Sedang Membaca
Mengapa Kampanye “Stop Genocide” Menyeruak di Stadion Termegah di Jerman?
Hasna Azmi Fadhilah
Penulis Kolom

Peneliti dan pemerhati politik yang tinggal di Jatinangor Sumedang. Bisa dijumpai di akun Twitter @sidhila

Mengapa Kampanye “Stop Genocide” Menyeruak di Stadion Termegah di Jerman?

Palestina Gaza

“Nous sommes tous des enfants de Gaza!”

Seruan lantang itu menggema di jalanan kota Munich, hanya beberapa jam sebelum laga final Liga Champions dimulai. Rombongan ultras Paris Saint-Germain (PSG) berbaris mengelilingi kota sambil meneriakkan kalimat tersebut—yang berarti “Kami semua adalah anak-anak Gaza”. Dengan membentangkan bendera Palestina, mereka berulang kali menyuarakan solidaritas terhadap rakyat Gaza, bahkan sebelum memasuki stadion.

Namun, dukungan mereka tidak berhenti di luar Allianz Arena saja. Saat pertandingan berlangsung, tepat setelah PSG mencetak gol pertama melalui Achraf Hakimi, para suporter membentangkan spanduk besar yang menyerukan “Hentikan Genosida di Gaza”. Aksi ini jelas berisiko, mengingat UEFA melarang segala bentuk ekspresi politik dalam pertandingan. PSG bahkan dilaporkan terancam denda hingga 10.000 euro karena insiden tersebut. Meski begitu, para ultras tak pernah gentar, mereka bahkan kian lantang menyerukan—sebuah bentuk komitmen yang tidak goyah, bahkan di bawah tekanan regulasi UEFA. Terlebih pemilik mereka asal Qatar, Nasser bin Ghanim Al-Khelaifi, merupakan pendukung kemerdekaan Palestina. Di bawah kendali Nasser dengan “Danantara”nya, denda tersebut tentu tak sebanding dengan pundi-pundi uang yang mereka punya.

Perlu dicatat, aksi solidaritas ini juga bukanlah yang pertama. Pada November 2024 lalu, saat PSG menghadapi Atletico Madrid, kelompok ultras ”Les Parisiens” menampilkan spanduk besar bertuliskan “Free Palestine”. Pola aksi ini menunjukkan bahwa dukungan mereka bukanlah reaksi sesaat, melainkan bentuk kepedulian yang berkelanjutan terhadap isu Palestina, khususnya Gaza.

Baca juga:  Bung Hatta dan Islam

Dengan memilih kata “genosida”, para ultras PSG sengaja menyasar perhatian publik global. Final Liga Champions adalah salah satu ajang olahraga paling disorot di dunia, dan momentum ini dimanfaatkan untuk mengangkat isu Gaza ke panggung internasional. Di tengah praktik shadow banning sistematis oleh platform seperti Meta dan X terhadap konten pro-Palestina, stadion menjadi ruang alternatif yang kuat untuk menyuarakan solidaritas. Lebih dari sekadar pesan simbolis, aksi ini juga ditujukan kepada warga Munich—kota yang dikenal memiliki basis pendukung Zionis cukup besar di Jerman. Dengan begitu, seruan solidaritas mereka bukan hanya untuk dunia, tapi juga untuk masyarakat lokal yang sebagian memiliki pandangan berbeda.

Gaza.pg
Para pendukung PSG membentangkan spanduk bertuliskan ‘HENTIKAN GENOSIDA DI GAZA’ pada Final Liga Champions. Foto: The New Arab

Munich dan Solidaritas terhadap Israel

Munich memiliki sejarah panjang terkait komunitas Yahudi yang dimulai sejak abad ke-13. Catatan pertama muncul pada tahun 1229, ketika Abraham de Munichen disebut sebagai saksi dalam penjualan rumah di Ratisbon. Pada 1286, terjadi pogrom tragis di kota ini setelah seorang anak Kristen ditemukan tewas, yang menyebabkan pembantaian terhadap komunitas Yahudi. Meskipun sempat mengalami pengusiran pada 1442, komunitas Yahudi kembali tumbuh di Munich pada abad ke-19.

Menariknya, pada 1897, Kongres Zionis Pertama awalnya direncanakan berlangsung di Munich. Namun, karena penolakan dari komunitas Yahudi lokal—baik yang Ortodoks maupun Reformis—acara tersebut dipindahkan ke Basel, Swiss. Penolakan ini mencerminkan kompleksitas pandangan komunitas Yahudi Munich terhadap gerakan Zionisme pada masa itu.

Baca juga:  Keramat Gus Dur dalam Obrolan Sopir Angkot

Dukungan terhadap Israel di Munich saat ini tampak kuat dan berakar pada sejumlah faktor historis, emosional, dan politik. Salah satu penyebab utamanya adalah sejarah Holocaust, di mana Jerman, termasuk Munich, memikul tanggung jawab moral atas kekejaman masa lalu terhadap komunitas Yahudi. Sebagai bentuk pengakuan dan penebusan, negara ini secara konsisten menunjukkan dukungan terhadap Israel dalam berbagai konteks. Selain itu, tragedi Olimpiade Munich 1972 menjadi titik penting yang memperkuat solidaritas publik Jerman terhadap Israel. Dalam peristiwa tersebut, sebelas atlet Israel dibunuh oleh sejumlah warga dari Palestina, sebuah luka kolektif yang masih dikenang hingga hari ini. Hubungan ini juga diperkuat oleh kerja sama politik dan budaya, seperti kemitraan kota kembar antara Munich dan Beersheba di Israel. Setelah serangan Hamas pada Oktober 2023, balai kota Munich mengibarkan bendera Israel sebagai simbol dukungan, dan secara rutin kota ini mengadakan pawai solidaritas serta menjalin kerja sama pendidikan dan budaya dengan berbagai institusi Israel.

Menilik sejarah Munich tersebut, tak heran ultras dengan gagap gempita, tak kenal lelah menyerukan dukungan untuk kemerdekaan terhadap Palestina. Selain mendukung PSG yang kali pertama akhirnya mampu mengangkat trofi Eropa, mereka juga ingin membuktikan bahwa mereka mengambil berbeda dengan posisi resmi pemerintah Prancis yang masih menjalin kerja sama erat dengan Israel.

Baca juga:  Ilmuwan Muslim Cum Musisi (2): Al-Kindi, dari Menciptakan Instrumen hingga Merumuskan Bunyi

Aksi ini juga menyoroti ketidaksetaraan dalam penerapan sanksi oleh badan sepak bola internasional. Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, FIFA dan UEFA dengan cepat menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Namun, meskipun ada seruan dari berbagai pihak untuk memberikan sanksi serupa kepada Israel atas tindakannya di Gaza, FIFA dan UEFA belum mengambil langkah serupa.

Dengan demikian, aksi ultras PSG di Munich bukan sekadar dukungan terhadap Palestina, tetapi juga kritik terhadap standar ganda dalam dunia sepak bola dan solidaritas terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang nilainya jauh lebih berharga dari pada sekadar trofi semata.

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top