Sedang Membaca
Rimpu, Dato’ Melayu, dan Aurat Perempuan Bima
Hilful Fudhul
Penulis Kolom

Mahasiswa Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pimpinan Alumni Pondok Pesantren Darul Furqan Kota Bima

Rimpu, Dato’ Melayu, dan Aurat Perempuan Bima

Masuknya Islam di Bima, membentuk hukum dan bahkan budaya masyarakat Bima. Islam dan orang-orang Melayu memberi pengaruh besar terhadap tatanan kehidupan masyarakat Bima. Siapa orang Melayu yang melancong ke Bima?

Orang Melayu itu Datuk ri Banda dan Datuk di Tiro. Dua nama ini adalah ulama yang dalam naskah BO’ Sangaji Kai tercatat sebagai orang yang datang untuk mengislamkan masyarakat Bima. Dua ulama ini, oleh sultan Bima kedua, yaitu Sultan Sirajuddin, diberi perhatian khusus, anatara lain dengan memberi tempat tinggal kepada ulama dari Melayu dan memberi jabatan Khatib.

Pengaruh Islam yang dibawa oleh orang Melayu di tanah Bima, banyak memberi beberapa pengaruh salah satunya adalah kebudayaan Melayu yang terakulturasi dalam kehidupan masyarakat Bima. Salah satunya ialah adanya model busana Rimpu yang dikenakan oleh perempuan Bima.

Perempuan Melayu, biasanya sering mengurung diri di dalam rumah, dibuatkan loteng khusus untuk perempuan Melayu melihat pemandangan di luar rumah pun dengan perempuan di Bima dibuatkan Taja, yaitu ruang khusus untuk perempuan Bima.

Rimpu adalah busana perempuan Bima untuk menutup aurat, terdapat dua jenis Rimpu, Rimpu Colo, yaitu sarung khas atau Tembe Nggoli yang dilingkari menjadi penutup kepala saja tanpa menutup wajah perempuan, sebagai tanda bahwa sang perempuan telah diperistrikan oleh sang lelaki.

Baca juga:  Pendidikan Seni, Anak-Anak Kita, Gus Dur hingga AL-Ghazali

Yang kedua adalah Rimpu Mpida yaitu busana menutup aurat perempuan sampai menutup wajah kecuali mata, mungkin hari ini seperti memakai cadar sebagai tanda bahwa perempuan itu belumlah diperistrikan oleh laki-laki manapun.

Tradisi masyarakat Bima yang hari ini dikenal seperti Upacara hanta Ua Pua untuk menyambut bulan kelahiran Nabi Muhammad serta busana Rimpu adalah budaya yang dibentuk oleh ulama Melayu, kemudian menjadi tradisi sah masyarakat Bima ketika masa kepemimpinan Sultan Sirajuddin (1640-1682) bersama Majelis Hadat, Tureli Ngampo Abdurrahim, Bumi Luma Rasanae, Bumi Ngeko dan Dato Melayu mengadakan rapat Paruga Suba memutuskan bahwa Rimpu dan tradisi Melayu lainnya menjadi tradisi sah masyarakat Bima.

Rapat Paruga Suba memberi banyak dampak atas tradisi masyarakat Bima, pada rapat ini pula diputuskan oleh Sultan bahwa penulisan naskah BO yang sudah turun temurun dengan menggunakan aksara Bima diubah ke aksara Arab Melayu. 

Dalam Syair Khatib Lukman yang menceritakan tentang busana perempuan Bima saat menuju keramaian, pada penobatan Sultan Islami (1817-1854), yaitu :

 Perempuan yang muda dirumahnya terkurung

Seraya mengambil baju dan sarung

Abu yang panas boleh diarung 

Pergi menonton ditepi lorong

Syair di atas menunjuk pada kebiasaan perempuan Bima dengan menggunakan busana Rimpu untuk pakaian khas bagi perempuan. Rimpu dalam kehidupan masyarakat Bima adalah tradisi berpakian perempuan untuk menutup aurat sekaligus menjadi tanda untuk perempuan yang telah menikah atau yang belum menikah, dilihat dari dua jenis rimpu yang telah disebutkan di atas.

Baca juga:  Jelang Munas Alim Ulama (2): Ulama Aswaja di Lombok Abad ke-18

Rimpu pula adalah identitas keberislaman perempuan Bima sebagai ekspresi memahami hukum Islam, yaitu menutup aurat bagi perempuan. Jika jenis rimpu bercadar, maka itu tanda perempuan belum menikah. Juga, yang unik lagi dari rimpu adalah adalah bahan yang digunakan oleh perempuan Bima adalah sarung tenun yang disebut Tembe Nggoli serta simbol untuk menandakan perempuan yang menggunakan Rimpu Mpida belum diperistri. Rimpu merujuk pada agama yang memerintahkan perempuan menutup aurat serta tradisi dan bukan menunjuk pada eksrimisme dalam beragama.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top