Sedang Membaca
Analisis Jaringan Media Sosial dalam Polemik “Kamus Sejarah”
Ima Sri Rahmani
Penulis Kolom

UCLouvain Belgia, Dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Facebook: https://www.facebook.com/ima.rahmani1. Twitter: @rahmani_ima

Analisis Jaringan Media Sosial dalam Polemik “Kamus Sejarah”

Whatsapp Image 2021 04 21 At 12.19.36 Pm

Polemik mengenai Kamus Sejarah (KS) yang disinyalir tidak memasukan nama KH Muhammad Hasyim Asyari terus bergulir dengan berbagai narasi. Nahdlatul Ulama menjadi narasi utama selain narasi seruan untuk memberhentikan menteri pendidikan hingga dugaan komunisme yang diyakini melatarbelakangi peristiwa ini. Terlepas dari kontroversi buku yang dimaksud, saya tertarik untuk menelaah dinamika isu ini di platform media sosial Twitter.

Riset ini saya lakukan untuk mengetahui sentimen dan tokoh-tokoh sentral yang muncul di dalamnya. Analisis ini penting untuk memahami posisi Nahdlatul Ulama dan perannya di dalam polemik ini. Sebagai metode alat mengumpul data, saya menggunakan perangkat analisis “Atlas.ti versi 8” yang biasa digunakan untuk menganalisis data kualitatif. Dengan menggunakan kata sandi Nadiem’, ‘#Nadiem’, dan ‘#KamusSejarah’ saya menemukan sebanyak seribu seratus sebelas (1.111) narasi yang disirkulasikan di dalam media sosial Twitter hingga tanggal 21 April 2021.

Dengan demikian #Kamussejarah adalah tema utama yang sedang diperdebatkan. Sedangkan #Nadiem menjadi sasaran utama sebagai akibat dari perdebatan tersebut. Maka, sentimen yang berkembang kemudian di dalam jaringan media sosial adalah sentimen positif (amitié) terhadap #Nadiem atau sentimen negatif (hostilité) terhadap #Nadiem. Nah, bagaimana sentimen itu saling bercuitan, #Kamussejarah menjadi tema pengantar. Dengan kata lain, baik mereka yang bersentimen positif atau negatif, mereka menggunakan term #Kamussejarah dalam interaksinya.

Di dalam riset sederhana ini, saya lebih menekankan pada elemen penting yang menjadi pusaran utama polemik, yaitu simpul ‘Nahdlatul Ulama’, ‘Pemerintah’, dan simpul dominan selain kedua simpul sebelumnya. Diagram di bawah ini menunjukan pola simpul jaringan sosial yang terbentuk mengenai isu KS di Twitter.

Ima Whatsapp Image 2021 04 26 At 10.54.40 Pm

Sebagai konteks, isu ini muncul bersamaan dengan wacana perombakan kabinet yang semakin hangat dibincangkan.  Saya pribadi mengetahui isu ini melalui cuitan @na_dirs (Khazanah GNH) pada tanggal 20 April 2021 yang mengomentari cuitan yang disampaikan oleh @Kanseulir (Kanseulir) sehari sebelumnya yang mencuit berita yang dipublikasi oleh cnnindonesia.com berjudul, “Warga NU Protes Nama KH Hasyim Asyari Hilang di Kamus Sejarah” yang disertai cuitan, “Sudah Dibilang Ada yang Mau Cederai Islam, Ente Gak Percaya. Ayo, Bangkitlah!”.

“Warga NU yang manakah yang protes?” adalah pertanyaan yang muncul begitu melihat judul berita tersebut. “Buku yang manakah yang dimaksud?” adalah pertanyaan selanjutnya. Rasa penasaran ini yang membawa saya pada penelusuran dan penulisan artikel ini.

Sekilas Ulasan Teoritis Mengenai Analisis di Jaringan Media Sosial 

Secara teoritis, komunikasi melalui media sosial membangun suatu struktur yang berbeda dengan komunikasi langsung. Menurut Vincent Lemieux dan Matheiu Oumet di dalam bukunya berjudul “L’Analyse Structurale Des Reseaux Sociaux” (2004), sebagai pengamat, kita dapat melihat jaringan sosial berdasar pada bentuk hubungan antar aktor sosial. Selanjutnya kita dapat mengamati dinamika interaksi antar aktor tersebut berdasar pada arah hubungan (chemain), sekuen hubungan (chaîne), jumlah koneksi tunggal atau ganda (connection-biconnection), sumber informasi (source), kontak langsung (contact), sambungan (relais), dan aktor dominant (acteur dominant) yang muncul di dalam jaringan di media sosial.

Di dalam artikel ini saya tidak akan menjelaskan secara rinci satu persatu karakter dinamika interaksi ini, namun saya akan gunakan beberapa secara langsung ketika menjelaskan data.

Secara umum, fungsi para aktor di jejaring sosial adalah untuk menggambarkan (decrier) atau untuk menjelaskan (expliquer) sesuatu. Fungsi menggambarkan biasanya dimiliki oleh aktor dominan (AD) yang berperan sebagai pusat informasi. Dia dapat berupa media daring atau tokoh penting (dominan) di dalam jaringan. Sementara fungsi penjelas dimiliki oleh aktor pendukung (AP). Dia akan membagikan, menambahkan, atau mengkritik sumber informasi dengan menyertakan informasi tambahan untuk memperkuat atau memperlemah informasi utama. Dia yang membangun relasi sosial menjadi semakin luas dan berkembang. Selanjutnya AD dan AP akan saya gunakan di dalam artikel ini.

Menurut teori ‘Struktral’, relasi sosial dapat terbentuk berdasar pada sebuah respon ‘kepatuhan’ pada satu prinsip organisasi tertentu yang mendorong seseorang untuk menjauh atau mendekat terhadap keyakinan para AD atau sesuatu yang dipandang sulit untuk dihindari. Oleh karena itu, arah hubungan dapat muncul dalam bentuk hubungan persahabatan (amtié), atau perseteruan (hostilité). Hubungan netral tidak muncul dalam ‘arah hubungan’ (chemain) karena artinya tidak miliki hubungan.

Namun, dia dapat membentuk jaringannya sendiri atau digunakan sebagai informasi tambahan yang dapat memperkuat atau memperlemah informasi utama. Selanjutnya, akumulasi interaksi ini akan membentuk  suatu blok interaksi yang disebut ‘groupablitié’. Yaitu sebuah group yang memiliki prinsip organisasi ‘unik’ yang tidak sama dengan yang lain. 

Dengan menggunakan perspektif teori ‘dialogical network’ seperti yang saya tulis di dalam artikel yang berjudul ‘Counter Islamophobia: An Analysis of the Discourse of Belgium’s Non – Government Organisation in the Media‘ (2018), saya memahami bahwa media sosial secara dialogis terhubungkan secara interaktif, tematis, dan argumentatif. Oleh sebab itu, media dapat juga digunakan sebagai alat untuk melakukan investigasi berbagai jaringan sosial yang muncul di dalam satu ikatan organisasi untuk dapat menangkap berbagai aspek yang ada di dalamnya. Dialog di dalam sebuah jaringan dikarakterisasi oleh partisipasi dan debat publik yang dipengaruhi oleh budaya politik di dalam jaringan sosial tersebut. Hal yang paling penting adalah bahwa elemen yang muncul bersifat konkret yang dianggap sebagai peristiwa sosial yang nyata.

Dalam interaksi antargrup, peran ‘penghubung’ sangat penting (une position avantageuse). Dia memungkinkan dua grup yang saling bertentangan untuk dapat berkomunikasi yang disebut sebagai. M. Shudson di dalam bukunya yang berjudul ‘The Power of News’ menyebutnya sebagai ‘gatekeeper’, yaitu orang yang bertanggung jawab untuk membentuk dan membagikan informasi di media dengan tujuan unuk membentuk dan membangun makna dari sebuah wacana. Intensifikasi wacana akan berpengaruh terhadap otentisitas wacana tersebut. Dalam hal ini, peran AD sangat penting. Saya berpendapat bahwa, dalam kontek interaksi di twitter, gatekeeper dapat berperan sebagai AD atau AP. Mereka bekerjasama untuk membuat sebuah wacana menjadi intensif dibicarakan sehingga menjadi ‘viral’.

Baca juga:  Mangkunegaran untuk Publik

Oleh sebab itu, untk mengetahuinya AD, salah satunya kita dapat melalui kepadatan interaksi (dencité) yang ditentukan oleh intensitas interaksi yang dapat diidentifikasi dari banyaknya koneksi, sambungan, dan kontak antar satu aktor dengan aktor yang lainnya. Terkait hal ini, saya berpendapat bahwa twitter memberikan peluang untuk menjadikan setiap individu (AP) sebagai ‘gatekeeper’ bagi ‘AD’ yang diikutinya, tanpa harus melibatkan interaksi langsung dengan aktor tersebut: koneksi imaginasi. 

Sebagai tambahan, saya ingin menegaskan bahwa AP memiliki fungsi yang sangat vital dalam memberikan narasi berdasarkan pemahaman dan karakter bahasa yang dimiliki. Mereka juga dapat melakukan publikasi berulang dengan narasi yang sama terutama ketika mendukung gerakan tagar. Secara umum, terdapat dua karakter utama AP yaitu karakter emosional penuh prasangka dan karakter rasional penuh pertimbangan. Atas dasar inilah analisis saya akan susun di dalam artikel saya ini. 

Sentimen dan Aktor Dominan di Dalam isu ‘Kamus Sejarah’: Simpul Nahdlatul Ulama 

Sangat menarik ketika saya menemukan bahwa ‘Nahdlatul Ulama’ (NU: berwarna hijau) muncul di dalam wacana ini dalam tiga simpul yang saling terlepas. Simpul pertama diwakili oleh @GUSDURian, @GUSDURians, dan @nahdatululama. Ketiga aktor dominan (AD) ini muncul ke permukaan atas peran ‘gatekeeper’ sebuah media daring @holopiscom.

Setelah saya verifikasi, sentimen berita yang terdapat di dalam berita daring ini cukup netral dan saya berikan warna kuning sebagai pembeda. Wacana yang muncul dalam simpul @GUSDURian dan @GUSDURians mengenai ketiadaan nama Gus Dur. Sementara terhadap @nahdlatululama wacana yang muncul juga perihal pertanyaan keluarga akan ‘hilangnya’ nama KH. Hasyim Asy’ari serta postingan yang dibuat oleh @Andra_silent mengenai pendapatnya bahwa Nadiem hanya melaksakan visi dan misi petugas partai berkuasa. Namun ketiga AD  di dalam simpul ini tidak memberikan reaksi dan tidak ada ada AP yang bereaksi. Dengan demikian, dalam menyikapi isu ini ketiganya tampak pasif dengan tingkat kepadatan jaringan sangat rendah. 

Simpul NU yang kedua diwakili oleh @PcnuJ. Berbeda dengan simpul yang pertama, simpul kedua bersifat aktif tapi terisolasi. Artinya, AD ini bereaksi terhadap isu yang sedang muncul namun tampak terisolasi dari jaringan NU yang lainnya karena tidak hanya tidak ada aktor pendukung, juga tidak muncul dalam postingan media daring manapun. Sentimen yang muncul dalam narasi yang disampaikan bersifat netral untuk mendorong pihak terkait memberikan penjelasan terhadap persaoalan yang terjadi. Di dalam hal ini, aktor utama menggunakan YouTube sebagai media komunikasi dengan judul, ‘Gus Syaifuddin, ketua PCNU Jakpus. Gugat Persoalan Kamus Sejarah Indonesia’. 

Simpul NU yang ketiga diwakili oleh @nu_online. Meskipun tampak pasif, karena tidak tidak memberikan reaksi atau membalas cuitan,  jaringan @nu_online lebih padat karena selalu dirujuk. Sentimen yang muncul di dalam percakapan yang dilakukan oleh AP di dalam simpul ini secara umum didominasi oleh sentimen yang cenderung positif (terhadap Nadiem) namun rasional. Contohnya, seperti cuitan yang dilakukan oleh @sentilin sebagai balasan atas cuitan yang dilakukan oleh @fahri_nusantara yang menanggapi postingan @nu_online yang berjudul, “Pendiri NU Hilang, Kamus Sejarah Kemendikbud Diminta untuk Direvisi dan Ditarik dari Peredaran”.

Sebagai tanggapan, @fahri_nusantara merespon, “Jika ini dibiarkan maka saya khawatir organissi yang kita sangat cintai seperti NU akan dihilangkan. Sekarang mungkin pendirinya ajah yang dihilangkan dari sejarah tapi nanti organisasinya yang dihilangkan. Apakah ini disadari oleh NU?????”.

Selanjutnya, @sentilin merespon, “Wah, tcakep akan kekhawatiran bapak. Bisa langsung ditanya pak ke @muhammdiyah langsung knp dr awal pendiri NU tidak ada. Krn naskah tsb disusun sejak tahun 2017. Mendikbud Nadiem baru jadi Menteri 2019 tuh Pak”.  Seperti misalnya juga @ardarizkyy yang membalas cuitan @yotohur, “Payah dah ga paham isu tapi sok speak up kudeta. Padahal naskah itu disusun tahun 2017 jaman mendikbud lama, bukannya harusnya kalian bertanya2 kenapa isu ini yg difitnah Nadiem? YA BIAR DAPET KURSI NADIEM LAH!!!”. Demikian juga tanggapan @Christalina101, “Sebenernya agak plot twist mas. Yang gak ada apa-apa malah diisuin jadi apa-apa cm gegara pada dengki kursinya Nadiem. Pancasila aman dibilang ilang, Agama aman dibilang ilang, sejarah aman dibilang ilang. Isu ini juga sama kasusnya.Publik harusnya merasa janggal, PIKIR KRITIS!”. Juga cuitan @Antikadrun9 menanggapi postingan berita daring Tribun-News, “Naskah tsb di susun 2017 yang Mendikbud nya bukan Nadiem Makarim tapi kok viral nya baru 2021?”. Cuitan ini menjadi resepon dari cuitan @hnurwahid yang akan saya jelaskan di simpul ketiga : simpul dominan. 

Sentimen dan Aktor Dominan di Dalam isu ‘Kamus Sejarah’ : Simpul Pemerintah

Yang saya maksud sebagai simpul Pemerintah di sini adalah para aktor dominan (AD) atau lembaga pemerintah yang dirujuk oleh pengguna twitter. Di antaranya adalah @Nadiem_Makarim, @aniesbaswedan, @Kemdikbud_RI, @setkabgoid, @wapres_ri, @Itjen_Kemdikbud, @jokowi, @pusdatub_dikbud, dan @BipaKemdikbud.

Berdasarkan arah koneksi, meskipun isu ini menyangkut menteri pendidikan, namun tenyata yang paling banyak dirujuk oleh netizen adalah @jokowi. Secara umum, para aktor utama di dalam simpul ini cenderung pasif, tidak memberikan respon apapun.

Sentimen yang muncul di dalam simpul @jokowi bersifat positif (terhadap Nadim) maupun negetif (terhadap Nadiem) dengan karakter emosional dan berprasangka. Contoh sentimen negatif emosional adalah yang disampaikan oleh @Adra_silent yang menyatakan, “Nadiem hanya melaksanakan visi dan misi petugas partai berkuasa, tidak ada visi dan misi menteri yang ada visi dan misi presiden”. Sementera itu narasi dengan sentimen positif namun emosional di berikan oleh @jakfatur_14 yang respon cuitan @elmahfudzi, “Payah dah barisan manusia sumbu pendek. Itumah NU yang ngablu, kenapa Nadiem yg disuruh ganti? Itu NU kenapa ga ngomel2 ke Muhadjir dulu yg jelas2 nyusun ini naskah pas 2017? Dari awal Nadiem jabat segala isu dikerahin buat jatohin Nadiem, ormas agama tapi kok fitnah… hadeh”. Atau cuitan yang dilakukan oleh @ba_ger91 yang membalas cuitan @ana_khoz, “Harusnya pak menteri @Itjen_Kemdikbud @pusdatin_dikbud @BipaKemdikbud , @Nadiem_Makarim Bersih bersih dikementrian yg dia pimpin. Banyak yg sdh tercuci otaknya ? Pendukung HTI ?”. 

Baca juga:  Istiqlal dan Katedral Hanya Sepelemparan Baru

Temuan yang menarik saya sampaikan di sini adalah keberadaan TP dengan sentimen negatif yaitu cuitan @ucoxregar yang ditujukan pada @knpiharis dan @jokowi bahwa “Nadiem itu sekedar menjalankan visi bosnya.Jadi bukan reshufle Nadiem. Tapi bosnya. Siapun menterinya, tetap akan saja merusak”. Hal ini menarik perhatian saya untuk mempertanyakan, siapa gerangan tokoh pendukung yang berada di dalam simpul pemerintah dengan sentiment negatif yang meskipun kepadatan simpulnya rendah namun aktif karena dirujuk oleh orang lain. Jika ditelusuri, @knpiharis mengutip media daring id.Times yang berjudul “Ketum KNPI minta Jokowi Reshuffle Nadiem Makarim”. Berdasarkan akun twitternya, @knpiharis adalah ketua umum KNPI itu sendiri. Meskipun simpulnya lemah namun cuitanya di cuit ulang lebih dari 200 kali, “Tokoh-tokoh PKI dimunculkan dalam kamus sejarah Republik Indonesia, sedangkan tokoh2 agama yang sangat berjasa seperti KH.Hasyim Asyari dihilangkan atau dilenyapkan dalam Kamus Sejarah Republik Indonesia.MENDIKBUD kerjanya apa ya ??? Reshufle NADIEM MAKARIM @jokowi”. Di sisi lain @knpiharis ini pun terhubung langsung dengan akun @PutraWadapi (Chris Wamea) yang berada di simpul ke tiga yang akan saya jelaskan selanjutnya.

Sentimen dan Aktor Dominan di Dalam isu ‘Kamus Sejarah’: Simpul Dominan

Saya namakan dengan simpul dominan karena berdasarkan data yang saya perloleh disamping simpulnya sangat solid, sebarannya juga sangat besar dengan jumlah AP (berwarna coklat) paling banyak termasuk juga tersebar ‘khususnya’ di simpul Pemerintah. Hal ini menandakan bahwa cuitan ulang dilakukan cukup intensif oleh para pengikut tokoh utama. 

Aktor dominan yang pertama yang banyak dirujuk adalah @fadlizon yang pernyataanya dikutip di dalam media daring inews.id yang berjudul, “Pendiri NU Hilang dari Kamus Sejarah, Fadli Zon : Harus Diinvestigasi, ini Masalah Serius!”. Di dalam media daring tersebut menguti pernyataan @fadilizon melalui akun twitternya yang tampak menyebut tokoh NU bersamaan dengan Komunis dengan tuduhan pembelokan sejarah,“Harus segera dibuat investigasi kenapa tokoh penting KH Hasyim Asy’ari pencetus resolusi jihad bisa hilang, sementara yang komunis bisa ada. Ini masalah serius. Ada yang hendak membelokan sejarah”. Kemudian berbagai reaksi muncul, seperti yang dicuitkan oleh @MensosJ yang berperan sebagai AP yang tampak aktif menjadi motor penghubung. Hal ini tampak dari berbagai cuitan yang ditujukan kepada tokoh lain yang ada di dalam simpul ini. Dengan mengutip berita dari CNN yang dipublikasikan tahun 2020 berjudul, “Megawati Minta Nadiem Luruskan Sejarah 1965” dan merujuk @fadlizon dia mencuit, “@fadlizon Menteri patuh pada presiden dan presiden sebagai petugas partai nurut dengan Bu Ketum Abadi.cnnindonesia.com/nasional/2020”. Contoh yang lainnya adalah cuitan yang dilakukan oleh @__kinAJ, “@fadlizon Nadiem tidak ngerti apa2 soal Indonesia…  Dia hidup lama di Amerika….”. Dengan demikian secara umum, sentimen yang muncul di dalam simpul ini negatif terhadap isu KS khususnya diarahkan pada @jokowi dan ibu Megawati /PDIP. Meskipun demikian, di dalam simpul ini ada juga aktor pendukung yang bereaksi netral dan berusaha rasional seperti yang dilakukan oleh @rakyatj3lata yang mencuit  “@fadlizon @palbapang1 RDP pak sama nadiem kan situ anggota dewan”. 

Aktor dominan selanjutnya adalah @hnurwahid yang memiliki simpul yang cukup padat namun tidak sepadat simpul yang dimiliki oleh @fadlizon. Berbeda dengan @fadlizon yang menjadi rujukan dalam simpul di sini adalah cuitan @hnurwahid itu sendiri yang menyatakan, “Setelah hilangnya frasa Agama, Pendidikan Pancasila, skrg muncul masalah baru dari Kemendikbud yg membuat Kamus Sejarah Indonesia, al krn hilangkan peran KH Hasyim Asyari (Pahlawan Nasional, Pendiri NU), tapi malah sebut tokoh2 PKI spt Semaun, DN Aidit dll. Agar sgra ditarik&direvisi”. Cuitan ini memunculkan respon seperti yang dilakukan oleh @mikabyu dalam cuit balasannya, “@hnurwahid Nadiem duhh… Stelah mitra gojek di telantarkan, ini mau buat sejarah lagi. Dg menghilangkan pendiri NU”. Atau dilakukan juga oleh @kecialkuning1 dalam cuitan balasannya, « @hnurwahid Kemendikbud zaman Nadiem tak henti2 bikin berita. Sayangnya bukan prestasi yg menonjol, tp lebih pd sensasi basi. Setelah dulu bikin berita melalui program POP, lalu soal kurikulum masa pandemi yg tak jelas, terkini soal peta jalan pendidikan dan kamus sejarah. Ada silent agenda?”. Dan juga dilakukan oleh @MensosJ yang mengulang cuitannya dengan mengutip berita dari CNN seperti sebelumnya, “@hnurwahid Mendikbud patuh pada presiden petugas partai, petugas PDIP nurut pada Ketum Abadi PDIP..cnnindonesia.com/nasional/2020” 

Secara umum, sentimen yang muncul bersifat negatif dan emosional terhadap isu KS dengan menekankan pada berbagai isu yang disampaikan oleh @hnurwahid di dalam akun twitternya. Meskipun demikian, di dalam simpul ini teradapt juga AP yang rasional misalnya yang dilakukan oleh @blankocoklat yang mengutip berita @NewsArrahmah berjudul « Ini Jawaban Mendikbud Terkait Polemik Nama Pendiri NU Hilan dari Kamus Sejarah, Nadiem : Itu Disusun Sebelum Saya Jadi Menteri ». Dia membuat cuitan, “Subhanalloh. Sudah jelas & terang di era Menteri @Kemdikbud_RI siapa? Monggo ndoro yth @aniesbaswedan berkenan disimak & klarifikasi atas tabayyun ini. @hnurwahid @MardaniAliSera” 

Saya sampikan satu contoh AD  lainnya dengan kepadatan simpul yang rendah yaitu simpul @haikal_hassan. Simpul @haikal_hassan memunculkan ide baru tentang tokoh komunis di dalam narasi terkait KS ini melalui cuitannya  « Buku Kamus Sejarah Kemendikbud baru : Hal. 51 : Darsono Notosudirjo-Komunis, Hal. 58 : DN. Aidit – Komunis, Hal.87 Henk Sneevliet – Komunis, Hal.262 : Samaoen – Komunis. Pendiri NU, HadratusSyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Halaman berapa ???? Ini kenapa pada diam? Ada apa dg bangsa ini? Cari dalangnya ! ». Respon terhadap cuitan inipun muncul dengan dengan narasi yang tak jauh berbeda, “@haikal_hassan @Hendy69261706 Mengarah ke sang menteri…minta nadiem buktikan bapaknya bukan komunis…”. Atau cuitan yang dilakukan oleh @lutfieltf yang menyatakan, “@haikal_hassan Hebat ya kinerja nadiem ini….Selalu berulah trus..”.  

Baca juga:  Menyambangi Lasem, Menyaksikan Akulturasi Budaya

Selain aktor utama berupa tokoh, simpul dominan ini juga didominasi oleh sirkuliasi berita yang disebarkan oleh @geloraco yaitu Gelora News. Ternyata, berita yang dikutip adalah berita yang dengan judul “Megawati Minta Mendigbud Nadiem Luruskan Sejarah Tragedi 1965” yang dipublikasi pada tanggal 24 November 2020. Berikut adalah contoh narasi yang muncul : “@geloraco Nadiem thn 65 blm lahir,, klo pun udah lahir masih kecil,, gmn dia tau thn 65 coba,, aneh ibu ini”; “@geloraco Berani Imam Besar Islam Nusantara Said Aqil protes ke ibu suri ?. Menteri patuh pada presiden dan presiden sebagai petugas partai nurut dengan Bu Ketum Abadi”; “@geloraco Mau di luruskan Gimana lagi ya Ibu??? Sudah jelas kok G30S pelaku kudetanya PKI (Partai Komumis Indonesia) atau partai Yang Tidak bertuhan… klo si Nadiem sih belum lahir, mana tahu sejarah dia????…”. Meskipun pada umumnya berupa sentimen negatif dan emosional, ada juga netizen yang mencoba untuk mempertanyakan,  “@geloraco Buku disusun tahun 2017, Nadiem jabat tahun 2019. Nadiem tuh serangannya udah ga masuk akal semua, sampe banyak bgt hoax dipake buat jatohin dia. Ormas islam bisa-bisanya nyebar fitnah, sedih gue liatnya. Ormas islam yg kurang islam”. AD lain yang mengutip @gelarco adalah akun @PutraWadapi(Christ Wamea). 

Berdasarkan diagram tampak bahwa simpul dominan memiliki aktor pendukung dengan sentimen negatif dan emosional lebih banyak dibanding simpul yang lainnya. Hal ini menunjukan, cuitan di antara mereka terjalin sangat aktif dalam isu ini. Pada umumnya tampak emosional karena tidak mencoba untuk mempertanyakan fakta pembanding dalam narasi mereka. Misalnya @ZAEffendy yang mengulang -ulang cuitannya, “Kalau Nadiem tidak kena reshuffle, sudah jelas & fix, semua atas dasar visi misi Presiden @jokowi…? #Nalar kan!”. Atau @MensosJ dalam mensirkulasikan narasi dan menguhubungkan berbagai AD yang membuat cuitan, “@geloraco Berani Imam Besar Islam Nusantara Said Aqil protes ke ibu suri ?.Menteri patuh pada presiden dan presiden sebagai petugas partai nurut dengan Bu Ketum Abadi”.

Ramadhan, Narasi Kebencian dan Nasib Sejarah Bangsa

Saya tidak dapat menyampaikan semua data yang saya temukan. Meskipun demikian, saya menemukan pola sirkulasi berita dan penggiringan opini yang menurut saya penting untuk diketahui oleh masyarakat secara luas. Pertama, media daring menjadi sangat signifikan dalam menggiring opini. Berdasarkan ulasan ini dapat dengan mudah kita temui berbagai media daring yang seringkali dikutip oleh masing – masing simpul. Artinya, kitapun dapat dengan mudah membaca keberpihakan media daring tersebut dalam memperkuat opini yang dibentuk. Terlebih narasi di beberapa media daring nyaris sama. Harus diingat. Semakin padat simpul maka semakin besar kemungkinan media daring terbut diakeses oleh masyarakat dan semakin besar keuntungan finansial akan diperoleh. Kedua, aktor dominan (AD) aktif menjadi sangat efektif dalam memobilisasi emosi masyarakat. Dia yang kontrovresial tampaknya memang sengaja menyampaikan sebuah informasi dengan bahasa yang provokatif dan menyulut perseteruan. Simpul yang memiliki kepentingan di dalam menggiring opini tentu adalah dia yang paling sering muncul dirujuk karena kata – kata  yang disampaikannya bagaikan genderang yang menarik perhatian orang untuk saling bertikai. Ketiga, aktor pendukung (AP) di simpul yang dominan aktif dan disiplin dalam menyebar ulang sebuah informasi di dalam jaringannya. Dia mampu memobilisasi masa hingga ke tingkat yang lebih kecil. Karena pada umumnya mereka yang mencuit ulang dan meramaikan narasi memiliki pengikut yang sedikit. Keempat, AP yag rasional baik dengan sentimen positif ataupun negatif memiliki peran yang sangat besar dalam menetralisir perseteruan. Meskipun tak jarang hal ini berakhir dengan debat kusir yang tak berkesudahan. 

Saya pada akhirnya menyimpulkan bahwa isu Agama maupun isu PKI hanya diinstrumentalisasi untuk satu tujuan tertentu. NU dalam hal ini adalah kendaraan yang sedang diupayakan untuk digunakan. Karena pada akhirnya, di hampir semua AD yang ada di simpul dominan tak mampu memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai persoalan yang sebenarnya. Agama dan PKI hanya dijadikan sebagai pijakan yang membantu mereka untuk sampai pada tujuan akhir yang diharapkan. Bahkan ketika bukti baru yang bertolak belakang dengan tuduhan munculpun,  AD dan AP di simpul dominan tak bereaksi sama sekali dan membiarkan begitu saja kegaduhan dan pertikaian di dunia maya yang mereka ciptakan tanpa ada klarifikasi. 

Hal ini tentu sangat menyedihkan. Bahkan di saat bulan suci Ramadhan narasi kebencian yang mengandung prasangka masih tetap muncul. Fakta ini membawa saya pada kesimpulan selanjutnya bahwa agama di dalam hal ini tidak lagi bermakna sakral. Dengan kata lain, agama telah dijadikan alat ‘idologis’ untuk kepentingan tertentu tanpa memperdulikan nilai – nilai yang ada di dalamnya. Sekelompok orang di simpul dominan tampak tengah berusaha meminjam tangan masyarakat NU untuk memukul ‘pihak lain’ demi obsesinya. Pihak lain yang juga belum tentu bersalah atas tuduhan yang dilontarkan. Lebih tragis lagi, obsesi ini yang tidak ada sangkut pautnya dengan masyarakat NU. Bukankah fitnah itu perbuatan yang dilarang agama ? 

Ironis, polemik yang membincang ‘Kamus Sejarah’ justru telah melukai sejarah bangsa itu sendiri. Berdasarkan analisis ini tampak bahwa unsur penggiringan wacana yang bersifat politis lebih besar dibanding solusi. Wacana yang muncul di simpul dominan justru menjauh dari ikhtiar sebagai jawaban atas persoalan yang dilontarkan kepada masyarakat. Dalam hal ini, tak hanya manipulasi isi di dalam buku KS saja, tapi juga manipulasi opini untuk memancing kemarahan publik. Dan, polemik KS ini telah menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. Napoleon Bonaparte pernah berkata bahwa hanya ada dua hal yang dapat mendorong sekelompok manusia untuk bersatu yaitu ‘rasa takut’ (fear) dan ‘kepentingan’ (self-interest). Jika kedua hal ini dibangun dari kebohongan dan fitnah, akan seperti apa yang sejarah yang kita wariskan kepada anak cucu kita selanjutnya ? Astagfirrallah. 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top