Setiap masyarakat biasanya memiliki pranata sosial tersendiri yang berfungsi untuk menghadapi berbagai situasi. Pranata sosial itu merupakan pedoman masyarakat dalam menghadapi berbagai fenomena termasuk perubahan sosial yang terjadi pada era globalisasi ini.
Dalam masyarakat Maluku terdapat pela dan sasi sebagai suatu pranata sosial yang khas bagi masyarakat Maluku untuk menghadapai berbagai permasalahan. Masyarakat Maluku sendiri pernah menghadapi masalah konflik komunal pada 1999-2004. Konflik ini disebabkan karena adanya tensi antara masyarakat Islam dan Kristen dan juga antara warga lokal dan pendatang di Maluku. Meski begitu banyak warga Maluku yang sebenarnya tidak memahami ada permasalahan apa saat konflik tersebut terjadi.
Dalam penyelesaian konflik ini dilakukan relasi dialogis secara horizontal untuk menghidupkan kembali nilai-nilai harmoni yang terkandung dalam pela. Pela merupakan pranata penyelesaian konflik yang terjadi antara 2 desa atau lebih. Wujud pela layaknya suatu organisasi sosial dimana setiap anggotanya memiliki berbagai kewajiban dan dapat mengharapkan bantuan dari anggota lainnya. Ada 2 macam pela yaitu pela keras (pela tulen, pela darah) dan pela tempat sirih.
Pela keras dulunya tiap anggotanya saling membantu kala perang dan bahaya lainnya. Ada larangan perkawinan antar anggota pela keras. Pela keras ini juga disebut pela darah karena adanya dongeng “minum darah” yaitu mereka mencampur darah dari jari tangan yang diteteskan dalam sebuah gelas berisi tuak. Gelas tuak dengan tetesan darah tadi sesudah dimasuki ujung senjata mereka, mereka minum bersama. Terbentuknya pela keras terjadi dalam situasi banyak perang.
Pela tempat sirih antar anggotanya saling membantu dalam pembangunan. Kewajiban anggota adalah memberi sagu kepada anggota lain yang membutuhkan. Selain itu mereka wajib menerima anggota lain menginap di rumah mereka. Larangan perkawinan antar anggota tidak seketat pada pela keras. Persamaan kedua pela adalah tidak dibatasinya keanggotaan pela berdasarkan agama atau pela gandong.
Selain pela ada pula sistem yang disebut sasi. Sasi adalah suatu aturan mengenai pengelolaan sumber daya alam baik di darat dan laut. Manajemen itu dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya larangan untuk mengambil sumber daya tertentu sesuai kesepakatan masyarakat. Larangan tersebut dapat bersifat tetap ataupun sementara. Ada pula larangan untuk memasuki daerah tertentu yang dianggap keramat.
Dalam zaman modern dengan segala permasalahannya, sistem pela gandong ataupun sasi dapat dimanfaatkan untuk menghadapinya. Pela, misalnya, bertumpu pada nilai-nilai kolektif dan memperjuangkan kepentingan bersama. Hal ini dapat dimanfaatkan agat konflik seperti 1999-2004 dapat dicegah agar tidak terulang.
Prioritas terhadap kepentingan bersama akan dapat meredam kemungkinan terjadinya konflik. Sistem pela juga cocok diterapkan untuk pembangunan karena adanya kewajiban saling membantu di antara anggota. Pembangunan yang dilakukan juga akan sesuai dengan kepentingan kolektif. Selain pela, sasi juga dapat diterapkan di era modern ini untuk menjaga kestabilan. Seringkali terjadinya konflik disebabkan perebutan sumber daya dan hal ini dapat dicegah dengan sasi. Sasi telah mengatur mengenai pemanfaatan sumber daya berdasarkan berbagai pertimbangan dan juga kesepakatan bersama masyarakat.
Dalam konteks tertentu, sasi juga dapat menjaga kondisi lingkungan karena regulasi dalam sasi erat kaitannya dengan perlindungan terhadap alam agar dapat tetap bertahan. Di lain sisi, implementasi nilai budaya lokal dapat membuat pola kebijakan dan penyelesaian masalah sosial menjadi bersifat bottom–up dan tidak top-down. Aspirasi dari masyarakat dapat lebih tertampung karena nilai dari masyarakat itu sendirilah yang menjadi pedoman.