Dalam beberapa tahun terakhir, gaung kewirausahaan lokal yang makin mengudara banyak mendorong beberapa pemerintah daerah untuk kian menaruh perhatian dalam memaksimalkan potensinya. Salah satunya adalah pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Sebagai gambaran saja, merujuk data Badan Pusat Statistik/BPS, Jateng memiliki 4,17 juta unit usaha yang terdaftar. Jumlah tersebut kemudian dikategorikan ke dalam 15 jenis, dari pendidikan hingga industri pengolahan.
Secara lebih rinci, 98,98 persen dari totalnya adalah usaha mikro kecil. Bahkan dalam 10 tahun terakhir hingga 2016 jumlah usaha atau perusahaan di Jawa Tengah naik 13,06 persen, yang menjadikan Jawa Tengah provinsi dengan pendapatan Usaha Kecil Mikro/UKM terbesar di tahun 2015. Sedangkan di tahun 2019 sendiri, perkembangan jumlah UMKM binaan terus meningkat. Pada kuartal I sendiri, sudah tercatat 147.233 unit, itu pun belum termasuk UMKM yang bergerak secara mandiri.
Yang menarik, meski memiliki potensi besar dalam mengembangkan bisnis level kecil hingga menengah, banyak kelompok masyarakat, termasuk di kalangan pesantren, tidak melirik ‘ladang’ ini dengan serius. Padahal, dikutip dari Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-20242, potensi UMKM syariah, termasuk di dalamnya unit ekonomi pesantren di Indonesia sebenarnya cukup tinggi. Laporan terakhir di tahun 2017 menunjukkan bahwa kontribusi UMKM syariah mencapai Rp 7.704.635 milyar dan berhasil menyerap tenaga kerja sebanyak 116.673.416 orang. Sayangnya, besarnya peluang dan potensi tersebut di lingkup sebagian besar pesantren yang berlokasi di Provinsi Jawa Tengah sendiri belum dimaksimalkan, meski kini sudah mulai bergerak setahap demi setahap. Salah satunya di Pesantren Al Anwar 3 Sarang Rembang, Jawa Tengah.
Pusat pendidikan yang berlokasi di wilayah Pantura ini telah mengembangkan dua unit usaha, yakni yakni konveksi dan isi ulang air galon. Untuk konveksi dananya berasal dari pihak ketiga, sedangkan untuk bisnis kedua, dilakukan secara swadaya dari pesantren sendiri. Keuntungan yang diperoleh dari kedua usaha tadi digunakan untuk pemenuhan biaya proyek selanjutnya, sehingga belum ada ekspansi jaringan usaha yang lebih besar.
Dengan kondisi tersebut, kas yang ada hanya dimanfaatkan untuk kelangsungan proses produksi, sedangkan kelanjutan pengembangan unit usaha sedang dijajaki secara perlahan. Terlebih, ketika masih awal berdiri, program pengembangan ekonomi pesantren dikerjakan secara acak oleh banyak orang, sehingga ketika telah dilaksanakan perubahan sistem administrasi dan manajemen, tiap komponen memerlukan waktu untuk beradaptasi.
Untuk struktur baru sendiri, di tiap tingkat manajerial, semuanya dipegang oleh kelompok santri. Tapi seluruh pihak dari pengasuh hingga pimpinan pondok pesantren sangat mendukung pelaksanaan program usaha yang ada. Ketua pengurus, yakni Hasyim Asy’ari berharap bahwa unit usaha ini sendiri diharapkan bisa menjadi tulang punggung pesantren untuk memenuhi kebutuhan pesantren yang semakin hari semakin bertambah. Dalam periode jangka panjangnya, tak hanya pesantren yang terbantu, tetapi juga perekonomian warga sekitar ikut terangkat. Syukur-syukur dapat membuka lapangan kerja dan mengurangi jumlah pengangguran angkatan muda.
Dari segi peningkatan kapasitas sumber daya, khusus di unit usaha konveksi, para santri yang bermaksud untuk ikut serta bekerja dan tergabung dalam program, diseleksi oleh managerial konveksi dengan patokan minimal sudah punya keterampilan dasar menjahit. Untuk mengembangkan kemampuan santri tadi, konveksi juga membuka magang untuk santri yang ingin belajar.
Namun Badan Ekonomi Pesantren/Bekatren sendiri tidak memaksakan Standar Operasional Prosedur yang ketat, karena tujuannya sendiri bukan untuk memaksakan bekerja, tapi lebih kepada mendidik para santri untuk berkhidmat. Meski pelaksanaannya lebih fleksibel, antusiasme santri-santri untuk berpartisipasi sebenarnya cukup besar. Hanya saja, tidak semua aspek dapat diakomodasi oleh Bekatren.
Di sisi lain keinginan warga sekitar pondok untuk aktif berpartisipasi belum semua dapat diakomodasi oleh pihak Bekatren. Alasannya adalah berkaitan dengan standar operasional yang belum dipenuhi oleh warga yang berminat. Selain itu, aktivitas di pondok belum dilihat sebagai kegiatan prioritas, yang berdampak pada hasil pekerjaan yang diselesaikan, belum dapat menyesuaikan dengan standar yang dipatok oleh Bekatren sendiri.
Tantangan lain yang dihadapi oleh pondok adalah persoalan lahan. Hingga dua usaha tadi berjalan, pondok belum memiliki lahan atau tempat untuk menjalankan usahanya secara penuh. Dengan keterbatasan ini, kegiatan dan proses usahanya (terutama dari segi produksi) pun belum dijalankan secara maksimal. Sedangkan bila ingin menjalankan seluruh program pengembangan ekonomi secara optimal, sebaiknya seluruh kegiatan dijalankan secara mandiri dan difokuskan di satu lokasi tertentu.
Meski begitu, saat ini program pengembangan ekonomi pesantren di Al Anwar 3 sudah menunjukkan progres yang cukup menjanjikan, selain mulai membuka koperasi sendiri, ke depannya akan segera dibangun mini market dan jasa usaha lain yang dapat menjadi ‘laboratorium’ bagi para santri untuk menggembleng diri sebelum kemudian menjalankan pengabdian pada masyarakat secara personal.