
Bulan Syawal menjadi momen banyak orang selebrasi cinta melalui pernikahan. Pertanyaan “kapan nikah?” pada jomblo pun mengerubuti bak laron di musim hujan. Memang, kampanye nikah dalam narasi Islam sangat kuat sebagai sunnah Nabi dan ibadah seumur hidup. Barang siapa melaksanakannya, maka dianggap menyempurnakan separuh agama. Padahal kita tahu, jalan hidup dan proses setiap individu berbeda-beda, tidak bisa diukur hanya dengan usia.
Dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali secara khusus menulis satu bab tentang anjuran untuk tidak menikah (at-tarhib ‘an an-nikah). Bab ini untuk mengimbangi narasi anjuran menikah yang sangat santer, meskipun akhir-akhir ini sudah diimbangi oleh kondisi ekonomi nasional yang makin loyo. Anjuran tidak menikah menjadi argumen bagi mereka yang dalam hatinya belum siap untuk melangkah ke biduk rumah tangga tapi selalu merasa terdesak oleh tekanan sosial.
Mereka merasa bahwa ketakutan akan masa depan dalam diri mereka tidak dianggap valid karena agama bicara soal jaminan rezeki. Akhirnya, banyak juga rumah tangga yang ambyar karena faktor ekonomi selaras dengan tren perceraian yang kian naik. Atas asas menunaikan amal saleh, para muda-mudi menikah tanpa benar-benar memahami arti dari siap.
Sebuah hadis menyebutkan:
خَيْرُ النَّاسِ بَعْدَ المِائَتَيْنِ الْخَفِيفُ الْحَاذُّ الَّذِيْ لَا أَهْلَ لَهُ وَلَا وَلَدَ
“Sebaik-baik manusia setelah tahun dua ratus adalah yang bebannya ringan, yang terputus (tidak memiliki keluarga), dan tidak pula memiliki anak.” (HR. Abu Ya’la dan al-Khitabi)
Selanjutnya, disebutkan dalam sebuah riwayat:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، يَكُوْنُ هَلَاكُ الرَّجُلِ عَلَى يَدِ زَوْجَتِهِ وَأَبَوَيْهِ وَوَلَدِهِ، يُعَيِّرُونَهُ بِالْفَقْرِ، وَيُكَلِّفُوْنَهُ مَا لَا يُطِيْقُ، فَيَدْخُلُ الْمَدَاخِلَ الَّتِي يَذْهَبُ فِيهَا دِينُهُ، فَيَهْلِكُ
“Akan datang suatu masa pada manusia, di mana kebinasaan seorang lelaki datang dari tangan istri, kedua orang tua, dan anaknya. Mereka mencelanya karena miskin, dan membebaninya dengan sesuatu yang tidak sanggup ia pikul. Maka ia pun memasuki jalan-jalan yang menghilangkan agamanya, lalu binasalah ia.” (HR. al-Baihaqi)
Ini bisa menjadi kritik yang tajam yang menunjukkan ironi dunia pernikahan. Seorang laki-laki tidak hanya dibebani tanggungan nafkah, tetapi juga gaya hidup keluarganya.
Dalam sebuah khabar disebutkan bahwa:
قِلَّةُ الْعِيَالِ أَحَدُ الْيَسَارَيْنِ، وَكَثْرَتُهُمْ أَحَدُ الْفَقْرَيْنِ
“Sedikit keluarga adalah salah satu dari dua bentuk kelapangan, dan banyaknya keluarga adalah salah satu dari dua bentuk kefakiran.” (HR. al-Qudla’i dan ad-Dailami)
Maka, sedikit tanggungan bisa membuat hidup terasa lapang meski harta pas-pasan. Sebaliknya, banyaknya anak dan tuntutan keluarga bisa menciptakan kefakiran, meski pemasukan tak sedikit.
Abu Sulaiman ad-Darani pernah ditanya tentang pernikahan, lalu ia menjawab, “Besabar tidak menikah lebih baik daripada bersabar dalam pernikahan. Dan bersabar dalam pernikahan lebih baik dari menahan diri dari api neraka.” Ia juga pernah berkata, “Orang yang membujang akan mendapatkan manisnya ibadah juga ketenangan hati yang tidak didapati oleh orang yang beristri.”
Masih dari ad-Darani, ia sekali waktu berkata, “Aku tidak melihat satu pun teman-teman kami yang menikah dan tetap berada di derajat pertama.” Ia juga berkata, “Tiga perkara yang barang siapa mencarinya, maka sungguh ia telah condong kepada dunia: orang yang mencari penghidupan, menikahi seorang wanita, atau menulis hadis.”
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia tidak akan menyibukkannya dengan keluarga atau harta.”
Ibnu Abi al-Hawari mengelaborasi bahwa sekelompok orang berdiskusi mengenai hadis ini, lalu mereka sepakat bahwa maksudnya bukanlah agar seseorang tidak memiliki keluarga dan harta, tetapi agar dia memilikinya tanpa menjadikannya sibuk (terlena) darinya. Ini sejalan dengan ucapan Abu Sulaiman ad-Darani, “Apa pun yang menyibukkanmu dari Allah, baik itu keluarga, harta, atau anak, maka itu adalah kesialan atasmu.”
Imam Ghazali menyebutkan bahwa secara umum tidak ada yang meriwayatkan larangan menikah secara mutlak, kecuali disertai dengan syarat tertentu. Adapun anjuran menikah, disampaikan dalam bentuk mutlak namun juga disertai syarat.
Dengan memahami argumen anti-mainstream ini, diharapkan setiap orang yang tidak siap menikah tidak perlu takut untuk membuat keputusan. Begitu pula, kita sebagai bagian dari sosial tidak terpancing mendesak seseorang untuk menikah. Meskipun hadis menyebutkan bahwa menikah adalah sunnah rasul, namun dalam fikih hukum menikah ada lima sesuai dengan kondisi masing-masing.
Setiap orang mempunyai hak menentukan jalan hidup. Mungkin ada yang mau fokus karier dulu, ada yang belum menemukan pasangan yang tepat, ada yang masih menabung, ada yang punya trauma keluarga, dan alasan-alasan lain yang enggan mereka ungkap. Dalil-dalil yang disajikan Imam Ghazali tadi menegaskan bahwa meniti jalan jomblo juga bisa punya lisensi agamis jika dilakukan dengan niat dan pertimbangan yang benar.