Sedang Membaca
Adakah Orang yang Bersedih pada Hari Raya?
Kemas M. Intizham
Penulis Kolom

Lahir di Jambi. Kuliah S1 dan S2 di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sekarang mengajar di Pesantren An-Nur dan UIN Sultan Thaha Jambi.

Adakah Orang yang Bersedih pada Hari Raya?

Hari Raya Idul Fitri adalah hari kemenangan bagi umat Islam. Hari yang selalu dinanti oleh setiap orang. Hari yang selalu disambut dengan perayaan-perayaan agung. Momentum tahunan untuk kembali menjalin silaturrahim kepada kerabat. Juga momen tahunan untuk memperbaharui foto keluarga yang utuh. Hari yang mengumpulkan keluarga-keluarga yang terpisah jarak di kampung halaman. Hari yang memanggil orang-orang yang telah pergi merantau untuk pulang.

Pada Hari Raya Idul Fitri orang-orang berbelanja barang baru. Pusat-pusat perbelanjaan selalu ramai hingga waktu tutup tiba. Pakaian-pakaian baru dibeli dengan jumlah yang banyak. Baju, celana, sandal atau sepatu, dari atas ke bawah semuanya baru. Anak-anak sibuk menghitung uang THR yang didapat dari sanak-saudara. Berbagai macam jenis makanan dimasak dan disantap beramai-beramai. Kue-kue bersusun di atas meja di ruang tamu. Air-air yang warnanya lebih bermacam-macam dari hari biasa dapat diminum sesukanya, tanpa harus pergi ke warung dahulu.

Namun, adakah orang-orang yang bersedih pada hari yang seharusnya dirayakan dengan suka cita ini? Orang-orang yang ingin Hari Raya segera berlalu. Orang-orang yang tidak begitu semangat menyambut kedatangannya. Orang-orang yang lebih memilih tidur daripada keluar rumah.

Bagaimana rasanya menjadi seorang yatim/piatu yang merayakan Hari Raya tanpa seorang ayah atau ibu? Sementara anak-anak seusianya mendapatkan ciuman kasih sayang dari ayah dan ibu mereka. Mengenakan seragam keluarga yang dijahit jauh hari sebelum Hari Raya. Kemudian mereka berfoto bersama, lalu diupload ke sosial media. Mereka bisa pergi ke sana kemari bersama orang tua mereka. Mengunjungi keluarga bersama kedua orang tua mereka. Si yatim/piatu hanya dapat berandai-andai, kalau saja Tuhan tidak memanggil ayah atau ibunya lebih dulu, tentu Hari Rayanya bisa sebahagia mereka.

Baca juga:  Ketika Gus Dur Menulis Cak Nur, Pak Amien, Buya Syafi'i

Bagaimana rasanya menjadi seorang janda/duda yang merayakan Hari Raya tanpa kehadiran seorang kekasih di sisinya? Sementara suami istri yang lain pada saat Hari Raya saling melayani dan dilayani. Bisa mengenakan baju couple yang menunjukkan keserasian di antara mereka. Istri mencium tangan suami, suami mengecup kening istri dengan kasih sayang. Si janda/duda hanya dapat mengenang masa-masa kebersamaan mereka di masa lalu. Melihat kembali foto-foto yang menyimpan kenangan mereka.

Bagaimana rasanya menjadi seorang miskin yang merayakan Hari Raya dengan segala kekurangannya? Sementara tetangga-tetangga mereka merayakan Hari Raya serba berlebih. Baju baru yang jumlahnya berhelai-helai. Warna cat rumah yang kembali terang atau berganti. Kue-kue yang banyak macamnya. Makanan yang tidak habis-habis selama berhari-hari. Rumah yang tak pernah kosong dari kunjungan orang-orang untuk bertamu. Amplop THR yang dibagi kepada setiap anak yang datang. Si miskin hanya dapat menatap sedikit kue yang mereka buat dengan susah payah, tapi hanya sedikit yang mau mencicip. Rumah mereka yang tidak pernah ramai, meski pada Hari Raya. Kalau pun ada, orang-orang yang bertamu hanya sekadar untuk singgah sebentar, tanpa berkenan berdiam agak lama.

Bagaimana rasanya menjadi perantau yang merayakan Hari Raya jauh dari kampung halaman? Sementara lewat gawainya, ia melihat foto-foto kerabat yang sedang berkumpul dan berbahagia. Bisa mencicipi ragam makanan khas yang kadang hanya ditemui pada Hari Raya. Momen kebersamaan yang tidak bisa diganti dengan yang lain. Merayakan Hari Raya Idul Fitri jauh dari keluarga adalah hal yang paling sulit dihadapi para perantau. Mereka bisa berpisah dalam waktu yang lama dari keluarga. Tapi tidak pada Hari Raya.

Baca juga:  Pemenang Lomba Menulis Ramadan Berkah (5): Hening Pesantren Merindu Santri

Bagaimana rasanya menjadi seorang jomblo yang merayakan Hari Raya dengan kesedihan dan ketakutan? Sedih tidak ada pasangan. Takut ditanya di mana pasangan. Mau berkunjung ke rumah keluarga bersama orang tua, ada perasaan gengsi karena sudah bukan anak-anak lagi. Pergi sendiri tidak mungkin. Ambil ijazah saja perlu pendamping. Sementara teman-teman seangkatannya sudah punya pasangan. Bahkan sebagian lainnya sudah beranak.

Mungkin bagi orang-orang itu Hari Raya adalah hari yang sebenarnya menambah duka. Duka yang jumlahnya tumbuh berkali-kali lipat dari hari biasa. Sebab, pada hari itu semua orang bergembira. Sedangkan mereka berduka karena hal-hal itu.

Pada akhirnya, Hari Raya dirayakan dengan suka cita oleh sebagian orang. Dan Hari Raya juga dirayakan dengan duka cita oleh sebagian yang lainnya. Selamat Hari Raya. Semoga kita bisa merayakannya dengan perasaan yang diungkapan lewat cara kita masing-masing.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top