Katresnan tanpa winates, cinta tanpa batas, demikian makna kehidupan yang saya unduh ketika mengantar nenek nyekar (tabur bunga) di pusara kakek. Sekalipun raga kakek telah berkalang tanah sewindu silam, namun rasa cinta nenek terhadap suaminya tanpa batas. Kasih sayangnya tak pernah padam, misalnya, ia wujudkan dengan nyadran dan menembangkan doa di kuburan, tanpa harus menunggu bulan Ruwah.
Merujuk kamus Bausastra Jawa karangan Poerwadarminta (1939), lema nyadran memuat arti: ing sasi Ruwah nylamêti para lêluwur (kang lumrah ana ing kuburan utawa papan sing kramat ngiras rêrêsik tuwin ngirim kêmbang). Dari pustaka lama ini, terbit pemahaman bahwa tatkala bulan Ruwah menyapa, sebagian besar masyarakat yang diasuh kebudayaan Jawa menembangkan sebait doa untuk arwah leluhur dibarengi menabur bunga.
Tangan membawa sabit dan sapu lidi, mereka tak lupa membersihkan gulma yang mengotori gundukan tanah dan batu nisan. Tengok saja di pedesaan Boyolali, Sukoharjo, dan Wonogiri yang kental dengan unsur kajawen, aktivitas budaya yang dikerjakan setahun sekali itu masih berlangsung gayeng (asyik, akrab) kendati mereka hidup di era internet dan komunikasi serba canggih.
Momentum sadranan bagi wong Jawa sukar dipandang remeh, alih-alih menuding klenik. Selain mendoakan kakek moyang serta merawat memori sejarah keluarga, kegiatan nyadran justru mengingatkan kita akan kematian. Bahwa kehidupan di jagad cilik ini tiada yang abadi. Timbunan rajabrana (harta) dan mobil mulus tak ikut terbawa di alam kubur. Cukup mori dua meter untuk membungkus raga yang tak lagi bernyawa. Dari tanah kembali ke tanah.
Hampir seabad silam, nyadran malah dimaknai sebagai ajang interaksi sosial dan pamer baju bagus. Fakta historis tersebut saya jumpai dalam majalah lawas Kajawèn edisi Juli 1928: “Saking kêlanturing raos ingkang kados makatên punika, manawi môngsa nyadran ing wulan Ruwah, têtiyang sami mrêlokakên nuwèni kubur, kanthi nyandhang ngangge sarwa sae, gumrudug sakulawarga sadaya kados sacaranipun tiyang badhe jagong, malah mênggahing batosipun kapara ngungkuli, awit tindakipun mawi lêlambaran lêga lan sucining manah, tuwin dipun raos dados wajib ingkang mêsthi.”
Begini terjemahan bebasnya: karena kuatnya perasaan seperti ini, sewaktu musim nyadran di bulan Ruwah, banyak orang bergegas ke kuburan. Dengan berpakaian bagus, sekeluarga berbondong laiknya hendak mendatangi sebuah acara hajatan, bahkan melebihi. Hal ini lantaran dilambari hati lapang, pikiran bersih serta dirasakan sebagai kewajiban yang sulit ditolak.
Sebetulnya, sadranan tempo dulu tidak mandeg pada kuburan keluarga saja. Tetapi juga menyambangi hastana para pembesar atau tokoh penting pada zamannya. Realitas ini saya temukan dalam obrolan yang tersurat dalam Bocah Mangkunagaran anggitan Yasawidagda (1937) yang tersimpan di Perpustakaan Reksapustaka: Lah bok mênyang pasareane para luhur, ngiras sujarah. Apa kowe durung tau mênyang Mangadêg? Sing sumare kono kuwi kangjêng gusti sing cikal-bakal praja Mangkunagaran.
Nah, cukilan fakta ini memantulkan spirit wong Jawa yang berupaya merawat ingatan kolektif tentang sepak terjang tokoh pembesar dalam panggung sejarah lokal. Sekalipun bukan trah Mangkunegaran, wong cilik emoh menepikan mutiara kehidupan penguasa praja Mangkunegaran yang dikenal bijak dan peduli terhadap nasib kelas bawah.
Ambillah misal, Gusti Mangkunegara I membebaskan pajak pasar dan menenun tali hubungan erat dengan para kawula. Di samping terkenal sakti dan pemberani, pendiri praja Mangkunegaran tersebut meninggalkan kesan yang baik di sanubari rakyatnya. Demikian pula Mangkunegara VII getol membangun sekolah, menyediakan lapangan bola, dan menyolek kampung demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Saat pergi ke makam bersama simbah, saya disadarkan adanya suatu profesi kuno yang jarang terbidik mata media maupun kecanggihan teknologi, yakni juru kunci, kuncen, atau pakuncen. Kuncen bisa juga diartikan dengan makam.
Pujangga Padmasusastra melalui naskah Bauwarna (1898) menukilkan fakta kuncen (kuburan) berikut tokoh istana yang dikebumikan: Kyai Juruwirapraba sumare ing Kuncèn Ngayogya lan Radèn Dêmang Urawan sumare Kuncèn Dilanggu. Terjemahan bebasnya: Kyai Juruwirapraba bersemayam di kuburan Yogya dan Radèn Dêmang Urawan dikebumikan di kuburan Delanggu.
Dalam lembaran sejarah elit istana, namanya sayup-sayup terdengar. Kala tertentu, penjaga makam sering menemani dan memandu orang yang nyekar ke kuburan. Juru kunci tentu bukan orang sembarangan. Selain bermental baja dan memahami jagad spiritual Jawa, menjadi pakuncen kudu siap pula berkawan dengan rasa sepi. Berkarib dengan kewingitan suasana kuburan merupakan makanan sehari-hari.
Di masa silam, pakuncen masuk dalam struktur birokrasi kerajaan Mataram Islam. Saban bulan ia mengantongi gaji dari pihak keraton, sebab dipasrahi menjaga dan membersihkan area pemakaman leluhur, sebagaimana juru kunci Astana Mangadeg di kaki Gunung Lawu.
Dalam naskah lama berjudul Tus Pajang (1939) dijelaskan peran juru kunci dalam sebuah kuburan. Saking pentingnya pakuncen dalam kehidupan masyarakat Jawa klasik, namanya dicomot untuk toponim kampung. Sebagai contoh, Kampung Kuncen dan Pakuncen yang masuk telatah Kota Yogyakarta.
Muasal nama Kampung Pakuncen memang mengacu pada fakta makam yang senantiasa dikunci, yaitu makam Nyai Ageng Drepayuda. Dialah ibu mertua Sultan Hamengku Buwono I. Pakuncen adalah pemegang kunci makam yang disakralkan tersebut.
Lantaran dianggap orang penting dan berstatus sosial tinggi, kuncen diabadikan oleh penduduk setempat untuk tetenger atau identitas daerah. Ya, mengunjungi makam rupanya tidak bermakna tunggal. Bukan sekadar menjaga memori tentang kakek, namun melihat sebuah profesi tua yang masih terpakai di abad digital, yakni si juru kunci. (SI)