Bagaimana hal yang meski dilakukan untuk menjadikan diri bahagia terhadap ilmu dan pengetahuan, tak terkecuali kepada matematika? Pertanyaan ini terasa aneh dan mengurungkan diri untuk memberi jawaban. Namun, pertanyaan itu pula yang membawa kesadaran terhadap permenungan kita mengenai kata “belajar”. Kita kelewat berlebihan jika belajar hanya dimaknai saat mengenyam pendidikan formal. Tak lebih dari itu.
Matematika memang bukanlah keilmuan yang menjanjikan nasib. Matematika di dalam beberapa sudut kepala adalah ingatan kolektif mengenai momok yang menakutkan. Dirimu pasti punya pengalaman masing-masing dalam belajar matematika. Bisa jadi ada masanya kita hidup penuh takut dan cemas akan matematika. Kita boleh membawa alasan itu dengan suasana belajar, penyampaian dari guru, hingga kerumitan yang terjadi.
Sekian waktu pengisahan kejadian maupun peristiwa, urusan matematika menyangkut perkara masa depan bangsa. Konon, untuk berbakti pada bangsa dan negara, satu hal yang mesti dipahami oleh seorang warga negara adalah kemampuan dalam matematika. Kita tak perlu bicara panjang urusan berbangsa dan bernegara. Kita simak saja sebuah buku berjudul Ensiklopedia Saintis Junior: Matematika garapan Tim Collins, yang diterjemahkan oleh Mharta Adji Wardana dan diterbitkan Penerbit Kiddo pertama kali pada Februari 2022.
Collins membuka ingatan pembaca dengan paragraf: “Matematika telah ada bersama kita sejak manusia purba mulai menghitung hari dan benda-benda, dan menetapkan kata-kata dan simbol-simbol menjadi angka-angka. Matematika berperan penting dalam perkembangan peradaban, sebagaimana perkembangan dari awalnya manusia berburu dan mengumpulkan makanan menuju para petani yang menetap hingga kehidupan modern nan mutakhir ini” (hlm. 4).
Matematika dengan demikian adalah bahasa yang terdapat dalam aktivitas demi aktivitas di kehidupan sehari-hari. Kita boleh mengingat saat masa sekolah dasar dulu ketika belajar berhitung. Pernah ada tradisi belajar tersebut dengan menggunakan swipoa atau ada yang menyebutnya sempoa. Rupa-rupanya alat itu bukanlah sesuatu yang remeh. Ia menjadi bagian penting dalam peradaban ilmu dan pengetahuan.
Simaklah penjelasan Collins: “Swipoa, atau abakus, adalah alat hitung yang di dalamnya terdapat operasi matematika. Alat ini adalah pendahulu kalkulator dan masih digunakan saat ini” (hlm. 4). Matematika bersejarah. Kita terpantik mencari sejarah perkembangan di dalamnya. Pada tahun 2011, Penerbit LintasKata menerjemahkan buku The Science Book, yang pernah diterbitkan National Geographic Society. Terjemahan dalam bahasa Indonesia terdiri dari beberapa edisi. Edisi demi edisi terkemas dalam judul Buku Pintar Sains: Segala Hal yang Perlu Kita Ketahui Tentang Cara Kerja Seluruh Isi Dunia.
Di salah satu edisinya, matematika diketengahkan. Kita mendapat penjelasan berupa: “Matematika adalah ilmu pengetahuan yang kemungkinan besar dikembangkan Phytagoras dari Yunani kuno. Dia dan gurunya, Thales of Miletus, dianggap dua dari filsuf-filsuf awal. Awalnya matematika selalu dikaitkan dengan filsafat. Hingga kini, logika yang sama masih digunakan untuk kedua disiplin ilmu itu: matematika dan filsafat.”
Waktu demi waktu berlalu, matematika terus berkembang dan mengisi bahasa dalam peristiwa kehidupan sehari-hari. Matematika bekerja di pasar dan swalayan saat seorang penjual dan pembeli melakukan transaksi. Matematika tergunakan di laboratorium saat para ilmuwan melakukan penelitian. Matematika berada dalam sentuhan demi sentuhan pemain sepak bola saat di lapangan berupa catatan statistiknya. Matematika muncul dengan kehadiran geometrinya saat kita memahami keberadaan rumah. Di pandemi, matematika hadir dengan sajian data dan grafik.
Bahkan, kini saat menatap kehidupan abad XXI yang diidentikkan dengan kekuatan pemrograman komputer, matematika tak bisa disingkirkan. Ia justru penting, sebab kerangka mendasar dari pemrograman tiada lain adalah algoritma, bagian dari matematika. Collins menulis: “Suatu algoritma adalah serangakaian instruksi sederhana, langkah demi langkah, untuk menyelesaikan masalah. Komputer menggunakan algoritma, sehingga kita bisa menerapkan teknologi untuk menyelesaikan permasalahan di kehidupan sehari-hari” (hlm. 100).
Buku Collins tentu sah mengajak para pembaca untuk menemui keindahan demi keindahan dari matematika. Kendati ditujukan pada pembaca di kalangan anak, agaknya buku itu perlu juga dibaca kalangan dewasa yang kerap kali membuat mitos an melanggengkan akan matematika itu suatu hal menakutkan. Konon, mitos itu di beberapa daerah di dalam kultur kebudayaan masyarakat masih kuat. Terkadang, matematika tertransformasikan sebagai keilmuan yang sepi diminati, khususnya para pelajar.
Duh, kita malah teringat salah satu tokoh. Tokoh itu berasal dari Kota Solo, namanya Raden Mas J. T. Suhakso. Ia menamatkan kuliah di jurusan matematika ITB Pada 1953 dan pernah menjadi guru besar matematika di UGM. Pada masanya, ia merupakan sosok langka yang menekuni bidang matematika. Di Majalah Aku Tahu edisi September – Oktober 1987, ia diprofilkan dengan judul “Matematika itu Secantik Meriam Bellina”.
Kita mendapat keterangan: “Keindahan matematika itu terletak pada kejernihannya, logikanya. Lihatlah sebuah penyelesaian soal matematika, urutannya runtun dan langkahnya tepat njlimet. Ya, seorang matematikawan pun berpikir secara tepat, landep, jernih dan tajam. Bukan berarti cara berpikir seorang matematikawan itu lebih baik dari yang lain. Bukan begitu. Tetapi, dalam kehidupan, perlu kita berpikir secara landep, jernih. Karena bila berpikiran jernih, pasti, tindakannya pun akan tepat.” Kita terus diajak memikirkan matematika.[]