Sedang Membaca
Jelang Munas Alim Ulama (2): Ulama Aswaja di Lombok Abad ke-18
Hasan Basri Marwah
Penulis Kolom

Pengurus Lesbumi PBNU, penulis, Pengajar di Pesantren Kaliopak Jogjakarta, serta pegiat dan pemerhati budaya. S2 Cultural Studies di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Berasal dari Mataram Nusa Tenggara Barat dan kini menetap di Yogyakarta

Jelang Munas Alim Ulama (2): Ulama Aswaja di Lombok Abad ke-18

Jelang Munas Alim Ulama (2): Ulama Aswaja di Lombok Abad ke-18 2

Nama-nama ulama  aswaja

Berikut ini adalah beberapa nama ulama Aswaja (ahlus sunnah wal-jamaah) abad ke-18 di pulau Lombok:

Pertama, dari berbagai hagiografi dan catatan terkait dengan sosok Syeikh Muhyi Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, bahwa beliau lahir pada kisaran tahun 1650 Masehi di Mataram, Lombok daris seorang ayah bernama Lebe Werto-Kusuma yang keturunan Ratu Galuh, Jawa Barat. Sebutan “lebe” adalah sebutan umum di Lombok kepada seorang ulama sebelum ada istilah tuan guru seperti hari ini. Misalnya, masyarakat Sasak mengenal Lebe Walandana, seorang dipercaya sebagai sosok wali keramat yang meninggalkan jejak di sisi barat pantai Lombok Barat. Bahkan sampai tahun 1980-an, beberapa tuan guru masih disebut sebagai “menak-lebe” atau priyayi-ageng dalam bahasa Jawanya.

Makam Syeikh Muhyi (foto: tripadvisor.com)

Syeikh Muhyi yang dikenal sebagai penyebar ajaran martabat tujuh di Jawa menghabiskan waktu kecil dan remaja di Mataram, sebelum akhirnya ke Gresik, Jawa Timur, dan kemudian melanjutkan perjalanan keilmuwannya ke Aceh. Syeikh Muhyi diinisiasi dalam sejumlah tarekat oleh gurunya, Syaikh Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Singkili al-Fansuri (lahir 1615 Masehi),  seorang ulama sufi kedua setelah generasi Syeikh Hamzah Fansuri di Sumatera, dan dikenal sebagai ulama yang sangat alim dan keramat. Setelah dari Aceh, Syeikh Muhyi ke Cirebon dan kemudian menetap di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Karena tingginya pencapaian keulamaannya, Syeikh Muhyi dikenal sebagai Wali Kesepuluh di Jawa.

Baca juga:  KH Afifuddin Dimyati: Fakta dan Tantangan Aswaja di Masa Pandemi

Kedua, dalam buku Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah karangan H.M Nursiah, yang dicetak oleh percetakan Bintang Timor, Pancor, Lombok Timur,tahun 1995 disebutakan sosok bernama Raden Kurani dari trah Selaparang yang pernah belajar kepada Syeikh Yusuf Al-Makassari di Banten. Maklum pada akhir 1600-an ulama keturunan bangsawan Makassar ini berkalaborasi dengan dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1650-1695 M) dari kesultanan Banten melawaan VOC Belanda. Nama  “Kurani” adalah pemberian Syeikh Yusuf, nama yang diambil dari nama guru Syeikh Yusuf di Haramain, Yakni Syeikh Ibrahim Al-Kurani, seorang ulama Kurdi yang sangat berpengaruh di Tanah Suci pada akhir abad-17 Masehi.

Raden Kurani kembali ke tlatah Lombok saat memuncaknya perlawan sultan Banten terhadap VOC Belanda. Disebutkan, bahwa tokoh ini termasuk generasi awal yang membawa ajaran martabat tujuh dengan penjelasan yang merujuk kepada kitab Tuhfatul Mursalah karya Syeikh Burhanapuri, yang nantinya diberikan penjelasan panjang (syarah) oleh Syeikh Ibrahim al-Kurani dalam kitab  Ithafud Dzaaki, ke pulau Lombok. Bukan ajaran martabat tujuh versi loka ala Sunan Kali Jaga, walaupun keduanya memiliki banyak persamaan.

Dalam catatan lain, Raden Kurani ini merupakan salah satu dari empat putera Raden Kautan Mundur dari Selaparang, Lombok Timur. Urutan adik-kakaknya sebagai berikut: Wirabangse, Putra Sari, Kurani, dan Nanglung Baya. Dalam catatan itu disebutkan pula, bahwa kakek Raden Kurani bernama Kyai Aji  memiliki bersambung sanad keilmuwannya dengan Syeikh Syamsuddin Sumatrani, seorang pelanjut ajaran Wujudiyah Syeikh Hamzah Fansuri di Aceh. Syeikh Syamsudin Sumatrani dikenal memiliki banyak karya, seperti Jauharul Haqaiq, Risalah Tubayyin Mulahdzhaatil Muwahiddin fi Dzikrillah, Syarah Rubai Hamzah Fansuri,dan lainnya.

Baca juga:  Naskah Lengkap Pidato M. Quraish Shihab di Depan Pemimpin Agama-Agama

Ketiga,berbeda dengan dua sosok sebelumnya, di desa Sekarbela, karang Pule, Mataram, terdapat sosok ulama yang sangat alim dan keramat bernama Tuan Guru Mustafa Kamal. Diperkirakan lahir pada pertengahan 1700-an, Tuan Guru Mustafa Kamal adalah tokoh yang berperan penting dalam membentuk desa Sekarbela sebagai salah satu desa dengan tradisi kepesantrenan yang sangat kuat, dan menurunkan ulama Aswaja sampai hari ini. Sekarbela yang dikenal sebagai salah pusat kerajinan dan perdagangan perhiasan memiliki tradisi ilmu alat (nahwu-shorof dan balaghah) dan fikih yang sangat disegani di pulau Lombok sampai detik ini.

Tiga ulama ini yang bisa disebutkan sebagai generasi ulama Aswaja menjelang akhir abad ke-19 di pulau Lombok. Selain ketiganya terdapat beberapa ulama lainnya, tetapi tiga sosok ini dipilih karena lebih untuk membuktikan adanya jaringan keulamaan Nusantara sebelum akhir abad-19 Masehi. Wallahul ‘alam bishowab.

Katalog Buku Alif.ID
Halaman: 1 2 3
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top