Belum lama ini, Presiden Joko Widodo blusukan ke gang Kampung Kemlayan. Orang nomor satu di Indonesia itu mampir ke studio seni yang digarap oleh maestro tari Sardono W Kusumo. Didampingi buah hati dan cucu, Pak Jokowi tampak menikmati suasana di lorong sempit dengan dinding tembok yang dimural oleh sejumlah seniman muda. Kemlayan sedari era kerajaan telah sohor sebagai kampung seniman. Tak hanya tercatat satu orang maestro, melainkan puluhan empu yang mampu regenerasi di ruang sosial itu.
Bukan hanya penari Sardono yang menebalkan identitas kampung seni tersebut, barangkali Presiden yang juga mantan tukang kayu itu belum pernah mendengar nama S. Ngaliman. Dialah empu tari tradisional gaya Surakarta yang lahir, besar, bahkan mendidik para muridnya secara informal di Kemlayan. Ngaliman juga sukses menularkan kedigdayaan menari kepada buah hatinya. Terbukti, dua anaknya yang lair ceprot di Kemlayan, kemudian hari menjadi dosen tari di perguruan tinggi.
Terkait kaitan seniman tari dengan Presiden Indonesia, saya teringat sepotong cerita kemampuan S. Ngaliman bersama S. Maridi menggubah tari handaga bugis menjadi tari bugis kembar.
Pada suatu waktu, S. Ngaliman dititahkan untuk menghibur Presiden Sukarno di istana negara. Dua maestro kenamaan asli Solo itu memilih tari handaga bugis guna dipersiapkan “menggoyang” istana yang tak lepas dari perspektif jawasentris.
Selepas berdikusi, rupanya Bung Karno detik itu kurang berkenan mendapati kisah yang diangkat dalam tarian klasik tersebut. Lantas, ayahanda dari Megawati yang menggemari kesenian tradisional ini meminta Ngaliman dan S. Maridi untuk mengubahnya. Presiden Soekarno tidak mau apabila tarian tersebut menjadi contoh atau gambaran bangsanya, di mana dua orang tokoh suku saling berperang.
Tari harus memantulkan pelajaran untuk mendukung integrasi bangsa, bukan malah sebaliknya. Sebab itulah, supaya lolos dipentaskan di istana kepresidenan, S. Maridi gegas mengubahnya menjadi tarian gladen atau latihan perang orang-orang Bugis. Tanpa banyak cakap, tangan dingin sang empu memoles tarian itu sesuai selera penguasa.
Gambaran Prajurit Berlatih Perang
Menurut putra Ngaliman, Bambang Tri Atmadja, tari bugis kembar versi S. Ngaliman sudah dibakukan ke dalam kaset pita tahun 1974 dan memiliki sebaran yang lebih luas. Tari bugis kembar ialah tari yang menggambarkan prajurit Bugis yang sedang berlatih perang. Karakter yang dimunculkan dalam figur Bugis tidak lepas dari wayang gedog, yakni nggelece. Karakter dari Bugis yang nggelece, sigap, dan pemberani tersurat dan tersirat dalam Serat Kridhawayangga yang menjelaskan mengenai patrap beksa mundhing mangundha untuk karakter tari Bugis.
Seniman tari yang juga mantan murid Ngaliman, Wahyu Santoso Prabowo menjelaskan bahwa struktur penyajian tari bugis kembar dibagi menjadi 5 bagian, yaitu maju beksan, beksan, perang tangkepan, perang gamandan, dan mundur beksan. Ragam gerak yang digunakan dalam tari bugis kembar adalah ragam gerak gagah bapang gaya Surakarta.
Selain itu, tari bugis kembar tidak hanya menggunakan gerak gagah gaya Surakarta melainkan juga menggunakan bentuk gerak pencak silat. Rias dan busana yang digunakan pada penari tari bugis kembar versi S. Ngaliman menggunakan rias dan busana yang sama.
Adapun susunan musik tari bugis kembar, yaitu ada-ada srambahan laras pelog pathet nem, kandhang bubrah, lancaran laras pelog pathet nem, puspanjala, ketawang laras pelog pat het nem, Kumuda laras pelog pathet nem, sampak, ayak-ayakan laras pelog pathet nem, dan sampak laras pelog nem pada penyajiannya. Potensi tari bugis kembar versi S. Ngaliman ini layak dicatatkan.
Kelayakan ini didasarkan pada pemikiran bahwa tari bugis kembar versi S. Ngaliman memiliki frekuensi pementasan yang cukup tinggi dan memiliki kualitas mantap dan memadahi. Di antaranya, pernah dipakai materi lomba Pekan Olahraga dan Seni (PORSENI) se-Provinsi tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sekitar tahun 2007.
Selain itu, tari bugis kembar tersebut menjadi materi tugas akhir dan pembawaan di Institut Seni Indonesia Surakarta sampai detik ini. Buktinya, dari dokumentasi ujian yang dipentaskan di Teater Kecil atau Pendopo Institut Seni Indonesia Surakarta. Tari bugis kembar sering pula dipentaskan pada acara memperingati ulang tahun Kemerdekaan RI.
Tari bugis kembar merupakan tari pasangan dengan genre wireng yang mengusung topik keprajuritan. Dicermati dari ciri-ciri tari wireng, tari bugis kembar dibawakan 2 orang penari. Tari tersebut termasuk dalam tari putra gagah berkarakter ngglece, hal ini selaras dengan karakter Bugis yang termaktub dalam cerita wayang gedog. Penari dituntut mampu mengekspresikan karakter prajurit melalui kualitas gerak, agar bisa tersampaikan ke penonton.
Busana yang dipakai penari tari bugis kembar sama, yaitu udheng gilig, brengos, kalung kace, sampur, poles, baju dan celana warna hitam, epek timang, boro samir, kain sarung dan binggel. Tiada makna khusus yang diambil dari pemilihan warna pada busana tari bugis kembar (Yunita Sari dan Maryono, 2017).
Selaras hasrat Presiden Soekarno kala itu, tari bugis kembar melukiskan nilai semangat, ketegasan, keberanian, dan daya juang sebagai patriotisme prajurit yang menonjolkan persatuan dan kebersamaan dalam menjaga perdamaian. Kehadiran tari bugis kembar di tengah masyarakat yang secara visual memberikan kesan enerjik, atraktif, ngglece cenderung gecul, humor dan banyak memperlihatkan gerak akrobatik sehingga menjadi sebuah sajian tontonan yang memikat dan menghibur.
Salah satu empu yang lahir Kemlayan, sekalipun lahir di era kejayaan feodalisme keraton, namun memahami arti patriotisme, nasionalisme, perjuangan, dan menjaga spirit kebersamaan untuk mencapai satu harapan yaitu bela negara. Nut jaman kelakone.