
Mengapa Sapardi Djoko Damono memilih diksi “tabah” pada larik pertama sajaknya “Hujan Bulan Juni”? Dua larik pertama berbunyi: /Tak ada yang lebih tabah/ dari hujan bulan Juni/. Dalam konteks pemaknaan, kata “tabah” ini boleh dikatakan sebagai kata kunci sebagaimana kata “ingin” dan “tak sempat” dalam sajaknya yang fenomenal, “Aku Ingin”.
Kata “tabah” mempunyai makna ‘berani’ atau ‘kuat hati’. Dalam KBBI bahkan ditambahkan keterangan “dalam menghadapi bahaya”. Bahaya apa yang ada pada bulan Juni? Di sinilah metafora yang dipakai Sapardi mengalami pergeseran pemaknaan. Oleh sebab itu, sangat perlu memahami perilaku bulan dalam suatu zaman.
Untuk menyegarkan ingatan, saya sertakan puisi lengkapnya:
“Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu”
Puisi yang bertanda tahun 1989 ini menurut penuturannya dibuat berdasar catatannya di masa muda di Solo maupun Yogyakarta yang selalu merasa kegerahan kalau tiba musim Mei dan Juni. Hal ini ditegaskan pula oleh Imam Budi Utomo, Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, melalui pesan WhatsApp kepada saya yang menyatakan bahwa tahun 1980-an mustahil ada hujan di bulan Juni. Pengalaman masa muda saya pada tahun 1960-an sampai dengan 1980-an pun serupa.
Oleh sebab itu, kata “tabah” dipilih Sapardi untuk menggambarkan suatu “perjuangan” dari hujan yang harus bertemu kelaziman atau kebiasaan tanpa hujan. Bagi orang banyak yang menunggu datangnya, turunnya hujan adalah rahmat atau berkah. Kemarau menjadi teratasi. Namun, Sapardi melihat gambaran situasi itu dari sudut pandang hujan yang “berseteru” dengan musim panas yang sedang menjalankan tugasnya.
Dalam kaitan seperti itulah puisi “Hujan Bulan Juni” seharusnya ditempatkan. Memang, dalam situasi anomali cuaca seperti saat ini, turunnya hujan pada bulan Juni, bukan sesuatu yang aneh atau istimewa sehingga banyak yang tidak menjangkau pemaknaan “keberanian” atau perjuangan dari satu entitas, yaitu perasaan hujan.

Di sisi lain, Sapardi dapat pula dikatakan sebagai semacam cenayang, yang mampu memprediksi suatu masa akan datang mempunyai karakteristik berbeda. Hal seperti ini banyak muncul dalam karya-karya sastra, yaitu adanya kemampuan menduga hal-hal yang akan terjadi di masa depan yang entah.
Ranggawarsita melalui bait ke-7 dalam Serat Kalatida misalnya, juga seperti mampu meramal kehidupan edan yang akan terjadi.
Benarkah sastrawan atau pemuisi, khususnya, memang mempunyai kemampuan kecenayangan atau meramal masa yang akan tiba? Mungkin saja demikian tapi jika ditilik dari cara kerja sastrawan yang cenderung peka terhadap keseharian dan biasa mengolah imajinasi, pemikiran tentang apa yang bakal terjadi hakikatnya perkara biasa.
Seperti dikatakan Albert Einstein, imajinasi akan membawa orang ke mana-mana termasuk bermain duga-duga yang bisa saja adalah realitas di suatu masa; dan itulah yang mungkin digarap para sastrawan.