Apa yang akan terjadi pada suatu bangsa yang memiliki semangat beragama tinggi tetapi minat baca (kritis) yang rendah? Indonesia, misalnya, menurut Gallup adalah negara nomor empat paling religius di muka Bumi. Tetapi dalam hal minat baca, penelitian Connecticut State University menunjukkan Indonesia sebagai ranking 2 paling bawah.
Dengan menjadi sentralnya sosial media dalam kehidupan beragama kita, persoalan pelik rendahnya minat baca ini menghasilkan persoalan lain: literasi digital. Alhasil, tingkat taqlid terhadap gagasan-gagasan konspiratif dan cocokologi, wabil khusus yang berhubungan dengan sentimen keagamaan, relatif cukup tinggi.
Menurut Fealy, fenomena ‘keimanan’ terhadap konspirasi dan gagasan apokaliptik cukup lazim ditemui dalam masyarakat Muslim Indonesia. Salah satunya ditopang oleh literatur keislaman populer yang cukup banyak dikuasai oleh genre apokaliptik. Genre apokaliptik ini, kata Fealy, ada yang populis dan jihadis. Yang populis seringkali isinya sarat dengan konspirasi-konspirasi. Contohnya: buku Dajjal Akan Datang dari Segitiga Bermuda karya Muhammad Isa Dawud, yang berisi teori konspirasi tentang Musa Samiri yang mendirikan kerajaan di dasar Segitiga Bermuda. Julukan Paman Sam, menurut dia, merujuk pada Musa Samiri. Kata dia, lebih lanjut lagi, orang-orang Yahudi menjadi bagian dari jejaring konspirasi ini.
Kenapa Kita Percaya Konspirasi?
Pertanyaanya kemudian: kenapa ya kita percaya pada teori konspirasi? Sebagai teori, konspirasi tidak terbukti kebenarannya. Tetapi toh kita percaya! Dulu saya pernah baca buku 111 Konspirasi yang Menghebohkan Dunia karya Jamie King. Salah satu teori yang disampaikan adalah bahwa Kerajaan Inggris adalah koloni alien! Puteri Diana dibunuh oleh Kerajaan karena mengetahui rahasia besar ini.
Menurut Bimo, penulis Jangan Ada Konspirasi di Antara Kita, yang membuat orang menyukai dan mempercayai konspirasi adalah karena sifat konspirasi yang ‘tidak dapat dibuktikan’; yang mana membuat orang merasa dia ‘lebih tahu akan suatu rahasia mahapenting’ dibandingkan yang lainnya. Maka tingkat orang terdorong untuk membagikan rahasia itu jadi lebih tinggi.
Dan sebagai negara yang religius, konspirasi yang ‘laku’ adalah konspirasi yang berbau sentimen keagamaan. Biasanya berhubungan dengan narasi anti-Yahudi, anti-Barat, anti-Amerika, dan semisalnya. Contohnya: saat COVID-19 mewabah dan sebagai upaya preventif kita dianjurkan shalat di rumah saja, muncul teori bahwa ini adalah konspirasi untuk membuat umat Islam menjauhi Allah dan Rumah-Nya. Padahal kalau kita telaah sejarah, terutama pada masa pandemi, anjuran jaga jarak memang pernah ada.
Menurut Channel Youtube edukasi “Bener Gitu?”, konspirasi merupakan salah satu ekses dari kemalasan berpikir yang berujung pada logical fallacies jenis ketergesaan menyimpulkan. Dengan sangat apik, dalam video ini https://www.youtube.com/watch?v=nbLnG1cXzgI mereka menjelaskan bagaimana ketika orang merasa tidak berdaya, ada kecenderungan untuk menyederhanakan pengambilan kesimpulan: pertama, dengan mencari kambing hitam; kedua, dengan menganggap diri sebagai korban; dan ketiga, dengan berpikir bahwa ada konspirasi besar sedang bekerja.
Dalam kasus wabah Black Death yang menimpa Eropa Abad Pertengahan, rasa tidak berdaya yang dirasakan oleh masyarakat Eropa mendorong mereka menuduh Gereja, Kaum Yahudi, dan para penyihir sebagai penyebab masalah. Jika kita tengok ke dalam konteks COVID-19 hari ini, dugaan siapa dalangnya macam-macam: mulai dari Bill Gates, Yahudi, hingga China.
Menariknya, “Bener Gitu?” juga menyajikan sudut pandang yang beragam di mana siapa yang dituduh secara konspiratif sebagai dalang, bisa jadi justru sedang merasa sebagai ‘korban’. Gimana contohnya? Misal, sebagian Muslim menduga Yahudi merancang konspirasi untuk menguasai dunia. Di sisi lain, sebagian Yahudi merasa warga dunia sedang mendiskreditkan mereka. Sebagian umat Islam merasa didiskreditkan oleh Barat, tetapi sebagian orang Barat merasa umat Islam sedang berusaha melakukan Islamisasi terhadap mereka. Pada akhirnya betul firman Allah dalam QS al-Hujurat ayat 12 bahwa kita harus menjauhi berpraduga karena sebagian (besar) prasangka itu dosa.
Mengklarifikasi: Bener Gitu?
Bagaimana dong caranya agar tidak terjebak prasangka? Sederhananya dengan mengklarifikasi atau menguji kembali–bener gitu? Banyak sekali miskonsepsi yang berkembang karena informasi yang ditelan mentah-mentah, di-taqlidi tanpa diuji kebenarannya. Coba bayangkan: hadits baru dibukukan lebih kurang 2 abad setelah peristiwa hijrah. Selama dua abad itu, hadits “dirawat” melalui tradisi hafalan dan transmisi oral dari satu orang ke orang lain. Apa jadinya jika para penulis hadits tidak kritis dan tidak sabar mengklarifikasi terduga-terduga hadits yang beredar?
Dengan sikap kritis untuk mempertanyakan kembali dan mengklarifikasi, kita menjadi bagian dari orang yang ketika ada masalah, mencari solusi, bukannya menuduh adanya konspirasi. “Bener Gitu?” mencontohkan misalnya, Ahmad Ali bin Khatimah asal Almeria, meneliti penyebab wabah dan menyimpulkan bahwa pemicunya bisa jadi kualitas udara yang rendah. Ada juga Muhammad bin Ali Asy-Syakuri yang meneliti cara menangani pasien korban wabah. Dan satu lagi: Lisanuddin bin al-Khatib yang meneliti tentang bagaimana wabah menular.
Ketiganya (di samping banyak contoh lain) merupakan teladan bagi kita dalam ‘menjawab’ tantangan Allah untuk mendayagunakan akal dan pikiran kita. Karena bukankah Allah berkali-kali ‘mengingatkan’ kita: afala ta’qiluun, afala tatafakkarun? Bukankah sudah terbukti bahwa kemalasan berpikir dan mendayagunakan akal hanya akan berujung pada logical fallacies yang bisa jadi berbahaya tidak hanya bagi diri sendiri maupun orang lain?