Jika ingin melihat perkembangan praktik berislam warga Jawa Barat, Masjid Raya Bandung adalah jendela informasi yang cukup kaya yang bisa dijejaki. Posisi masjid ini masih berada di dalam struktur tiga pilar kehidupan yang saling terkait; kekuasaan (pendopo), massa (alun-alun), dan spritual (masjid).
Dalam budaya Sunda ketiga pilar di atas disebut tritangtu, tiga kekuatan yang saling melengkapi dalam mengelola kekuasaan dan mengayomi masyarakat.
Tidak mengherankan jika masjid ini terus diperluas fungsingya oleh penguasa di tiap periode untuk mendapatkan massa (jama’ah) yang semakin banyak.
Jika sebelum tahun 2001 rumah ibadah ini masih bernama Masjid Agung, kini selaras dengan perluasan fungsi itu, telah berganti nama menjadi Masjid Raya, dengan luas tanah 23.448 m² dan luas bangunan 8.575 m², yang dapat menampung lebih dari 13.000 jamaah. Ia bukan lagi masjid tingkat kota, melainkan telah jadi masjid provinsi.
Masjid Bandung awal mula dibangun pada 1810 M atau 1225 H seiring dengan perpindahan ibukota kabupaten dari Dayeuh Kolot ke Kota Bandung.
Awalnya masjid ini didirikan secara sederhana, dari bambu dengan atap rumbia. Pelan tapi pasti rumah Tuhan ini terus direnovasi seiring dengan laju pembangunan kota. Setelah kayu menggantikan bambu pada 1825 maka memasuki 1850 pondasi bangunan suci ini berganti tembok.
Pada 1925, pemerintah Kabupaten Bandung merencanakan renovasi besar mengikuti rancangan arsitek baru bernama Ir. Soekarno. Panitia telah dibentuk dan nama baru untuk masjid ini juga sudah disiapkan: Quwwatul Islam. Namun karena dana yang terkumpul tidak mencapai target, rencana itu tertunda.
Menjelang KAA 1955, saat Soekarno menjabat Presiden RI pertama, barulah keinginannya untuk merenovasi masjid ini dapat terlaksana, sekalipun tidak sepenuhnya dapat memenuhi rancangan yang dibuatnya.
Dalam memori orang Sunda, renovasi yang paling dikenang adalah pada pada awal 1930-an. Sebabnya, atap masjid ini dianggap menyatu dengan budaya Sunda.
Mereka menyebutnya sebagai Bale Nyungcung, menjulang lancip ke atas seperti nasi tumpeng, melambangkan hubungan vertikal manusia dengan Sang Maha Pencipta. Bagian atap yang simbolik ini melahirkan sebutan ka bale nyungcung dalam kehidupan orang Sunda, yakni pernikahan.
Bagi warga Bandung, kesempurnaan ikatan perkawinan sepasang kekasih ialah jika mereka dapat membacakan ikrar akad nikah di Masjid Agung Bandung. Bagi sepasang kekasih, ajakan hayu urang ka bale nyungcung, berarti ayo kita resmikan hubungan ini secara sah dengan pernikahan.
Pada periode itu, Bandung dipimpin oleh Bupati RAA Wiranatakusumah V (1920-1945), dengan jeda lima tahun saat ia menjabat sebagai badan pekerja Volksraad (1931-35). Wiranatakusumah yang dikenal dengan julukan Dalem Haji, menjadikan masjid ini sebagai pusat kegiatan Islam.
Ia merintis Tempat Kawin, sekarang dikenal sebagai KUA (Kantor Urusan Agama), baitul maal, dan Studenten Islam Studieclub (SIS). Baitul maal Bandung yang dikelola sangat baik, telah berhasil menjamin semua warga Bandung mendapatkan sandang-pangan dan melek baca Al-Qur’an, di mana satu orang rais (koordinator) membawahi 40 kepala keluarga.
Pada tahun 1943, Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) sebagai perhimpunan organisasi Islam, mengadopsi program baitul maal Bandung ini untuk skala nasional. Sementara SIS adalah wahana bertukar pikiran di antara para intelektual muslim di Bandung dan sekitarnya yang didukung sepenuhnya oleh sang Bupati.
Jumat, 22 Apil 1955, bertepatan dengan 28 Sya’ban 1374 H, Masjid Raya Bandung kedatangan tamu-tamu istimewa. Emir Seif El-Islam Al-Hasan (Yaman), Fatin Rustu Zaorlu (Turki), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Jalal Abdoh (iran), Khaled El Azm (Syria), Mahmoud Bey Muntasser (Libya), Mohammad Fadhil Jamali (Irak), Mohammed Ali (Pakistan), Sami Solh (Lebanon), Sardar M. Naim (Afghanistan), Sayed Ismail El-Azhari (Sudan), dan Sayyed Wahid Salah (Jordania).
Mereka adalah para pemimpin dunia yang menjadi peserta Konferensi Asia Afrika, 18-24 April 1955, yang menyempatkan diri untuk menunaikan salat Jumat. Sepuluh tahun berselang, para pemimpin dunia Islam, kembali mengunjungi masjid Kota Kembang ini dalam rangka mengikuti Konferensi Islam Asia Afrika (6-10 Maret 1965).
Arsitektur masjid ini sekarang (2017) memang tak lagi menampakkan ciri lokal, melainkan lebih menonjolkan corak Timur Tengah. Tata letak lampu di dalamnya, meniru Masjid Nabawi di Madinah.
Dua menara kembar setinggi 99 meter jika dihitung dari pondasi penyangganya, melambangkan al-asmaul husna. Dan di dalam menara yang terletak di kedua sisi masjid itu, terdapat layanan “wisata kota”. Para pengunjung dapat menaiki lift secara bergantian dengan mambayar tiket, untuk melihat pemandangan kota Bandung dari puncak menara.
Dengan keberadaan Alun-Alun Bandung yang kian cantik, hasil sentuhan Walikota M. Ridwal Kamil, Masjid Raya itu kian tampak kemegahannya. Alun-alun yang terawat bersih dan selalu dipenuhi pengunjung, khususnya di akhir pekan, telah ikut meningkatkan jumlah jamaah masjid.
Sepanjang bulan Ramadaan, Alun-alun dan Masjid Raya Bandung adalah tempat pavorit untuk ngabuburit sambil menunggu bedug magrib.
Begitulah masjid yang telah menjadi ikon kota Bandung dalam kurun dua abad ini, selalu berubah bentuk. Namun, keagungannya tetap terasa hingga kini. Masjid Raya tetap menjadi ikon kota Bandung sepanjang masa. Dengan dua menara kembarnya yang menjulang tinggi, masjid ini tetap menjadi penanda kota yang memandu para pendatang.