Sedang Membaca
5 Humor Gus Dur dalam Buku 90 Menit Bersama Gus Dur

Santri Pondok Pesantren Al-Imdad, Bantul, Yogyakarta. Sekarang tinggal di Kartasura.

5 Humor Gus Dur dalam Buku 90 Menit Bersama Gus Dur

Gus Dur

“Humor bukanlah dagelan,” kata Prie GS, “humor sesungguhnya adalah gambaran spiritualitas manusia. Semakin tinggi tahapan spiritualitas manusia, semakin lucu seseorang. Lucu yang bukan dagelan melainkan lucu yang meluhurkan kemanusiaan,” lanjutnya.

Pada satu dekade yang lalu, tepatnya tanggal 13 Mei tahun 2000, diadakanlah forum Komunikasi Lintas Agama Jawa Tengah dan DIY di Salatiga dengan menghadirkan Gus Dur sebagai mercusuar pada forum tersebut.

Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 300 tokoh dari berbagai kelompok lintas SARA yang ada di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka kesemuanya terdiri atas sejumlah Kiai, Pendeta, Romo, Bhiku, Haksu para tokoh pemikir dan aktivis lembaga maupun LSM. Kegiatan ini diprakarsai oleh Komunitas Lintas Agama yang terdiri dari beberapa lembaga, di antaranya Lembaga Percik, Yayasan Kristen Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa, Forum Gedangan dan lain sebagainya.

Beruntungnya, forum tersebut direkam dengan baik dan lima tahun kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku oleh Penerbit Pustaka Percik bekerjasama dengan Pustaka Pelajar dengan judul 90 Menit Bersama Gus Dur (2006).

Sebagaimana pembukaan tulisan ini, mengutip istilah Prie GS, humor adalah gambaran spiritualitas manusia, semakin tinggi tahapan spiritualitas manusia, semakin lucu seseorang. Lucu, yang bukan dagelan melainkan lucu yang meluhurkan kemanusiaan, humanisme, jika meminjam istilah Gus Dur.

Bukan Gus Dur jika setiap tuturannya tak mengundang gelak tawa, termasuk pada forum dialog tersebut. Setelah membaca buku setebal 120 halaman ini, yang selesai takkurang dari 90 menit, setidaknya saya tertawa berkali-kali oleh lelucon-lelucon segar yang dilontarkan Gus Dur dalam forum kala itu, yang tak saya temukan dalam buku Ulama Bercanda, Santri Tertawa anggitan Mas Hamzah Sahal itu.

Baca juga:  Ojo Musuhi Bapakmu!

Humor pertama ketika Gus Dur mengetengahkan pentingnya mengetahui persoalan kita itu apa. Jika hanya asal bunyi, akibatnya akan menjadi pendidikan yang menyesatkan bagi rakyat kita sendiri. “Pertanyaan yang benar sudah merupakan separuh dari jawaban. Pertanyaan yang keliru pernah ditanyakan oleh RCTI atau apa, saya lupa, kepada Kiai Hamid Jangkung. ‘Bagaimana, Kiai, dengan dua batang bambu—yang masing-masing hanya satu meter—kok bisa tahu bulan ada atau tidak? Sedangkan orang lain, menggunakan teropong yang canggih, kok tidak bisa lihat bulan?’ jawab kiai, ‘walaupun pakai teropong, tapi kalau tidak diarahkan tepat ke arahnya, ya tidak bisa.” Cerita Gus Dur.

Humor kedua. “Saya ingat pada pertemuan dengan Presiden Jacques Chiraq dari Perancis. Saya katakan kepada beliau bahwa saya setuju dengan Prof. Dr. Mukti Ali, tentang perlunya ada dialog. Tapi, saya tidak setuju contohnya. Persoalannya adalah begini, agama-agama berdialog, saya setuju. Untuk berdialog, kita harus mengetahui prinsip-prinsip mana yang berlaku untuk semua agama, yang sifatnya universal.

Tidak perlu kita mempertentangkan perbedaan-perbedaan yang ada. Itu saya setuju. Tapi beliau—Prof. Mukti Ali—meneruskan, “Sebagai contoh, bahwa gelas yang berbeda-beda bisa diisi dengan anggur yang sama.” Ini menunjukkan bahwa dia tidak kenal anggur. Ya maklum, Pak, dia kan kiai,” Kata Gus Dur kepada forum, lalu meneruskan, “Dia tidak tahu, kalau gelasnya lain, ya anggurnya lain. Dia (Jacques Chiraq) tertawa. “Ya , saya orang Prancis. Saya tahu itu.”

Baca juga:  Humor Gus Dur: Dilarang Gosok Gigi

Humor ketiga. “Dulu saya pernah rapat di rumahnya Mbak Tuti Herati(ketua DKJ tahun 1982-1985). Saya satu-satunya laki-laki, yang lainnya perempuan semua. Ya sudah. Biasa lah, mereka—saya tidak tahu, apakah karena kurang kerjaan—dari pagi sampai jam satu tidak putus-putus berdebat. “Organisasi ini apa namanya, wanita atau perempuan?” (tanya Gus Dur). Kalau empu itu katanya dipengaruhi orang. Empu itu biasanya laki-laki. Kalau wanita dari bahasa Sansakerta yang berarti wanita penghibur.

Selesai makan siang—di atas jam dua—saya disuruh ngomong. Saya katakan, kalau tidak mau perempuan atau wanita, ada satu istilah lagi: betina saja! Tujuan saya tercapai. Langsung semua marah dan pertemuan itu dibubarkan. Saya nggak tahu sampai sekarang (2000) sudah terbentuk atau belum.”

Humor keempat. “Salah satu dongeng—yang istilahnya meresap di hati—adalah dongeng pastur di gereja, yang rumahnya di belakang gereja. Suatu malam dia bekerja. Kemudian ada orang masuk. Tetapi tak lama kemudian orang itu sudah tak ada. Langsung si pastur ini mengangkat rosarionya, karena ada salibnya. Tetapi, tetiba muncul drakula yang terus menuju ke arah dia. Karena ketakutan kalau diisap darahnya, pastur ini keluar. Drakulanya nguber dari belakang, keliling-keliling halaman gereja.

Sampai akhirnya, karena masih diikuti terus, masuklah pastur itu ke altar gereja. Di altar ada salib yang gede sekali. Dia cabut dengan berkeringat-keringat. Langsung dicabut, lalu disodorkan kepada drakula itu. Drakula menjawab, “Nggak takut, saya sudah masuk ICMI.” Gus Dur mengakhiri ceritanya.

Baca juga:  Humor Bahasa: Dokter, Doktor, dan Thabib

Humor kelima. Humor kali ini dimukadimahi oleh penjelasan Ibu Shinta Nuriyah, “Pernah datang seorang sarjana perempuan dari Perancis kepada saya, yaitu bernama Dr. Andre Veilard. Dia mengatakan, “Ibu, kalau laki-laki berselingkuh, itu masih diharapkan dia akan tobat dan kembali kepada keluarganya. Tapi, kalau laki-laki itu menikah lagi, ini adalah neraka seumur hidup buat perempuan yang pertama, karena perempuan kedua akan berada di samping suaminya selama-lamanya selagi dengan dia.” Ibu Shinta menimpali, “Sekarang terserah kepada Anda, mau pilih neraka seumur hidup atau neraka apa?”

Giliran Gus Dur menambahi, “Saya tambahi. Ada seorang tukang potong kayu. Tiap hari ia dapat kerjaan. Isterinya empat. Kalau isteri lagi marah, itu neraka, Pak. Kalau dua, itu derita, Pak. Karena kalau lagi dicurigai isteri pertama, itu bagaimana? Nanti juga dicurigai oleh isteri kedua. Jadi, itu namanya menderita. Yang isteri ketiga itu neraka. Karena saling curiga-mencurigai, nggak karu-karuan. Akhirnya, kita kayak neraka lari sana-lari sini. Yang keempat, Pak, baru surga lokal.” Ujar Gus Dur akhiri cerita sambil terkekeh.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top