Jaringan keulamaan di Lombok
Pulau Lombok atau dulu disebut sebagai bagian dari Sunda Kecil memiliki senerai panjang jaringan keulamaan sebelum lahirnya organisasi (jamiaah) keislaman seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Satu buktinya, hampir seluruh tuan guru di Lombok hari ini mengaitkan kekerabatannya dengan trah kebangsawanan seperti Bayan, Selaparang dan Pejanggik.
Seperti dicatat Nancy Florida dalam Writing the Past,Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java (Duke University Press, 1995), Belanda pada akhir abad-18 Masehi memisahkan pesantren-pesantren, para ulama, dari berbagai hubungannya dengan kalangan Keraton Jawa. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan efektifitas kolonialnyanya.
Artinya, ketika para tuan guru dan kiai menghubungkan diri dengan trah bangasawan, hal itu menunjukkan bahwa di Lombok ada juga tradisi keulamaan yang sejalan dengan tradisi keulamaan di Jawa dan tempat lainnya. Para ulama adalah keluarga bangsawan dan pesantren adalah tempat pendidikan bagi para bangsawan.
Terkait tradisi keulamaan di pulau Lombok, perlu juga saya jelaskan sedikit di sini, bahwa nama Bayan di kaki Gunung Rinjani adalah nama trah atau pam keluarga bangaswan yang terhitung tua dari sejak awal zaman Majapahit, dan diperkirakan sudah memeluk Islam. Muasal trah Bayan ini dari desa Tingkir, di kabupaten Boyolali, Jawa Tengah hari ini. Keluarga Bayan ini sangat dihormati pada zaman Majapahit sehingga salah satu tokohnya,yakni Raden Sengara atau Pangeran Andayaningrat menikah dengan Ratu Pembayun binti Ratu Murdaningrum (istri dari Brawijaya V dan sepupun Sunan Ampel Denta).
Bayan adalah keluarga bangsawan cum ulama. Keluarga Bayan berjejaring secara kekerabatan dan keulamaan dengan Arya Wiraraja (Lumajang),Syeikh Siti Jenar, Sunan Kali Jaga, dan Sunan Ampel Denta sehingga ketika mereka menyebar sampai ke Lombok, trah Bayan lebih dituakan oleh dua trah bangsawan-ulama lainnya, yakni Selaparang dan Pejanggik.