
Lamun kalbu wus tamtu
Anungku mikani kang amengku
Rumambating eneng ening awas eling
Ngruwat serenging rerengu
Urubmu kedhap ing panon
—Kandha Manyura, Heru Harjo Hutomo
Dalam khazanah budaya Jawa dirumuskanlah sebuah tilikan atas diri manusia yang ternyata tak hanya berhiaskan “watak,” namun juga “watek.” Watak ini, secara umum, dikenal sebagai karakter yang merupakan hasil dari bentukan. Watak inilah yang kemudian berkembang menjadi budi pekerti atau dalam bahasa agama disebut sebagai akhlaq, yang bisa luhur ataupun rendah, baik ataupun buruk.
Sementara, watek, yang tak dapat dilepaskan pula dari watak, adalah karakter yang bukan merupakan hasil dari bentukan. Seandainya watak adalah bentukan, watek merupakan pembawaan yang tak mungkin berubah atau diubah. Adakalanya, watek ini akan muncul ketika watak yang diperankan sudah mengatasi segala standar nilai. Atau dalam dunia peran atau teater, watek ini identik dengan ekspresi yang merupakan hasil dari improvisasi.
Dari perspektif watak dan watek dalam kearifan Jawa itulah dapat dikatakan bahwa manusia tak selamanya adalah seonggok konstruksi, entah konstruksi sosial ataupun konstruksi bahasa. Pada titik ini pula, maka terbukalah ruang bagi agama yang konon mengetengahkan konsep tentang yang fitrah ataupun fitri yang merupakan istilah lain dari yang azali.
Jadi, berdasarkan tilikan kearifan Jawa itu, ketika seseorang dipandang berbuat jahat bukanlah semata karena adanya kesempatan, desakan sosial, tekanan ideologis-politis ataupun himpitan ekonomi, dsb. Namun karena memang juga disebabkan oleh apa yang dikenal dalam kebudayaan Jawa sebagai “bebakalaning manungsa” atau modal kemanusiaan untuk hidup di dunia, yang dua di antaranya adalah nafsu “amarah” (ammarah) dan “aluamah” (lawwamah) (Petaka Melankolia: Perihal Kebhinekaan, Kenusantaraan, Radikalisme dan Terorisme, Heru Harjo Hutomo, PT Nyala Masadepan Indonesia, Surakarta, 2021).
Bubarnya Jamaah Islamiyah (JI), yang bagi penulis menjadi salah satu bagian dari “pertobatan kalangan yang dahulu dikenal sebagai kalangan antinasionalisme dan gerakan transnasional jenis baru,” tentu saja adalah hasil dari deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat selama ini. Pada perspektif ini, deradikalisasi adalah juga sebentuk upaya pembentukan karakter atau pembangunan watak.
Namun, yang menjadi pertanyaan ketika di hari ini Indonesia tengah mencapai zero terrorist attack, sejauh mana integrasi sosial-ideologis kaum radikal itu terjadi mengingat manusia yang ternyata tak sekedar berhiaskan watak, namun juga watek yang konon dibawa sampai mati, “Ciri wanci ginawa mati”?
Berdasarkan tilikan watak dan watek, dapat disimpulkan bahwa pertobatan dan integrasi sosial-ideologis kaum radikal di Indonesia hanya terjadi pada wilayah watak: kembali pada Pancasila dan NKRI, ketundukan pada hukum-hukum nasional, dan barangkali juga pemahaman keagamaan yang lebih moderat.
Namun, karena manusia ternyata terdiri dari watak dan watek, maka ketika orang berbicara tentang potensi dan ancaman, patut diupayakan pula sebentuk pendekatan yang cukup mengenal wilayah watek, dimana satu di antaranya adalah kearifan-kearifan lokal yang secara telanjang memang berseberangan dengan radikalisme dan terorisme.
Perlu dipahami, bahwa dalam kerangka kearifan-kearifan lokal sebagaimana kearifan Jawa “bebakalaning manungsa” memang tak akan bisa dihilangkan karena merupakan bagian dari perangkat orang hidup. Maka ketika bebakalan-bebakalan dihilangkan, akan pincang kehidupan seseorang itu, dan bahkan mati.
Radikalisme dan terorisme pada dasarnya berakar pada dua bebakalan yang terlalu dominan di antara bebakalan-bebakalan lainnya, amarah yang cenderung marah dan aluamah yang tamak dan cenderung menganiaya diri sendiri. Karakteristik utama dari amarah adalah ketakmenerimaan dan luamah adalah penyesalan.
Berbeda dengan agama yang meletakkan bebakalan-bebakalan itu secara hierarkis, dari yang terendah (ammarah dan lawwamah) sampai yang terluhur (muthmainnah), kearifan Jawa meletakkan bebakalan-bebakalan itu secara setara dan organik, yang dikenal sebagai konsep “Sedulur Papat Lima Pancer.”
Kesetaraan dan keorganikan dalam meletakkan bebakalan-bebakalan itulah yang menjelaskan pula kenapa sampai ada penjahat atau orang-orang yang berbuat jahat dengan berlandaskan nilai-nilai keagamaan tertentu. Di sinilah dapat dikatakan bahwa kesalehan beragama tak senantiasa berbanding lurus dengan kebaikan.
Radikalisme dan terorisme keagamaan adalah salah satu contoh yang paling kentara dari kesalehan semacam itu, sebentuk kesalehan yang lupa untuk menempatkan bebakalan lainnya secara serasi. Bebakalan itulah yang konon memiliki karakteristik untuk “rila-legawa” atau yang dalam bahasa agama disebut sebagai “ridha”: “mutmainah” (muthmainnah).
Maka, secara sederhana, ketika semua orang berpotensi untuk menjadi radikal (amarah dan aluamah) sekaligus moderat (mutmainah), karena memang tak ada manusia yang bisa hidup tanpa bebakalan-bebakalan itu, penanggulangan masalah radikalisme dan terorisme yang menyentuh pada wilayah watek yang konon dibawa sampai mati menjadi mungkin.
Ketika amarah dan aluamah adalah bebakalan-bebakalan yang turut menghiasi watek seseorang, demikian pula mutmainah atau muthmainnah. Bebakalan yang konon hanya diperkenankan pulang dengan gembira dan menggembirakan itu adalah juga salah satu penghias watek seseorang.
Dengan demikian, berdasarkan perspektif watak dan watek, untuk mengatasi dominasi bebakalan amarah dan aluamah (yang pada derajat tertinggi mengarah pada perilaku radikal dan teroristik), diperlukan sebuah upaya yang terstruktur dan sistematis untuk menghidupakan bebakalan penghias watek atau ciri wanci manusia yang lain: mutmainah.
Dalam khazanah budaya Jawa, dan juga sufisme, dikenal tentang adanya tradisi laku atau suluk yang pada dasarnya, secara pragmatis, dilakukan untuk menyelaraskan diri. Ketika deradikalisasi hanya dilakukan semata pada masalah pembenahan pemahaman keagamaan ataupun ideologis, dan juga pembenahan ekonomis pada para eks-napiter, pada dasarnya upaya-upaya itu sekedar juga menghasilkan watak-watak yang terbangun atau terbentuk.
Artinya, watak adalah wilayah sadar, sementara watek adalah sebuah wilayah pra-sadar yang 90% dijalani oleh seorang anak manusia. Karena itulah kenapa ada tradisi laku dalam kebudayaan Jawa ataupun suluk dalam dunia sufisme yang dilakukan tanpa adanya titik henti (tak berjangkawaktu).
Ketika seumpamanya disepakati bahwa radikalisme-terorisme adalah sebentuk irasionalitas, maka moderasi beragama hanyalah sekedar upaya membentuk watak dan membangkitkan wilayah sadar. Sementara, laku dan suluk adalah sebentuk upaya untuk menemukan dan merumuskan watek serta mendirikan wilayah pra-sadar: “Heh, jiwa yang tenang kembalilah pada Tuhanmu dengan gembira dan menggembirakan.”