“Alama semesta dan isinya adalah kematian abadi. Bergerak hanya karena digerakkan, bukan bergerak sendiri” (Danarto)
Berita kepergian Pak Danarto saya baca di tengah memoderatori diskusi rutinan malam selasa di Pesantren Kaliopak, Yogyakarta. Temanya soal tafsir Ki Ageng Suryomentaram terhadap ajaran sangkan paraning dumadi-nya manusia Jawa.
Saya mengabarkan kepergian pak Danarto di tengah diskusi. Setelah berkirim surah al-Fatehah, kami melanjutkan materi diskusi.
Ada yang terasa dekat antara tema diskusi dengan kepergian Pak Danarto. Tiap kali mendengar istilah sangkan paraning dumadi di sebut, teringat pula tentang ibarah dalam kitab ar-Risalatul Wujudiyah fi Ma’na qoulihi Shollahu ‘Alaihi wa Sallama “Man Arafa Rabbahu Arafa Nafasahu” karya Syaikhul Akbar Muhyiddin Muhammad bin Ali bin Muhammad ibnu Arabi al-Haatimi atau terkenal dengan nama Syaikhul Akbar (Guru Agung) Ibnu ‘Arabi.
Kitab ini tidak panjang, tidak berjilid seperti karya Syaikhul Akbar lainnya. Kitab ini hanya sekitar sepuluh halaman. Tetapi kerumitannya tidak terbahasakan. Tapi Syaikhul Akbar telah memberikan teladan tentang kemungkinan membahasakan pengalaman suluk sebagai sebuah diskursus.
Dalam kitab ini disebutkan bahwa “makrifat” itu adalah terjadi ketika manusia terbebas dari selain Allah; ketika tidak ada lagi jarak maupun perantara; ketika manusia berubah menjadi kekuatan-Nya menyaksikan-Nya; dan masih banyak lagi. Makrifah tidak membutuhkan peniadaan diri (fana-un nafsi) karena andaian soal peniadaan diri masih mengandaikan tentang itsbaatun nafsi (peneguhan egoisme manusia).
Ada dua ibarah paling menarik dari Kitab ar-Risalatul Wujudiyah. Pertama, wa lam yuqol man afna nasfahu faqod arafa rabbahu fa innahu Shollahu ‘Alaihi wa Sallama ‘alima wa ra’aa annahu laa syai’a siwaahu (tidak dikatakan, bahwa barang siapa yang meniadakan diri pasti akan mengetahui Tuhannya tetapi Kanjeng Nabi SAW mengetahui [wruh] dan melihat tiada sesuatu selain Allah).
“Makrifat” adalah ketika semua “kebaikan” dan “keluhuran” yang dikerjakan manusia merupakan gerakan yang digerakkan oleh “Sang Dalang” seperti dalam kutipan dari Pak Danarto di atas.
Ketika manusia mengerjakan keburukan, kejahatan, dan dosa ia mengembalikannya pada kelemahannya. Ketika manusia masih mempercayai bahwa barik dan sawab hasil keringat, ikhtiar dan kapasitas dirinya, maka dia masih tercegat oleh “syirik”, perserikatan, dan jauh dari kebersatuan “manunggal” dengan Allah.
Berupaya menuliskan proses atau pengalaman akan makrifat dengan menjalani hidup lurus dan teguh adalah tidak mudah. Pembicaraan tentang makrifat saja sudah menggelikan bagi banyak orang. Semakin dibicarakan, maka makrifah semakin lepas dan tidak terjangkar dalam diskursus.
Tidak banyak orang yang mempercayai, bahwa ikhtiar membahasakan pengalaman spiritual adalah serangkaian daya upaya mendawamkan laku atau suluk dalam perbedaharaan tasawuf orang Jawa.
Dalam konteks suluk Jawa, seperti dilakukan oleh Ki Suryometaraman, upaya mewedar ‘makrifat’ adalah rangkaian dari suluk sendiri. Bentuk wedarannya bisa diskursus (kalau meminjam istilah posmodernisme) atau estetis.
Saya melihat karya sastra dan rupa Pak Danarto adalah bagian dari suluk. Kalau kita membaca cerpen “Godlob”, “Rintrik”, sampai “Pohon Rambutan”. Atau dengan seksama melihat karya rupanya seperti “Penyair dan Puisinya” secara berbarengan dengan ceritanya menjalankan haji dalam buku “Orang Jawa Naik Haji”, maka kita akan melihat pusaran tradisi suluk orang Jawa.
Upaya merupakan (memvisualkan) suara azan atau hal lain, menjadikan sastra sebagai visualisasi dari pengalaman tentang barik (berkah) dan sawab yang memendar dari “makrifat” dalam suluk Jawa terggambar dalam cerpen “Pohon Rambutan”.
Pohon yang memadu kekasih dengan seorang pemuda sampai ia tua, dan pohon memberi manfaat tiada henti kepada banyak orang. Dan barik atau sawab itu berhenti ketika pohon itu dibeli oleh kolongmerat Cina dengan harga fantastis, satu milyar (dalam bayangan seorang salik Jawa seperti Pak Danarto). Ini bisa juga satir bagi dunia rupa Indonesia yang keruh oleh transaksi ekonomi.
Dalam ajaran sangkan paraning dumadi manusia diandaikan sebagai orang yang terus melakukan perjalanan tanpa henti. Istilah suluk sendiri berasal dari kata salaka dalam Bahasa Arab yang berarti “menempuh” atau bisa “berjalan”. Syikhul Akbar Ibn Arabi membenarkan bahwa ilmu tentang laku itu dahulunya disebut “ilmu kaki “ (ilmul arjali) karena lebih banyak “kebenaran” itu diperoleh dalam perjalanan, dalam laku daripada proses deduksi dan induksi rasionalistik seperti yang diakrabi manusia modern.
Suluk dalam khazanah Jawa seringkali dipertukaran dengan istilah kebatinan Jawa, mistisme Jawa, pantaisme Jawa dan sebagainya yang jauh sekali maknanya satu dengan lainnya.
Bagi orang Jawa, suluk adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan. Suluk tidak tersangkal. Ajaran sangkan paraning dumadi mengandaikan keharusan suluk dalam hidup. Rela ataupun terpaksa manusia terus berjalan menuju tujuan akhirnya, kembali kepada Gustinya. Dalam suluk diandaikan manusia rela dan menyongsong keniscayaan dirinya sebagai seorang salik. Di sinilah relevan ibarah kedua dari kitab Ar-Risalatul Wujudiyah, bahwa suluk itu adalah ibtida’uhaa as-suluk wan tihaauhaa al-awwal as-suluk (permulaan adalah suluk dan akhirnya adalah suluk).
Ketika masih nge-kos di bilangan Ciputat,antara 2003 sampai 2005, saya seringkali satu angkot dengan Pak Danarto. Saya menyalami beliau tanpa mengenalkan diri samasekali. Mungkin aneh bagi penumpang lain, dan mungkin Pak Danarto sendiri. Saya selalu berusaha menghormati sosok yang teguh dan istiqomah sepertinya.
Belakangan saya sering mendapatkan kabar tentang Pak Danarto dari cerita karib saya, Mas Nasirun, yang berulangkali menziarahi Pak Danarto di bilangan Bintaro. Bagi Nasirun sosok Pak Danarto adalah “juara” karena keteguhan tadi. Dan seringkali keteguhan itu menampakkan ‘koyak dan lantah’-nya penampilan zahir seseorang, tetapi jagad batinnya jembar dan mampu menampung segala sesuatu.
Pak Danarto bukan seniman dalam paham umum, tetapi perwujudan dari “ilmu kanti laku”-nya orang Jawa. seluruh perjalanan hidupnya bermula dan berakhir dalam suluk. Dan semua dijalaninya dengan ketabahan dan keteguhan.
Dari awal karyanya, baik sastra dan rupa, Pak Danarto telah memilih estetika jalan pulangnya. Sepertinya keniscayaan suluk ini pula yang menjadi sumbu dari tenaga karya rupa dan sastranya.
Kita kehilangan seorang tokoh yang karam dalam suluk. semoga kita bagian dari mereka yang menjadi saksi dari keteguhan dan keistikamahan hidup Pak Danarto. Amien…