro demokrasi di berbagai kota.
Lembaga dialog yang diinisiasi antara lain oleh Pak Tono ini mengupayakan terwujudnya hubungan pro-eksistensi atau hubungan saling menerima perbedaan dan saling mendukung antarumat beragama untuk kehidupan bersama yang adil dan beradab.
Th. Sumartana meninggal dunia pada 24 Januari 2003 pada usia 59 tahun seusai rapat pendirian DEMOS, yaitu lembaga yang bergerak di bidang kajian demokrasi dan hak asasi manusia. (SI)