Sedang Membaca
Benang Merah Visi Kemanusiaan Gus Dur dan Thahir Ibn Asyur
Idris Ahmad Rifai
Penulis Kolom

Sedang menempuh S2 jurusan Ilmu Al-Quran, Hadis, dan Sejarah di Universitas Zaitunah, Tunisia

Benang Merah Visi Kemanusiaan Gus Dur dan Thahir Ibn Asyur

Whatsapp Image 2022 10 14 At 15.11.29

Bulan Desember adalah bulannya Gus Dur. Begitulah kira-kira ungkapan yang sering kita dengar dari warga Indonesia ketika memasuki bulan Desember. Bulan dimana meninggalnya seorang Guru Bangsa, mata air keteladanan, Presiden RI ke-4, KH. Abdurrahman Wahid. Di bulan ini, berbagai elemen masyarakat di berbagai penjuru di tanah air turut sibuk andil dalam peringatan wafatnya sang role model bangsa.

Posisi KH. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disebut dengan Gus Dur di hati warga Indonesia, layaknya Ibn Asyur di hati seluruh warga Tunisia. Meski telah berpulang ke dalam  Rahmat Sang Pencipta bertahun-tahun lamanya, namanya tetap hidup, menjelma menjadi jalan-jalan, perpustakaan, ruang pertemuan, museum, sekolah, lembaga, universitas dan sebagainya. Mereka menyapa dan menemani aktivitas keseharian kita. Mereka mengabadi, menghiasi dinding-dinding rumah, kantor dan sudut-sudut kota.

Mereka begitu dicintai rakyat dan murid-muridnya. Tidak lain karena perjuangan yang tak kenal letih dan putus asa dalam mengangkat harkat martabat manusia. Tak ada sekat antara si “kaya” dan si “miskin”, si “mayoritas” dan si “minoritas”, si “pejabat” dan si “sipil” si “muslim” dan si “kafir”, serta si- si- lainnya. Semua sama rata, sebab semua makhluk adalah ciptaan-Nya, buah karya-Nya.

Mencintai dan membela ciptaan-Nya, berarti menghargai dan mengagungkan sang penciptanya. Memanusiakan manusia, itulah kuncinya. Inilah esensi ketauhidan. Dalam istilah Fazlur Rahman, tauhid haruslah bersifat fungsional bagi kemaslahatan kehidupan (faith in action), tidak berhenti hanya pada tataran keimanan yang abstrak.

“Tuhan tidak perlu dibela”, “Jika kamu berbuat baik, orang tidak akan tanya agamamu apa”, “setetes darah manusia, lebih mulia daripada sebuah jabatan”, penggalan-penggalan frasa kalam Gus Dur itu hingga kini bersliweran memenuhi ruang media sosial kita. Terlebih ketika bulan Desember tiba. Sebagai bukti betapa gigih perjuangannya membela hak-hak asasi manusia.

Baca juga:  Dari Musthafa Shadiq Rafi’i untuk Ibuku

Gagasan perjuangan Gus Dur untuk membela hak-hak kemanusiaan, ia tuangkan dalam ratusan artikel yang ditulis secara rutin di berbagai media semasa hidupnya. Tulisan-tulisan itu kini dikumpulkan dan dibukukan menjadi beberapa judul diantaranya: Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Prisma Pemikiran Gus Dur; Menggerakkan Tradisi dan Tuhan Tidak Perlu Dibela. Belum lagi masih ada ratusan karya lain yang ditulis mengenai dirinya dan pemikirannya.

Jaringan Gusdurian kemudian merumuskan dan mengekstrak pemikiran Gus Dur itu menjadi sembilan hal yang disebut sebagai 9 Nilai utama Gus Dur yaitu: ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan dan kearifan tradisi. Namun jika dicermati, lalu diekstrak kembali, sembilan nilai itu akan berporos kepada satu nilai utama yaitu kemanusiaan.

Ide-ide brilian Gus Dur seperti pribumisasi Islam, ekonomi kerakyatan, pola negara substantif-inklusif dan lain-lain adalah manifestasi dari perjuangannya akan hak-hak kemanusiaan. Gus Dur seolah ingin mengubah paradigma kita dari teosentris menuju antroposentris.

Paradigma yang semula semuanya berpusat pada Tuhan dan untuk kemaslahatan Tuhan, menuju paradigma yang berporos pada manusia dan untuk kemaslahatan manusia. Dalam istilah qawa’id ushuliyyah, semua gagasan itu bertujuan untuk jalbu al-mashalih wa dar’u al-mafasid yakni meraih kemaslahatan dan menghindari keburukan.

Kemaslahatan untuk siapa? tentunya untuk umat manusia, bukan untuk Tuhan. Karena Tuhan sudah maha sempurna, maka Ia tak perlu lagi dibela. Andaipun seisi dunia bermaksiat kepada Tuhan, tak mengurangi sebuihpun ke-maha kuasaan-Nya. Dalam bahasa lain, Haidar Bagir mengistilahkan dengan Islam Tuhan, Islam Manusia. Mencintai manusia, berarti mencintai Sang Penciptanya.

Baca juga:  Tantangan dan Peluang Pencegahan Kekerasan Seksual di Pesantren dan Madrasah

Belakangan, ketika membaca karya-karya dan mendalami sosok Syekh Thahir Ibn Asyur, saya menemukan banyak sekali titik kedekatan -jika tidak mengatakan sama persis- dalam ranah ide-ide dan perjuangannya dengan sosok Gus Dur. Khususnya dalam memperjuangkan kemaslahatan dan visi kemanusiaan. Titik persinggungan dan kedekatan antara dua pemikiran inilah, yang saya sebut dengan benang merah. Ada satu visi fundamental yang menjadi filosofi dalam setiap ide-ide, fatwa-fatwa, gerak-gerik dan perjuangannya, yakni kemaslahatan bagi umat manusia.

Karena syariat bagi Ibn Asyur –sebagaimana secara sarih ia sebutkan dalam salah satu magnum opusnya maqashid syari’ah al-islamiyah–  diturunkan seluruhnya untuk kebaikan bagi manusia (fa al-syarai’ kulluha ja’at lima fihi salah al-basyar fi al’ajil wa al-ajil). Yang menarik dalam ungkapan Ibn Asyur tersebut adalah ketika memaknai kalimat “al-‘ajil wa al-ajil”. Ketika kebanyakan ulama memaknainya dengan “dunia dan akhirat”, tidak demikian dengan Ibn Asyur. Yang ia maksudkan dengan “al-ajil” bukanlah akhirat, sebab syariat tidak untuk menentukan nasib manusia di akhirat. Melainkan yang ia maksud “al-‘ajil wa al-ajil” adalah fi hadir al-umur wa ‘awaqibaha, baik kemaslahatan syariat itu bisa diketahui secara langsung ataupun harus melalui perenungan mendalam terlebih dahulu (tadabbur).

Hal ini semakin menegaskan bahwa Ibn Asyur ingin mengatakan bahwa syariat itu memang diturunkan semata-mata untuk kebaikan manusia di dunia. Sedangkan akhirat –lanjut Ibn Asyur- adalah Allah jadikan hanyalah sebagai balasan atas apa yang telah manusia kerjakan di dunia.

Selain itu, Ibn Asyur dikenal sebagai guru kedua (al mu’allim al-tsani) dalam ilmu maqashid syariah karena jasanya menghidupkan kembali ilmu ini dalam kajian keislaman setelah terjadinya stagnasi sekitar lima abad pasca Syathibi dan menjadikannya sebagai sebuah cabang ilmu yang mandiri. Berkat ilmu ini, produk-produk hukum Islam seolah tak lagi gersang. Hukum Islam nampak lebih humanis dan berpihak kepada kemaslahatan dan kemanusiaan.

Baca juga:  Rindu Gus Dur

Seperti Gus Dur, Ibn Asyur juga mengkampanyekan seputar kebebasan (hurriyah), kesetaraan (musawat), keadilan (‘adalah), toleransi (tasamuh) dan seterusnya, yang ia abadikan dalam karyanya yang berjudul ushul al-nidzam al-ijtima’i fi al-islam (pranata sosial dalam Islam). Gagasan lain Ibn Asyur misalnya terkait tujuan-tujuan utama (al-maqashad al-a’la) diturunkannya al-Qur’an (maqashid al-Qur’an) sebagaimana tertuang dalam muqaddimah al-tahrir wa al-tanwir-nya adalah kebaikan individu (shalah al-fard), lalu kebaikan masyarakat (shalah al-mujtma’) dan kebaikan peradaban (shalah al-‘umran) yang mana secara esensi juga untuk kebaikan manusia.

Belum lagi membicarakan ide-ide dan kritik Ibn Asyur yang kontroversial seputar pemikiran Islam yang ia tulis dalam alaisa al-shubhu biqarib dan masih banyak lagi kesamaan-kesamaan gagasan antara Gus Dur dan Ibn Ashur yang butuh lembaran sangat panjang sekali untuk menguraikannya secara mendetail.

Namun secara garis besar, ada benang merah dalam mayoritas gagasan-gagasan Gus Dur dan Ibn Asyur, yaitu kemanusiaan. Mereka ingin bahwa kehadiran syariat –islam khususnya-, benar-benar sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Islam hadir sebagai solusi bagi problem kemanusiaan, bukan justru menjadi problem bagi manusia itu sendiri. Teruslah menebar kebaikan, memperjuangkan keadilan, membela kaum yang lemah, tanpa mempedulikan siapa dia dan apa agamanya. Itulah spirit perjuangan visi kemanusiaan yang rahmat bagi semesta alam. Itulah spirit kemanusiaan Gus Dur dan Thahir Ibn Asyur..

Wallahu a’lam… Lahuma al-Fatihah..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top