Sedang Membaca
Nilai-nilai Khalifah dalam Konsep Satria Piningit
Jadid Al Farisy
Penulis Kolom

Alumnus pondok pesantren Tambakberas Jombang ini aktif menulis esai, cerpen, puisi dan geguritan.

Nilai-nilai Khalifah dalam Konsep Satria Piningit

1280px Wayang Painting Of Bharatayudha Battle

Seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara tugas maupun moral terhadap sebuah komunitas atau masyarakat yang dipimpinnya. Dalam prosesnya, banyak hal yang melatarbelakangi terbentuknya seorang pemimpin. Tentu saja berbeda-beda sesuai dengan ranahnya masing-masing. Mulai dari tingkat kepemimpinan yang paling kecil, misalnya keluarga, sampai yang lingkup yang lebih luas lagi seperti dalam tata kelola sebuah negara. Dari semua itu ada satu hal yang pasti dan menjadi keinginan semua orang, yaitu adanya seorang pemimpin yang adil. Karena dari keadilan lah kesejahteraan dapat diraih.

Di kalangan masyarakat Jawa, terdapat salah satu kepercayaan tentang pengharapannya pada seorang pemimpin yang adil. Ketika sebuah keadaan sosio culture sebuah komunitas masyarakat berada pada titik resesi, kronis atau akut yang meliputi semua aspek, dari titik itu pula sebenarnya terjadi kulminasi partikel-partikel cahaya yang siap menyemburat menjadi damaring kahanan. Lingkaran cahaya itu boleh kita sebut ratu adil, satria piningit kalau dalam terminologi budaya Jawa, atau sang imam Mahdi dalam khazanah keislaman.

Menurut sebagian orang ngerti (sebutan orang yang linuwih) kejawen, meramalkan bahwa untuk sampai pada hal tersebut harus melalui sebuah proses yang dalam pewayangan disebut dengan perang brubuh, sebuah keadaan chaos yang akan benar-benar menghasilkan sebuah perubahan besar dalam dimensi apapun yang berada dalam lingkup lakon pakem pewayangan.

Baca juga:  Santri dan Dakwah Digital: Yang Waras Jangan Mengalah

Misalnya saja seorang raja angkara sebuah kerajaan akan tergantikan dengan yang lebih berbudi bawa leksana, seorang ksatria yang telah purna lelana brata didaulat menjadi raja, seorang raja tua yang lengser keprabon menjadi brahmana atau menjalani kehidupan yang menjauhi urusan duniawi dan hanya mempersembahkan jiwa raganya kepada ingkang murbeing dumadi, dan lain sebagainya.

Seseorang siapapun itu, boleh lah meramalkan, memprediksi, memproyeksikan semua pandangannya terhadap alur kehidupan manusia, termasuk dalam hal kepepimpinan, namun hal tersebut tidak lah cukup untuk menjadi patokan yang mutlak. Karena dalam keberlangsungan lakon manusia di dunia ini, sungguh amatlah kecil bagian yang bisa terbaca oleh akal manusia itu sendiri.

Semua bisa saja terjadi, misalnya saja dalam konsep munculnya satria piningit yang diidam-idamkan oleh kaum tertentu, tidak harus melalui kronologi bencana super dahsyat terlebih dahulu. Bisa juga, penafsiran atas bencana besar, gonjang-ganjing dan huru-hara yang mengiringi lahirnya ratu adil, bukan dari segi pengertian dhohir, melainkan dari sudut pandang bathin.

Munculnya konsep satria piningit sendiri dalam histori babad tanah Jawa, tidak bisa dilepaskan dengan dua tokoh yang sangat berpengaruh. Yang pertama adalah Prabu Jayabaya, sang raja Kediri (1135-1157 M) dengan pandangan futuristiknya yang dikenal dengan istilah jangka Jayabaya, yaitu semacam kumpulan prediksi masa depan yang diantaranya menjelaskan tentang munculnya ratu adil.

Baca juga:  Sinyal Kuota Kemendikbud (2): Kuota untuk Keluarga Miskin

Sedangkan tokoh yang kedua adalah seorang pujangga keraton Surakarta yaitu Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802-1875 M). Beliau dikenal sebagai pujangga yang sangat fenomenal karena karya-karyanya.

Dalam setiap tulisannya, R.Ng.Ranggawarsita seolah bisa membaca zaman, menyiratkan pandangan yang melebihi zamannya kala itu. Seperti yang beliau anggit dalam sebuah pupuh tembang macapat sinom yang menyebut adanya zaman edan. Dari sinilah kemudian para penafsir Serat Kalatidha mulai menemukan konsep ratu adil atau satria piningit.

Berikut ini bunyi baitnya,

Amenangi zaman edan

ewuh aya ing pambudi

melu edan nora tahan

yen tan melu anglakoni

boya keduman melik

kaliren wekasanipun

ndilalah karsa Allah

begja-begjane kang lali

luwih begja kang eling lawan waspada

 

Terjemahan bebasnya kurang lebih seperti di bawah ini :

mengalami hidup di zaman gila

serba sulit dalam menetukan sikap dan pikiran

ikut gila tak tahan

kalau tidak ikut

tidak mendapat bagian

akhirnya kelaparan

tapi, Allah maha berkehendak

bagaimanapun beruntungnya orang yang lalai

masih beruntung orang yang ingat dan waspada

 

Ketika dihubungkan dengan kehidupan saat ini, konsep Satria Piningit merupakan simbol akan pembaharuan dalam kepemimpinan nasional.  Satria Piningit adalah dua kata sifat yang menyatu dan melekat pada diri seseorang.

Satria adalah sifat seorang yang menegakkan kebenaran dan membela kejujuran., sedangkan Piningit adalah sifat yang memingit diri artinya berlindung, menyembunyikan dirinya dari segala hal yang tidak baik. Satria piningit adalah seorang pemimpin yang bisa manunggaling kawula Gusti.

Kalau dalam penafsiran konsep kepemimpinan bisa dimaknai sebagai ia yang bisa menjaga mandat dari rakyatnya sebagaimana ia menjaga amanah dari Tuhan yang menjadikannya kholifah fil ardl, sehingga ia tidak akan mungkin berani menyakiti rakyat karena sama halnya dengan mencederai keta’atannya kepada Tuhan.

Baca juga:  Tradisi Menghafal di Pesantren

Inilah sejatinya yang menjadi muatan nilai-nilai dari istilah satria piningit. Siapapun orangnya, kapanpun saatnya, dan bagaimanapun kedatangannya? Tidak akan menjadi masalah, yang penting ia memiliki kecenderungan selain dekat dengan rakyat, dekat pula ia dengan Tuhannya.

Gresik, 21 Desember 2020

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top