Pembahasan mengenai kebudayaan memang tidak ada habisnya. Selain karena kompleksitasnya, kebudayaan juga terus berkembang seiring zaman dan membutuhkan kajian yang terbarukan. Bersamaan dengan itu, manusia juga menyiapkan suatu cabang keilmuan untuk memahami kebudayaan. Kebudayaan diamati secara kritis dan menghasilkan pengamatan yang berguna baik secara teoritis maupun praktis.
Hamidulloh Ibda dalam artikel yang berjudul Sakralitas Simbolisme “Kiai” bagi Orang Jawa di alif.id membahas suatu bagian dari kebudayaan Jawa. Pembahasan yang diberikan sebenarnya cukup menarik. Perihal kiai juga terus mengalami perubahan dan kerap mengundang perdebatan. Pembahasan oleh Clifford Geertz dalam Religion of Java misalnya menyebut kiai sebagai makelar budaya. Pendapat ini tidak diterima begitu saja oleh Hiroko Horikoshi dalam The Kijaji and Ulama in West Java yang menganggap kiai sebagai agen perubahan sosial. Ibda melebarkan pembahasan pada penggunaan kiai sebagai simbol untuk hal non-manusia, misalnya keris.
Tetapi ada beberapa hal yang menurut saya perlu ditanggapi dari tulisan Ibda tersebut. Dalam tulisan tersebut, Ibda menggunakan istilah simbol untuk menganalisis lema “kiai”. Lema “kiai” dianggap sebagai simbol yang lahir dari kebudayaan Jawa dan Nusantara. Masalahnya adalah Ibda terus menerus menekankan bahwa simbol kiai di Nusantara ini otentik dan lebih luhur dari simbol yang lain.
Tampaknya artikel tersebut lebih berupa tanggapan terhadap banyaknya penyelewengan atas kiai yang merupakan otoritas penting dalam agama sehingga Ibda mengeluhkan hal tersebut. Sayangnya tuduhan penyelewengan tersebut tidak jelas diarahkan ke pihak mana. Selain itu, balasan yang diberikan Ibda juga amat problematis karena menyatakan bahwa pendekatan antropologi simbolik (Clifford Geertz, Victor Turner, dll) mengenal tingkatan simbol dari tinggi ke rendah.
Antropologi tentu mengenal tingkatan atau hierarki. Namun hierarki ini berlaku dalam satu kebudayaan atau biasa disebut dengan stratifikasi. Hierarki bukan soal kedudukan dua atau lebih kebudayaan dan mana yang lebih luhur atau tidak. Namun Ibda meletakkan hierarki justru terhadap kebudayaan lain dengan terus menerus mendikotomikan lokal dan asing dan bahkan memberi pertanyaan provokatif “Lebih unggul dan bermutu mana simbol kiai produk Nusantara dari bangsa lain?” di akhir tulisannya.
Bagi saya ini adalah suatu langkah mundur dalam pembahasan soal kebudayaan. Meletakkan suatu kebudayaan sebagai hal yang lebih luhur dibanding kebudayaan lain hanya akan membawa pada diskriminasi. Ini tidak ubahnya kala antropologi masih menjadi instrumen kolonial untuk menundukkan kebudayaan jajahan yang dianggap tertinggal dan kurang luhur dibanding kebudayaan mereka.
Antropologi mengenal konsep relativisme budaya (cultural relativism). Konsep ini lahir karena antropologi menekankan pada keunikan budaya, bukan keanehan. Keunikan dianggap memandang perbedaan antar budaya sebagai hal yang wajar. Sebaliknya keanehan menandakan adanya penyimpangan dari kebudayaan yang dianggap aneh. Pernyataan bahwa “…secara antropologis, religius, tingkat keilmiahan simbol kiai produk Nusantara lebih bermutu daripada simbol-simbol impor dari luar negeri” (Paragraf 24) sama sekali tidak antropologis dan ilmiah seperti yang diungkapkannya.
Ibda mungkin tidak memahami relativisme budaya. Padahal relativisme budaya penting untuk menghindari bias-bias. Misalnya bias untuk merendahkan kebudayaan lain atau mengagungkan kebudayaan sendiri. Hasilnya adalah diskriminasi seperti halnya rasisme dan antropologi di masa awal mulanya sebagai catatan kebudayaan primitif. Bagi antropologi, relativisme budaya memberi pembebasan dari Eurosentrisme.
Selain klaim primordial atas kiai, masih ada hal-hal problematis lainnya yang penting untuk disorot. Klaim kiai yang lahir dari kebudayaan Jawa tidak disertai dengan bukti yang memadai. Kiai tidak hanya ada di Jawa dan lahir sebagai bagian dari peradaban Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa Islam tidak benar-benar berasal dari Nusantara. Namun Islam mengalami perubahan sesuai dengan kebudayaan setempat dan kiai adalah salah satu buktinya. Klaim bahwa diksi kiai “bukan impor” (Paragraf 1) tidak terbukti.
Klaim bahwa Geertz, Turner, dan Edward Tylor mengkaji simbol sebagai kekayaan manusia yang sangat mahal (Paragraf 8) juga problematik. Pernyataan tersebut tidak pernah terlontar dari ketiganya. Lagipula klaim tersebut cenderung membawa pada pemahaman adanya kekayaan manusia non-simbol yang murah. Begitu juga dengan pertanyaan “atau justru terjebak pada simbol-simbol yang destruktif?” (Paragraf 8) amat aneh. Simbol macam apa yang diklasifikasikan sebagai “simbol yang destruktif”?
Singkat kata, bagi saya penting untuk menganalisis kebudayaan sendiri. Namun analisis itu juga harus hati-hati dan dihindarkan dari bias primordialisme seperti tulisan Ibda tersebut. Telaah harus dilakukan dengan bukti yang memadai dan kritisisme agar bisa berguna. Bukan telaah dengan klaim-klaim berlebihan yang akan membawa pada kemanfaatan. Seperti yang Ibda sendiri katakan (tapi tidak dilaksanakan), “Fenomena seperti inilah yang harus diluruskan sebelum Indonesia makin jatuh ke lembah kebodohan” (Paragraf 4).