Pewayangan merupakan jalinan kisah yang menyertai saya tumbuh dan berkembang. Sedari bocah saya terbiasa mendengarkan wayang di radio dan sesekali menyempatkan menonton pertunjukkannya di lapangan desa tetangga. Saya karib dengan suara groyok tapi dramatis Ki Narto Sabdo atau suara landung dan gandem Ki Anom Suroto juga sabetan setannya Ki manteb Soedarsono ketika melihat pakeliran-nya. Pada dekade 90-an merekalah yang menemani saya menghabiskan malam.
Meski pernah belajar di pesantren yang terkenal dengan disiplinnya yang ketat, saya setiap malam keluar berbaur dengan orang-orang dewasa di cangkruk sembari main gaple dan mendengarkan pertunjukan wayang di radio. Barangkali, kisah pewayangan lebih menarik perhatian saya daripada kitab-kitab yang diajarkan di pesantren. Apa yang saya dapat selama belajar agama adalah satu pendapat yang saya lupa nama kitab dan pengarangnya: bahwa baik tidaknya seseorang itu terletak di akhir hidupnya. Dan saya menganggap, waktu itu, pelajaran agama saya sudah cukup dan langsung loncat kelas tiga untuk mengikuti Ebtanas.
Entah kenapa saya menganggap bahwa kisah-kisah dalam pewayangan Jawa seperti mampu untuk mencandra kehidupan. Pesan besar pewayangan Jawa sejatinya telah tergurat dalam se-pupuh tembang pocung.
Wayang iku
Wewayangan kang satuhu
Lelakoning janma ing alam janaloka
Titenana wong cidra mangsa langgenga
Wayang itu
Adalah kacabenggala
Drama kehidupan manusia di dunia
Camkan: pendusta dan pengkhianat tak akan lama
Bahwa—seperti yang tergelar dalam epos Mahabharata—apa yang disebut sebagai perang besar Bharatayuda adalah “kondisi” di mana berlakunya hukum sebab-akibat: sing sapa nandur bakale ngundhuh, sing sapa nyilih bakale mbalekake, sing sapa utang bakale nyaur, utang wirang nyaur wirang, utang pati nyaur pati. Dengan kata lain, konsep “keadilan” dalam logika pewayangan Jawa bukanlah terletak kelak di akhirat, tapi (masih) di dunia ini. Maka dapat dimengerti kenapa Kresna sebagai titising Wisnu kekeuh bahwa perang besar itu harus terjadi.
Tapi di sini saya tak hendak mengupas pesan “sufistik” yang mengendap dalam setiap perlambang wayang. Justru saya hendak membahas berbagai rumor yang berserak dalam kisah yang disajikannya. Ketika saya mampir di kawasan Dieng, sebagaimana biasa, hal pertama yang saya lakukan adalah pemahaman baru apa yang mungkin dapat saya rangkai dari kompleks percandian di dataran tinggi Dieng.
Sekilas saya tak menemukan benang merah atas berbagai kisah dan sejarah dataran tinggi Dieng. Di kompleks percandian Arjuna terdapat candi Sembadra, Puntadewa, Srikandi, dan Arjuna yang dihadap oleh candi Semar, setelah sebelumnya menyambangi candi Gatotkaca di dekat pintu masuk. Candi Setyaki tergolek agak jauh dari kompleks candi Arjuna. Di ujung timur ada satu terowongan yang dinamakan Gangsiran Aswatama. Dan candi Bima tegak menyendiri sekitar 2 km di selatan kompleks percandian Dieng.
Andaikata percandian Dieng merupakan penggambarkan lakon Aswatama Nglandhak, kenapa mesti ada candi Gatotkaca dan Setyaki? Sekiranya ada candi Setyaki kenapa tak ada candi Kresna yang, seandainya kompleks percandian Dieng adalah candi pemujaan, merupakan titisan Wisnu yang lebih masuk akal untuk dicandikan sebagai tempat pemujaan? Ataukah percandian Dieng adalah penggambaran lakon Lahire Abimanyu di mana Bima yang memperoleh wahyu “ratu” di kali Sirayu harus mengikhlaskannya oncat dengan tiba-tiba menggendong Abimanyu, si jabang bayi Arjuna dan Sumbadra? Ataukah kompleks percandian Dieng tak berasal dari abad ke-7 dan 8 sebagaimana yang selama ini didengang-dengungkan tersebab terdapat candi Semar di sana? Dengan kata lain, bagi saya, candi Semar membuktikan bahwa secara diskursif kompleks percandian Dieng bukan berasal dari abad ke-7 dan 8. Sebab tak ada figur Semar dalam epos Mahabharata versi India. Nama Semar pertama kali muncul dalam Kakawin Sudamala di era kerajaan Majapahit dan terpahat di dinding candi Sukuh pada abad ke-14. Kisah dan filosofinya tak juga eksplisit terdapat dalam data-data yang berasal dari era Majapahit tersebut.
Secara diskursif, saya kira yang menjadi core kompleks percandian Dieng adalah justru candi Semar. Candi yang tergolek di depan candi Arjuna ini seolah telah menggoyahkan temuan para arkeolog dan sejarawan yang menyatakan bahwa kompleks percandian Dieng berasal dari abad ke-7 dan 8. Dan ini artinya, seperti pewayangan Jawa yang tak semata menelan mentah-mentah kisah Mahabharata versi India, kompleks percandian Dieng merupakan kontekstualisasi wiracarita Mahabharata versi Hindu India. Bukankah menurut para arkeolog dan sejarawan percandian yang termasuk gugusan percandian utara cenderung pinggiran dan misterius, tak diketahui pasti asal-usulnya hingga kini?
Benar, konon, ditemukan sebuah prasasti di kompleks percandian Dieng yang merujuk angka waktu abad ke-7 dan 8, pada masa kerajaan Kalingga. Tapi, sekali lagi, kenapa ada nama “Semar” di sana, dan seperti di atas, padahal secara diskursif baru muncul pada abad ke-14? Pada titik ini saya berkesimpulan bahwa percandian Dieng memiliki dua macam bentuk: percandian Dieng sebagai peninggalan arkeologis dan percandian Dieng sebagai sebentuk diskursus. Keduanya saling berkaitan, penamaan kompleks percandian Dieng yang identik dengan tokoh-tokoh pewayangan merupakan sebentuk diskursus. Tanpa diskursus ini percandian Dieng tak dapat dipahami.
Kisah pewayangan Jawa, seperti kisah-kisah orang besar, disertai pula oleh apa yang kita kenal sebagai rumor. Dalam jagad selebriti rumor berfungsi pula sebagai bahan untuk menggoreng orang yang bersangkutan untuk semakin tenar, semakin diperbincangkan, yang otomatis selalu menjadi pusat perhatian dan mengundang rasa penasaran. Rumor memang berkaitan dengan hal-hal yang, dalam kultur Indonesia, dinilai negatif. Terkadang orang yang didera rumor justru bangga karena nama dan kehidupan pribadinya akan semakin tenar dan dilahap pasar. Dalam kasus ini maka rumor bisa jadi beredar karena kehendak orang yang bersangkutan itu sendiri—sebagai branding.
Logika rumor inilah yang saya temukan di dataran tinggi Dieng. Di kompleks percandian Arjuna terdapat lima tokoh wayang yang menjadi nama candi yang merentang dari utara ke selatan: Arjuna yang dihadap oleh Semar, Srikandi, Puntadewa, dan Sembadra. Kenapa candi Arjuna tak bersebelahan dengan candi Sembadra, salah satu isterinya yang melahirkan sang pembawa wahyu cakraningrat dan penurun raja-raja Jawa: Abimanyu?
Sebelum menginjakkan kaki di kompleks percandian Arjuna kita akan bertemu terlebih dahulu dengan Tuk Bima Lukar, sebuah mata air yang menjadi hulu kali Sirayu, di mana dahulu menurut masyarakat setempat dilubangi oleh Bima yang bertelanjang (lukar) dengan menggunakan alat kelaminnya. Kemudian ksatria panengah Pandawa itu mengalirinya dengan pipis-nya hingga menjadi kali Sirayu sekarang. Sirayu merupakan pujian Bima pada seorang perempuan yang mandi di kali buatannya tersebut: Sirayu, Sira Ayu (“Kamu cantik”).
Dalam lakon Wahyu Cakraningrat sebetulnya adalah Bima yang memperoleh wahyu para raja Jawa itu. Berhubung dalam kepercayaan Jawa berlaku pantangan orang yang sedang kadunungan wahyu untuk tilik bayi, maka lepaslah wahyu cakraningrat tersebut dari Bima yang datang tergopoh-gopoh untuk segera menggendong si jabang bayi. Akhirnya, wahyu itu oncat dan menitis ke bayi yang, secara lahiriah, anak Arjuna dan Sembadra. Maka untuk mengenang oncat-nya wahyu cakraningrat dari dirinya, Bima kemudian menamakan bayi Arjuna dan Sembadra itu sebagai Abimanyu, Bima banyu atau banyune Bima (airnya Bima).
Kenapa Bima yang dalam pewayangan dikisahkan keras dalam mendidik anak dapat tergopoh-gopoh untuk segera menggendong bayi Arjuna dan Sembadra? Hanya ada satu kemungkinan bahwa perempuan yang dipuji Bima cantik (Sira ayu) di Tuk Bima Lukar adalah Sembadra. Di sinilah kemudian dapat dipahami kenapa dataran tinggi ini diberi nama Dieng yang merupakan tembung garba “Di” (tempat) dan “Hyang” (eyang atau leluhur). Dalam Serat Pustaka Raja Purwa gubahan Ronggawarsita dipampangkanlah sislsilah para raja Jawa yang merentang ke atas sampai Arjuna sebagai campuran keturunan Sang Hyang Brahma dan Sang Hyang Wisnu. Jelas, silsilah ini adalah silsilah versi keraton. Tapi dataran tinggi Dieng menyajikan tafsir yang berbeda: bahwa yang menurunkan para raja Jawa bukanlah Arjuna, melainkan Bima. (aa)