
Dalam berita mengenai tawuran, sangat sering diwartakan bahwa para pelaku membawa senjata tajam yang disebut “samurai”. Judul berita di bawah ini hanya salah sebuah contoh.
Padahal, “samurai” (侍) adalah orang, bukan senjata tajam. Di Jepang, samurai merupakan kelompok ksatria militer yang dikenal semenjak abad ke-12 sampai dengan abad ke-19.
Sosok samurai mempunyai peran penting dalam kehidupan politik, militer, dan juga kebudayaan. Karena lazimnya samurai ini membawa pedang panjang yang disebut “katana” (かたな) maka pedang tersebut sering disebut sebagai “pedang samurai”.
Perkembangan praksis berbahasa yang sering menyederhanakan frasa atau klausa agaknya menjadi penyebab munculnya kata “samurai” yang mengacu kepada jenis pedang dan bukan lagi sosok. Hal seperti ini serupa dengan kata “bahasa” dalam komunikasi internasional yang sesungguhnya mengacu kepada “bahasa Indonesia” atau “bahasa Melayu”.
Di bandara atau platform yang menyediakan fasilitas pengalihbahasaan, sering muncul kata “bahasa” ini yang tentu dapat dikatakan sebagai penyederhanaan sebagaimana “pedang samurai”.
Lagi-lagi, jika tidak diingatkan, kata “samurai” lambat laun akan dipahami sebagai ‘pedang khas Jepang’. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) daring, lema “samurai” juga diberi keterangan ‘pedang khas Jepang, bermata tajam pada satu sisi, dan berbentuk melengkung’ dalam ranah percakapan, ditandai dengan keterangan “cak”.
Sementara itu, kata “nikmat” yang diserap dari bahasa Arab, beberapa kali dipersoalkan oleh mereka yang memahami bahasa Arab.
Umumnya yang disayangkan adalah pengertian “nikmat” yang dalam bahasa Indonesia hanya berkaitan dengan makna ‘lezat’, ‘enak’, ‘puas’, ‘senang’, atau ‘karunia’, padahal ada makna ‘marah’, ‘pedih’, atau ‘sakit’ jika ditranskripsi dari نقمة.
Kata “nikmat” yang bermakna ‘lezat’ dan sebagainya itu sesungguhnya berasal dari bahasa Arab yang menggunakan makhraj aksara ‘ain (ع) yang jika dieja dalam bahasa Indonesia menjadi “ni’mat”. Akan tetapi, sebagaimana telah kita pakai selama ini, hanya kata “nikmat” yang biasa dipakai dan tercantum dalam KBBI.
Sebagaimana kata “amin” dalam bahasa Indonesia yang hakikatnya mengandung doa permohonan untuk dikabulkan dan bukan sekadar makna ‘aman’ atau ‘jujur’ sehingga tidak perlu ditulis “aamiin” maka demikian pula dengan kata “nikmat”.
Saya kira tidak ada orang Indonesia pada umumnya yang berpikir mengenai ‘kemarahan’ atau ‘kepedihan’ ketika menggunakan kata “nikmat”.