
Sebagaimana Kajoran yang merupakan titik singgung dari berbagai trah penguasa Jawa, baik politik maupun agama—Demak-Pajang-Ponorogo-Bayat-Mataram—, Pangeran Puger, yang memang berdarah wilayah yang terletak di selatan Klaten itu, adalah juga sesosok pribadi yang penuh persinggungan.
Di samping berdarah ningrat Jawa, sebagai salah satu anak Amangkurat Agung, ia juga anak dari Ratu Labuhan, seorang anak dari ningrat agama di Kajoran. Di samping sang “gantung siwur” atau keturunan ke-7 dari Ki Ageng Pemanahan, perintis kerajaan Mataram, ia juga dianggap sebagai sang penghidang jatah Ki Ageng Giring yang mengerucut di Kajoran sebagai penguasa Jawa, yang konon disantap tanpa sengaja oleh Ki Ageng Pemanahan.
Di samping anak Amangkurat Agung, adik tiri Amangkurat Amral, dan paman tiri Amangkurat III, yang dalam catatan sejarah penuh dengan imoralitas, kebengisan, dan banjir darah. Pangeran Puger cukup terlukis indah yang nyaris tanpa koyak dalam sejarah kekuasaannya. Demikianlah para pencatat babad mengisahkan. Pendeknya, ia adalah seorang raja yang bijak-bestari.
Namun, bukanlah karakter lintas-batas Pangeran Puger itu yang menarik perhatian saya. Salah satu tokoh yang berkaitan dengannya, Pangeran Harya Matahun, jauh lebih menyajikan diri secara sangat menyebar; hingga barangkali, tiga kabupaten di Jawa Timur—Bojonegoro-Madiun-Ponorogo—akan pening ketika mengidentifikasinya dengan tegas.
Di Bojonegoro, Pangeran Harya Matahun dianggap sebagai adipati pertamanya. Di sana ia juga dikenal dengan nama Tumenggung Matahun atau Tumenggung Surawijaya yang dikaitkan dengan darah kerajaan Majapahit yang melalui kerajaan Demak, meskipun mengabdi di keraton Mataram-Kartasura dan Surakarta. Hari kematiannya lalu dijadikan sebagai hari jadi kabupaten.
Sementara di Madiun, Pangeran Harya Matahun dikenal sebagai Tumenggung Surawijaya atau Kanjeng Pangeran Mangkudipura I yang kemudian secara resmi ditetapkan sebagai bupati ke-12 dengan gelar Adipati Mangkunegara VI.
Di wilayah yang dahulu bernama Purabaya itu, Pangeran Harya Matahun adalah ayah dari Kanjeng Pangeran Mangkudipura II, bupati ke-13 Madiun dengan gelar Adipati Mangkunegara VII yang merupakan cucu dari Pangeran Puger atau Pakubuwana I. Dan ini artinya, ia adalah menantu dari pendiri dinasti Pakubuwanan Solo itu.
Sebelum perjanjian Gianti, atau sebelum Pangeran Sambernyawa berkuasa di Mangkunegaran, para bupati Madiun digelari sebagai Adipati Mangkunegara, yang mana konon setelah Adipati Mangkunegara VII, para bupatinya dianggap bukan lagi sebagai darah Rangga Jumena atau Pangeran Timur, melainkan darah yang bersambung ke Pakubuwana I.
Adapun di Ponorogo, menurut silsilah di makam Tajug, Pangeran Harya Matahun dikenal sebagai anak kandung dari Pakubuwana I sekaligus menantu dari Adipati Ranggawicitra II, bupati ke-7 Ponorogo, yang kemudian melahirkan Raden Tumenggung Jayengrana I (bupati Pedanten), Raden Tumenggung Jayengrana II (bupati Caruban), dan sang arsitek kota modern Ponorogo, Adipati Mertahadinegara.

Ia juga dianggap sebagai sang penyisih dominasi darah Katongan (Bathara Katong) yang sebelumnya mendominasi kekuasaan di Ponorogo atau Wengker. Sebab, salah satu anaknya, Raden Tumenggung Jayengrana I, meskipun berdarah Katongan dari ibu, dicatat sebagai pemasok darah Pakubuwanan dalam sejarah kekuasaan di Ponorogo.
Praktis sesudah Jayengrana I, para bupati di Ponorogo memiliki darah Pakubuwanan di Solo sebagaimana Adipati Cakranegara I yang merupakan buah asmara Raden Ayu Moertosiyah (Surakarta) dengan Kanjeng Kyai Kasan Besari (Tegalsari).
Kemudian, bagaimana nama “Matahun” yang seolah tak ber-sangkan-paran itu dimengerti, mengingat ia, di samping berdarah Demak-Majapahit adalah sekaligus berdarah Mataram-Kartasura?
Memang benar, Babad Ponorogo mencatat bahwa ada dua nama “Matahun” yang bagi saya sama sekali tak jelas arahnya ketika ditautkan dengan sejarah kekuasaan di Madiun dan Bojonegoro.
Dalam Babad yang ditulis Poerwowijoyo itu, Pangeran Harya Matahun seolah menjadi nama yang lekat dengan sosok Raden Mas Sangka atau Sasangka yang oleh ayahnya, Pakubuwana I, diangkat sebagai wedana bupati di daerah Jipang ataupun Rajekwesi. Konon, Raden Mas Sangka adalah anak Pakubuwana I sebelum berkuasa, yang masih dikenal sebagai Pangeran Puger.
Ketika sudah berkuasa, lalu Pakubuwana I menyerahkan bayi Raden Mas Sangka pada Tumenggung Surawijaya atau Tumenggung Matahun di Jipang yang kemudian, setelah Surawijaya mangkat, menggantikan kedudukannya sebagai wedana bupati.
Maka, lekatlah kemudian nama “Matahun” itu pada Adipati Jipang yang merupakan bupati pertama Bojonegoro yang ditetapkan berdarah Demak-Majapahit tanpa sama sekali adanya aliran darah Pakubuwanan sebagaimana yang tercatat dalam Babad Ponorogo, bahwa Pangeran Harya Matahun adalah anak kandung Pakubuwana I.
Tentu, sebagaimana babad mencatat, terdapat dua sosok “Matahun,” Matahun I (Surawijaya) dan Matahun II (Raden Mas Sangka), yang seolah memperlihatkan bahwa Harya Matahun I adalah bapak asuh Harya Matahun II, meskipun tidak memiliki hubungan darah.
Kompromi atas kepeningan sejarah seolah dapat tercapai. Harya Matahun I itulah “Bapak” kabupaten Bojonegoro yang berdarah Demak-Pajang. Sementara, Harya Matahun II itulah yang merupakan anak kandung Pakubuwana I sebagaimana yang dikenal oleh orang-orang Ponorogo.
Namun, dengan merunut silsilah makam Tajug di Ponorogo yang mencatat bahwa Adipati Mertahadinegara adalah keturunan Pakubuwana I melalui Raden Harya Matahun I, Raden Harya Matahun II, Raden Tumenggung Jayengrana I, dan Raden Tumenggung Jayengrana II, adalah mustahil ketika mencantumkan keduanya yang tak memiliki hubungan genealogis sebagai rantai keturunan.
Bagaimana mungkin, ketika Harya Matahun I ditetapkan berdarah Demak-Pajang (Bojonegoro) bersambung pada Harya Matahun II yang merupakan anak Pakubuwana I (Ponorogo)?
Madiun ternyata memiliki kejelasan atas hubungan Harya Matahun I, yang ketika di Madiun dikenal sebagai Tumenggung Surawijaya, dengan Pakubuwana I.
Dari silsilah Kanjeng Pangeran Mangkudipura II atau Adipati Mangkunegara VII, ternyata Harya Matahun I atau Tumenggung Surawijaya adalah anak dari Pangeran Harya Atmawijaya (Tuban) sekaligus cucu dari Adipati Rangga Jumena yang menikah dengan putri dari Pakubuwana I: G.B.R.A. Matahun.
Dengan demikian, ketika menghubungkannya dengan rantai keturunan atau nasab, Pangeran Harya Matahun tetaplah satu nama pada dua jalur nasab yang berbeda, meskipun dikaitkan dengan Pangeran Puger atau Pakubuwana I.
Berdasarkan “Matahun” versi Madiun itu, maka Pangeran Harya Matahun II (Raden Mas Sangka) adalah adik dari G.B.R.A. Matahun sekaligus anak tiri dari Pangeran Harya Matahun I atau Tumenggung Surawijaya.
Maka, tak mengherankan ketika Raden Tumenggung Jayengrana II dapat menjadi bupati Caruban. Sebab, pertama, ia adalah cucu dari Pangeran Harya Matahun yang dianggap sebagai punjer para adipati atau bupati yang dimakamkan di pemakaman Kuncen, Caruban.
Kedua, Raden Tumenggung Jayengrana II adalah menantu dari Kanjeng Pangeran Mangkudipura II ketika dipindahtugaskan dari bupati Madiun ke bupati Caruban. Babad Ponorogo pun mencatat bahwa Raden Barata, sebelum menjabat Adipati Mertahadinegara di Ponorogo, menggantikan kedudukan ayahnya di Caruban.

Jadi, berdasarkan tilikan itu, baik dari jalur Pangeran Harya Matahun I dengan G.B.R.A. Matahun (putri PB I) maupun Pangeran Harya Matahun II dengan Nyai Mas Sangka (putri Pangeran Ranggawicitra II), Adipati Mertahadinegara—yang dalam catatan silsilah keluarga disebut “Bupati sumare Tadjuk (Darah Surodiningrat)”—tetaplah keturunan ke-4 dari Pangeran Puger atau Pakubuwana I: (1) Pakubuwana I, G.B.R.A. Matahun, Kanjeng Pangeran Mangkudipura II, Raden Ayu Jayengrana II, Adipati Mertahadinegara; (2) Pakubuwana I, Pangeran Harya Matahun (Raden Mas Sangka), Raden Tumenggung Jayengrana I, Raden Tumenggung Jayengrana II, Adipati Mertahadinegara.