Dalam catatan perjalanan jarak jauh China, Sun Feng Hsiang Sun, pada tahun 1430 Masehi, menjelang fajar kolonialisme Barat menyingsing, disinggung soal posisi sentral Lombok dalam lalu lintas perdagangan di Nusa Tenggara, yang dikenal juga dengan nama Sunda Kecil.
Disebutkan pula salah satu jalur pelayaran dari Bante ke arah Sunda Kecil demikian: Wantan (Banten) ke arah Chia-lu-pa (Sunda Kelapa) terus ke Chiao-chiang–wan (Tanjung Indramayu) menuju Pa-na-ta-shan (Gunung Muria) dilanjutkan ke arah Shuang-yin-tsu (Awar-Awar, sebelah Barat Tuban) sampai ke Wuli-na-shan (Madura).
Perjalanan selanjutnya ke arah selatan menuju Jaratan dan Gresik, dan menyusuri ujung pulau Madura terus menuju Pen-tzu-nu-kan (Penarukan), pantai utara Jawa Timur, menuju Ma-li-ta-shan (Bali) sampai ke Lang-mu (Lombok). Para pelayar Portugis menyebut Lombok dengan Sacsack. Sacsack atau Sasak berarti sebuah pulau kecil di tengah lautan.
Pintu masuk ke Lombok atau Sasak tersebut adalah Pulabuhan Haji (Labuan Aji dalam lidah Sasak) di Lombok Timur. Keberadaan Labuan Aji di masa lalu (masih dipakai sampai hari ini) punya posisi penting dan strategis, bukan hanya sejarah Lombok, tapi juga Indonesia.
Dahulu, terdapat dua kerajaan, yakni Kerajaan Langko dan Selaparang. Keberadaan kedua kerajaan, dan kerajaan lainnya di Lombok masih membutuhkan penelitian lanjutan, tetapi sebutan Lombok, Sasak dan Selaparang seringkali dipertukarkan dengan ringan ketika menyebut pulau kecil di antara Bali dan Sumbawa tersebut.
Selaparang adalah nama lain dari Lombok Timur hari ini. Tapi Selaparang juga nama sebuah puak besar yang menurunkan para ulama Lombok.
Pada akhir tahun 1500-an Masehi, dua menak lebe bersaudara, yakni Raden Sutanegara dan Raden Lung Negara, keturunan dari kerajaan Langko cum Selaparang, mendirikan sebuah masjid tanah beratap ilalang, berusuk bambu dan bertiang kayu, di desa Loyok, Lombok Timur.
Dalam catatan pengurus masjid, tahun berdirinya tertulis adalah 1111 Hijriyah atau 1699 M. Tidak lama berdiri, masjid di desa Loyok tersebut dipindahkan ke Kutaraja, lima kilometer ke arah Barat. Atapnya tetap dari ilalang, tapi temboknya memakai bata berukuran 15×15 meter.
Pemindahan lokasi masjid dipimpin sendiri oleh Raden Sutanegara dan Raden Lung Negara, dibantu oleh Raden Mas Oda’. Tidak disebutkan alasan pemindahan masjid tersebut, dan masjid baru di Kutaraja tersebut adalah cikal-bakal dari masjid Raudhatul Muttaqin Kutaraja, Sikur, Lombok Timur.
Perjalanan Masjid Raudhatul Muttaqien sangat panjang. Mengalami pemugaran dan perluasan berkali-kali, kurang lebih enam kali. Menariknya, ada bagian bangunan masjid yang bertahan dan ada pula yang berubah, seakan menguatkan adigium dalam dunia arsitektur, bahwa sebuah bangunan lebih dipengaruhi oleh perubahan, pertukaran, persilangan, dan perjumpaan dalam sejarah daripada dipengaruhi oleh hal yang adi manusia.
Tetapi seringkali banyak orang lupa bahwa terdapat bagian-bagian yang tidak sepenuhnya kalis oleh perubahan dalam arsitektur, tetapi bukan semata karena bagian yang tidak bisa dipertukarkan itu sakral, mistik dan tak terkatakan, justru lantaran bagian-bagian tersebut sangat manusiawi, berisfat kedaerahan, kerakyatan, lebih sesuai kebutuhan, lebih akrab, lebih dekat dengan penalaran masyarakat yang menopangnya, dan sesuai dengan cuaca sekaligus lingkungannya.
Jika meminjam perbendaharaan dunia arsitektur: regionalitas, vernakularitas, dan mistikal adalah adonan penting dalam memahami makna estetis arsitektur dari masjid-masjid di Nusantara.
Bagian bangunan masjid Raudhatul Muttaqien yang paling sering dipugar adalah bagian atap dan dindingnya. Pada tahun 1700-an, atap ilalang diganti dengan sirap bambu. Selanjutnya pada tahun 1890, atap kembali diganti dengan Genteng Palembang, dan dinding tanahnya diganti dengan batu-bata merah.
Pada tahun 1966, seiring dengan perkembangan demografi, dibangun tambahan bangunan seluas 25x35x10 meter, yang dilanjutkan dengan perluasan pada tahu 1966 seluas 47x37x8 meter.
Pemugaran dan perluasan terus berlangsung sampai tahun 2010, selain mengganti genteng masjid dengan genteng Pejaten, Bali, juga membangun tiga menara sehingga tampilan masjid sepintas tampak seperti masjid umum lainnya: berkubah, bermenara, bertembok, dan berkeramik sehingga lebih kental warna Timur-Tengah, dan tidak menyisakan aspek lokalnnya.
Sedangkan bagian yang dipertahankan ruang inti masjid yang disangga oleh empat tiang, dan 20 buah tiang setinggi dua meteran yang berfungsi menyangga atap pertama, dan menempel tembok masjid. Empat tiang utamanya berdiameter 30×30 centimter. Atap tumpangnya khas masjid lama, berjumlah tiga, merujuk pada tiga pilar, iman, Islam, dan ihsan.
Bentuk bagian dalam masjid Raudhatul Muttaqien tidak jauh berbeda dengan masjid Kotagede atau masjid Agung Demak. Luas ruangan inti 15×15 meter. Di sisi paling baratnya ada dua ruang yang berfungsi sebagai mihrab pengimaman dan tempat mimbar khatib kaligrafi 99 nama Allah di bagian atas temboknya. Kaligrafi ini ditulis pada 150 tahun lalu oleh imam besar masjid pada awal abad 20, Syeikh Abdurrahman.
Di Lombok, banyak masjid lama telah dipugar total menjadi masjid yang berselara Timur-Tengah, seperti Masjid Ar-Raisyiah, Sekarbela, Mataram; dan Masjid Ash-Shobirien, Karang Genteng, Pagutan, Mataram.
Bangunan inti atau ruang dalam masjid Raudhatul Muttaqien, tiga atap tumpang tiga, dan areal pemakaman para pendiri, imam, dan khotibnya di depan mihrab adalah bagian yang tetap masih menyimpan aura. Masjid Raudhatul Muttaqien permisalan tentang tidak mudahnya bertahan di tengah tren perubahan yang entah.