Tan ingsung maparangah kahananmu
Sakaliring dudu jati
Amung daden kang ngreridhu
Nanging tumraping margi
Linampahan kanthi tanggon
—Megatruh, Heru Harjo Hutomo
Terkadang saya lebih suka menerjemahkan istilah “Being” (Sein) dalam filsafat Heidegger sebagai “kahanan.” Hal ini sangat terasa dalam pemaknaan Heidegger pada “Being” pasca magnum opus-nya, Being and Time (1962). Banyak para pengulas Heidegger di Indonesia menerjemahkan istilah “Being” itu sebagai “Ada” ataupun “Mengada,” sedangkan “beings” (sein) sebagai “pengada” atau “adaan.”
Dalam khazanah budaya Jawa terdapat istilah “kahanan” yang acap diterjemahkan sebagai “keadaan” dalam bahasa Indonesia. Padahal, yang disebut sebagai “kahanan” bersifat owah-gingsir atau berubah-ubah, tak tetap sebagaimana yang dikandung dalam makna “Ada”—bandingkan antara pemilahan “Being” dan “Becoming” dalam sejarah metafisika Barat. Karena itulah dalam filsafat Jawa kehidupan disebut dengan istilah “dumadi” yang berakar kata “dadi,” sesuatu yang sifatnya tak sejati atau jadi-jadian yang sepadan dengan istilah “kahanan” tersebut.
“Kahanan” memiliki akar kata “hana” yang memang berarti “Ada.” Tapi, saya kira, hal ini tak sebagaimana yang dimaknai oleh Parmenides di era Yunani purba: sesuatu yang tetap, tak berubah dimana segala hal lainnya berasal atau diasalkan darinya. Plato pun, saya kira, mendasarkan dunia eidos-nya pada “Ada” dalam pengertian Parmenides tersebut.
Padahal di Jawa, sebagaimana yang dikutip oleh Ronggawarsita dalam Wirid Hidayat Jati, kondisi ketika belum ada sesuatu pun yang berada (awang-uwung) disebut sebagai “kahanan jati.” Persis Heidegger yang menyatakan bahwa “Being” pun pada akhirnya tak abadi. Ia akan melenyap seiring dengan kelenyapan manusia—yang merupakan salah satu “sein,” “beings,” “pengada” atau “adaan”—yang pada dasarnya merupakan “sein-zum-Tode” atau hidup-menuju-kematian.
Pada titik inilah sejak awal-mulanya Heidegger sudah memiliki kekariban dengan mistisisme yang kelak memuncak pada karya-karya masa tuanya yang cukup terpengaruh oleh pemikiran mistikus legendaris Jerman, Meister Eickhart. Dalam diskursus sufisme Jawa apa yang didedahkan oleh Heidegger itu diperlambangkan dengan ungkapan “sirna dhalang wayang sakelire” (Wulang Dalem PB IX, Angabei IV, 1900). Dalam hal ini saya hanya ingin mengatakan bahwa istilah “Tuhan” dalam teologi selama ini hanya menyangkut pada salah satu sifatnya, yakni “wujud” yang memang sepadan dengan pengertian “Ada,” dan belumlah menyentuh “Tuhan” itu sendiri. Di sinilah kemudian diskursus tentang “Tuhan” dalam teologi sebenarnya hanya menyentuh sifat wujudnya belaka.
Jadi, istilah “Tuhan” dalam teologi selama ini hanya merujuk pada wujudnya seandainya orang memakai kerangka pikir ini. Dalam diskursus keagamaan hal ini dapat ditemukan pada pemilahan antara konsep “Islam,” “iman,” dan “ihsan” dimana bidang-bidang kajiannya dikenal sebagai fiqh, teologi (kalam), dan tasawuf (sufisme).
Heidegger, dengan demikian, adalah seperti halnya al-Ghazali yang sama-sama pernah mengalami kebuntuan atau krisis spiritual dalam upaya pencariannya selama ini (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, 2020). Dan di sinilah, bagi saya, Heidegger bukanlah seorang ateis atau nihilis sebagaimana yang selama ini pernah dituduhkan sebagian orang. Sebab, Derrida, salah satu pemikir yang cukup berhutang banyak pada pemikiran Heidegger, pernah mengatakan bahwa antara seorang ateis dan seorang mistikus sebenarnya tak ada bedanya ketika memperbincangkan “Tuhan” (Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai, 2011).
Saya tak ingin mengatakan pula bahwa Derrida adalah seorang mistikus atau bahkan sufi. Hanya saja dekonstruksi dengan istilah “Différance”-nya cukup menggamblangkan istilah “Tuhan” dalam diskursus mistisisme yang pernah saya setarakan dengan istilah “penghayatan” (Kebatinan dan Anyaman Kebatinan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Memaknai hidup sebagai “kahanan” pada dasarnya adalah meletakkannya dalam koridor kefanaan atau hal-hal yang, dari sudut-pandang manusia, bersifat manusiawi. Di sinilah orang mengenal liminalitas atau ruang ambang yang sejak awal-mulanya kerap diungkapkan dengan ungkapan bahwa manusia adalah letak dari segala lalai dan kesalahan. Sebagaimana pula yang pernah diungkapkan oleh Ibn ‘Athaillah melalui salah satu aforismenya dalam al-Hikam, bahwa memang sudah menjadi tabiat dunia untuk tak sesuai dengan segala ideal manusia—dimana dalam eksistensialisme dikenal sebagai “faktisitas.” Tak pelak lagi, hal ini merupakan tamparan keras bagi segala corak pola pikir dan tafsir keagamaan maupun non-keagamaan yang bersifat radikal atau “masturbasif.” Secara rendah hati, memaknai hidup sebagai “kahanan” merupakan sebentuk moderasi baik dalam berpikir maupun bersikap.