
Mengharapkan pernikahan bahagia di era kecemasan adalah harapan semua orang. Apalagi di tengah gonjang-ganjing isu rumah tangga yang menjalar tak karuan seperti saat ini. Ketika media massa hingga media sosial menyiarkan KDRT, perselingkuhan, hingga perceraian. Jadi, bagaimana kemudian kita dengan sepenuh yakin berharap tiap pernikahan akan berujung pada kebahagiaan bila kita saja tak tahu caranya berbahagia dalam pernikahan?
Melansir dari berbagai sumber, tren pernikahan dan tren perceraian sepanjang rentang tahun 2017 hingga tahun 2023 mengalami perbandingan terbalik yang cukup signifikan, di mana rata-rata memiliki selisih sebanyak 10 ribu angka untuk penurunan tren pernikahan, sekaligus rata-rata memiliki selisih sebanyak 100 ribu angka untuk peningkatan tren perceraian.
Meski fenomena ini bukan hanya didasarkan pada pergeseran paradigma tentang kebahagiaan dalam rumah tangga, namun penelusuran saya menunjukkan bahwa sebagian besarnya, tetap bersinggungan dengan isu bagaimana suatu pernikahan dicitrakan oleh masyarakat saat ini, masyarakat di era kontemporer, masyarakat yang mana hidup di zaman serba modern dengan aksesibilitas pada informasi tanpa batasan apapun.
Saya tak ingin jauh-jauh mengambil tempat atau sudut untuk berbicara kebahagiaan dalam pernikahan, mari kita memulainya dari lokalitas jawa, bahwa kiat untuk mencapai pernikahan yang bahagia telah dirumuskan oleh Suryomentaram secara tegas dan konkret, melalui pemikirannya tentang kawruh jiwa.
Pernikahan bahagia dibahas secara serius oleh Suryomentaram pada bab khusus, yaitu pada bab kawruh laki rabi. Selama menjadi peneliti indigenous, saya berusaha duduk bersama cendekiawan mana pun yang mampu membicarakan kawruh jiwa, terlebih pada bab kawruh laki rabi. Guru-guru saya itu memberikan paparan dengan begitu konstruktif sekaligus lugas, dan rasanya seperti betul-betul sedang duduk bersama Suryomentaram, dan diberi nasihat tentang pernikahan yang bahagia secara paripurna itu.
Kawruh laki rabi (pengetahuan tentang menjalani pernikahan) merupakan salah satu cacah atau bagian dari simpul besar pemikiran kawruh jiwa Suryomentaram. Pemikiran, atau yang bisa kita sebut juga sebagai ajaran, yang menitikberatkan pada keterampilan kesadaran diri secara penuh (mindfulness) terhadap dinamika emosi yang dirasakan oleh diri sendiri. Pengawikan pribadi (mempelajari diri sendiri) dan wawas diri (melihat dan mengamati ke dalam diri) merupakan instrumen utama dalam mencapai raos begja (kebahagiaan) bagi manusia, dari skala paling personal hingga skala mega-sosial.
Mula-mula saya berpikir bahwa tak ada yang istimewa dari ajaran umum semacam ini, pemikiran yang sudah menjadi akal sehat umum telah kita terima saat kita beranjak dewasa. Namun, saya salah besar. Inilah sisi menariknya: kawruh jiwa dikonstruksikan oleh Suryomentaram dengan kelugasan dan keterusterangan terhadap diri manusia. Ia mengajarkan kejujuran yang absolut. Dinamika pengetahuannya terasa nyata, mengalir, serta dijelaskan secara sangat rinci dan tegas. Mari kita telusuri sesuatu yang menarik tersebut.
Kawruh laki rabi menyatakan bahwa pernikahan hanya membutuhkan lima syarat, yaitu: podo wonge, podo geleme, podo uripe, jaler lan estri, ugi podo dewasane (sesama manusia, sesama cinta, sesama hidup, laki-laki dan perempuan, serta sesama dewasanya) (Fikriono, 2018). Hal ini menjadi antitesis temuan penelitian yang dilakukan oleh Shofi’atun & Said (2022) yang menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat jawa masih memegang prinsip weton dan primbon dalam urusan pernikahan, yang mana apabila perhitungannya ora tepak (tidak pas), maka rencana pernikahan bisa dibatalkan. Bagi penghayat kawruh jiwa, perhitungan weton tidak dapat menggugurkan pernikahan karena senyatanya perhitungan weton tidak menjadi syarat pernikahan.
Selain poin tersebut, terdapat pula prinsip pernikahan yang mengakar kuat sebagai metode dalam menjalankan dinamika rumah tangga agar tercapainya rasa bahagia dalam perspektif kawruh jiwa, yaitu dengan jejodohan, bebojoan, dan sesrawungan (saling setia, bekerja sama, dan saling komunikasi) (Suryomentaram, 1989).
Prinsip di atas menjadi kritik radikal terhadap hasil penelitian Saputri (2020) yang menjelaskan bahwa gaya resolusi konflik collaborative-competitive masih menjadi pola respon komunikasi terhadap permasalahan yang dilakukan kebanyakan pasangan suami-istri saat ini. Teknik ngudari reribed (mengurai masalah; resolusi konflik) dengan menggunakan komunikasi kondo-takon (mengutarakan dan bertanya) dalam perspektif kawruh jiwa yang bercorak setara, tidak memerintah, tidak memaksa, dan tidak menindas, justru dijunjung tinggi sebagai kemampuan dalam menyeimbangkan keutuhan rumah tangga dan metode dalam mencapai pernikahan yang bahagia (Sugiarto, 2015).
Melalui setidaknya dua aksioma di atas, kita kemudian dipahamkan bahwa kawruh laki rabi dalam ajaran kawruh jiwa memiliki sisi egaliterian yang memadai untuk menjadi faktor pendukung terhadap resiliensi keluarga. Keengganan kawruh laki rabi menyentuh dogma dan bagian intrinsik budaya lokal tertentu membuat ajaran ini lebih memungkinkan bersih dari bias-bias, terlebih bias yang menyoal tentang keyakinan dan nilai sosial.
Suryomentaram secara sengaja membangun konstruksi kawruh jiwa agar dapat diterima secara global, luas, sekaligus tanpa batas. Oleh sebab itu, nasihat pernikahan dalam ajaran kawruh laki rabi menjadi unsur penting untuk kita pelajari serta diaplikasikan untuk kehidupan berumah tangga, demi mencapai pernikahan bahagia yang diidam-idamkan.
Bahan bacaan:
Fikriono, M. (2018). Kawruh Jiwa: Warisan Spiritual Ki Ageng Suryomentaram. Penerbit JAVANICA.
Saputri, S. A. (2020). Gaya Resolusi Konflik dan Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah Muda. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 8(3), 361–374. https://e-journals.unmul.ac.id/index.php/psikoneo/article/view/5356
Shofi’atun, U., & Said, A. A. (2022). Perhitungan Weton dalam Pernikahan Jawa (Studi Kasus Pada Desa Kendalrejo Kecamatan Bagor Nganjuk). Jurnal Ilmiah Spiritualis: Jurnal Pemikiran Islam Dan Tasawuf, 7(2), 189–203. https://doi.org/10.53429/spiritualis.v7i2.347
Sugiarto, R. (2015). Psikologi Raos: Saintifikasi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Pustaka Ifada.
Suryomentaram, G. (1989). Kawruh Jiwa: Wejanganipun Ki Ageng Suryomentaram jilid 1. CV Aji Masagung. https://doi.org/10.16309/j.cnki.issn.1007-1776.2003.03.004