“Adakah tertulis jelas nama kemenyan itu? Adakah kejelasan atau penjelasan, jenis bentuk atau nama dari wangi-wangian itu?” Demikianlah kilah Kalijaga pada pendapat para sunan ketika hendak memulai upacara 100 hari meninggalnya Sunan Ampel.
Dalam adegan itu digambarkan bahwa para wali lainnya tampak kehabisan kata-kata ketika berbantah dengan Kalijaga yang memiliki pendekatan yang lain daripada yang lain pada masyarakat Demak. Film yang dibintangi oleh Deddy Mizwar dan dirilis pada 1983 itu cukup apik dalam mengisahkan kiprah nyeleneh Sang Kalijaga yang berprinsip, dalam penggambaran film itu, bahwa letak iman-Islam bukanlah pada pakaian atau sisi-sisi eksterior manusia. Namun, menurut putra Tumenggung Sahur ini, dengan isyarat tangan yang menunjuk dada sebelah kirinya, iman-Islam itu terletak di kalbu.
Film yang dibesut oleh sutradara Sofyan Sharna itu cukup merepresentasikan sosok Kalijaga, yang dalam kisah berbagai serat-serat klasik ataupun babad, kembali untuk mengutip dialog film itu, tak rikuh untuk merendah dengan busana yang tak berbeda dengan masyarakat Jawa pada umumnya.
Dengan prinsip tak berjarak dengan masyarakat, tampaknya secara historis Kalijaga lebih dapat mendekam dalam kalbu orang Jawa sampai hari ini daripada wali-wali lainnya. Barangkali, karena satu-satunya wali Demak yang memiliki genealogi Jawa, Kalijaga tumbuh laiknya Sajaratul Yaqin yang dapat membuat siapa pun yang berteduh di bawahnya serasa terayomi tanpa adanya kekhawatiran sama sekali.
Setidaknya, itulah yang terjadi pada para anak murid Syekh Siti Jenar seperti Syekh Jangkung (dalam catatan K. Ng. Agus Sunyoto), Pangeran Panggung (Malang Sumirang), Lebe Lontang, dst., sehingga ajaran dan tarekat yang pernah merebak selama Perang Jawa ini, dapat bertahan hingga kini dengan berbagai wajahnya.
Daya jelajah dan teba wilayah yang luas seolah menempatkan Kalijaga laiknya Frank Lampard yang di Klub Chealsea “diizinkan” oleh pelatihnya untuk menyerobot dan menjadi apapun: playmaker, gelandang menyerang, gelandang bertahan, dst. Ia adalah satu-satunya wali Jawa yang memiliki nama ataupun gelar terbanyak dibanding wali-wali lainnya. Dalam catatan Hadiwidjojo (Kalidjaga, 1954), berbagai nama ataupun gelar ini ternyata merujuk pada peran dan fungsi yang tengah ia mainkan.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur ia juga dikenal sebagai Raden Sahid (berbeda dengan Syahid), Syekh Malaya (ketika hanyut di kali dan terarus hingga samudera), Lokajaya (ketika menjadi brandal), Syekh Joharmanik (sebagai al-Ghauts), Pangeran Jayaprana, dan Abdurrachman (ketika mengislamkan Prabu Samiaji).
Sedangkan di Cirebon, ia dikenal pula sebagai Sida Brangti (saat menjadi dalang pantun di wilayah Pajajaran), Ki Bengok (saat menjadi dalang barongan di wilayah tegal), Ki Kumendhung (saat menjadi dalang topeng di wilayah Purbalingga), Enthol Kacabur (saat mengabdi pada Mbok Randa Gotangan di Banyuwangi), dan Raka Brangsang (saat diutus Sunan Gunungjati untuk memanggil Syekh Siti Jenar yang hendak disidang).
Adapun di Bali dan Lombok, dimana kidungannya juga dideras dan ditembangkan untuk melindungi bayi yang baru lahir, Kalijaga lebih dikenal sebagai Mpu Dwijendra, Dhanyang Nirartha, Raden Surapati, dan Pedandan Wahurawuh. Dalam catatan Hadiwidjojo ini, di Lombok Kalijaga meninggalkan corak Islam wegtu 3 yang berbeda dan bahkan pernah bertentangan dengan Islam wegtu 5 yang sebelumnya dibawa oleh Sunan Giri.
Barangkali karena keistimewaan itulah, dalam sebuah catatan mengenai struktur dan hierarki para wali di masa kerajaan Demak selama tiga generasi, Kalijaga tak tercatat pernah menduduki wali struktural laiknya Sunan Ampel, Sunan Giri, Syekh Siti Jenar, dst. Maka dari itu, dengan mengulik catatan ini, istilah wali di masa Demak ternyata adalah sebuah jabatan yang tak semata berarti “kekasih Tuhan.”
Catatan yang saya peroleh ini merupakan karya Sastradipura yang ditulis pada tahun 1905. Keterangan tentang struktur dan hierarki para wali Demak ini adalah varian lain dari sebuah wejangan tentang Lungguhipun Sipat Kalih Dasa Wonten Ing Badan. Dalam catatan ini dijelaskan bahwa ternyata terdapat tiga kategori sekaligus hierarki para wali Demak dengan segala upahnya yang berwujud tanah.
Pada puncak hierarki para wali Demak tersingkaplah kategori wali yang disebut sebagai “Wali Ngajeng” dengan imbalan tanah seluas 1000 Jung. Terdapat 9 wali yang menjadi anggota wali ngajeng pada masa Raden Patah ini: Jeng Sunan Ngampeldenta, Raja Pandhita ing Garesik, Susunan Majagung, Sunan Gunungjati, Sunan Ngundung, Sunan Girigajah, Sunan Waliyulloh, Sunan She Sampugeran, dan Sunan Pandanarang.
Kategori wali di bawahnya dinamakan sebagai “Wali Bekel” dengan imbalan tanah seluas 500 Jung. Anggota wali bekel ini juga berjumlah 9: Panembahan Tuwan Sarip, Maolana Banten, Pangeran Maolana Maghribi, Pangeran Sapanjang, Pangeran Sitijenar, Pangeran Atasangin, Pangeran Panggung, Pangeran Tumampel, dan Pangeran Narakrama.
Sedangkan hierarki para wali yang paling bawah disebut sebagai “Wali Wingking” dengan imbalan tanah 100 Jung. Daftar namanya meliputi Seh Samsu Tarip, Seh Sabil, Seh Ajeng Duta, Seh Gontor, Seh Iman Sampurna, Seh Imam Purwali, Seh Saramodin, Seh Kyai Geng Grintik, Kyai Ageng Wanapala.
Dengan demikian, dalam catatan Sastradipura, total jumlah wali di masa Demak awal adalah 27 wali. Berbeda dengan Demak di masa Pangeran Sabrang Lor (Adipati Unus). Meskipun struktur, hierarki, dan imbalan kewaliannya sama, namun di masa ini wali ngajeng berjumlah 8 wali yang meliputi Sunan Gunungjati, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri Kedhaton, Sunan Padusan, Sunan Kalinyamat, Sunan Muryapada, dan Sunan Kudus.
Adapun wali bekel-nya juga berjumlah 8 wali yang meliputi Pangeran Kaji, Kalipah Ngusman, Pangeran Kalipah Surata, Pangeran Yahyana, Pangeran Traknyana, Pangeran Manyura, Pangeran Pagendhingan, Pangeran Batuputih, dan Pangeran Katigan. Sementara, wali wingking-nya meliputi Seh Mukhamat Sapingi, Kyai Getas Pandhawa, Kyai Ageng Sampang, dst.
Dari sekian wali pada masa kerajaan Demak selama dua generasi itu, mengingat seabrek nama dan gelar yang dimiliki oleh Kalijaga, ternyata tak ada satu pun nama dan gelarnya yang tercatat dalam struktur dan hierarki para wali itu. Barangkali, mengingat kiprah seorang Kalijaga yang pernah tercatat dalam sejarah besar, namun tak tercatat dalam struktur dan hierarki para wali Demak karya Sastradipura, Kalijaga adalah laksana angin yang meskipun tak kentara tak mungkin rasanya segalanya hidup tanpanya.
Barangkali, mengingat sikap dan kiprahnya yang cukup berbeda dengan para wali lainnya, Kalijaga adalah sebuah kontroversi agung yang tak mungkin ditampung dalam sebuah struktur yang lazimnya menginginkan keseragaman dan kerapihan.