“Dia datang dengan membawa segepok map berisi makalah dan foto kopi kliping sebagai bahan ceramahnya,” tulis Abdul Mun’im DZ mendeskripsikan awal karier Gus Dur, sapaan bagi KH Abdurrahman Wahid.
Dalam tulisan berjudul “Gus Dur Mengabdi”, Mun’im menceritakan saat itu Gus Dur menempuh perjalanan dari Jakarta ke Cilacap, Jawa Tengah, dengan naik bus. Dari terminal Cilacap, ia meneruskan perjalanan dengan angkot. Berhenti di pinggir jalan, tak lama kemudian Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu menaiki becak menuju sebuah pesantren.
Kisah Mas Mun’im, begitu saya memanggil penggiat NU ini, banyak dikonfirmasi kiai-kiai atau teman seumur Gus Dur. Kiai Abbas Mun’im, misalnya, pernah memergoki Gus Dur di terminal Kudus, Jawa Tengah. Banyak saksi mata memang, Gus Dur, baik sendiri maupun bersama kawannya, masih suka terlihat di terminal bus hingga awal tahun 1990-an, tepatnya saat penglihatannya masih sehat.
Kesediaan Gus Dur untuk menempuh perjalanan jauh hanya dengan kendaraan umum, sesungguhnya, merupakan “tradisi” para santri yang memiliki cita-cita besar untuk melakukan perubahan di tengah umat.
Mereka hadir di setiap zaman dengan kisah yang berbeda. Mereka ibarat para pendakwah yang tak kenal lelah berjalan dari satu kota ke kota lain, menawarkan pemikiran baru untuk membawa umat ke arah lebih baik. Tentu saja pendekatan mereka adalah persuasi, bukan agitasi yang menakutkan. Mereka bekerja keras, menjaga asa dan optimisme umat untuk mengubah pola pikir, menghadapi setiap tantangan dunia terbaru.
Kisah lain: Mbah Liem Klaten suka ketuk-ketuk pintu rumah kiai pada pukul tiga jelang subuh. Kiai Muchit Muzadi sering subuhan di musala kecil Stasiun Senen, Jakarta. Atau Kiai Fuad Hasyim Buntet cukup sering terlihat tergeletak begitu saja di masjid-masjid pinggir jalan Pantura. Gus Miek Ploso suka jalan di tempat-tempat yang tidak terjangkau di alam pikir kaum santri kebanyakan.
Itulah mereka: santri-santri yang sering kita sebut sebagai Santri Kelana.
Mereka disebut pula “santri keliling”. Gus Dur menyebut dengan istilah “wandering santris”. Gus Mus menyebut mereka adalah “kiai onta”, kiai-kiai yang suka jalan dalam kondisi apa pun, tahan lapar, tahan badai, tahan panas, dan tahan jauh. Mereka, kata Gus Mus, bukan “kiai Kakbah”, yang menunggui rumah atau pesantren untuk disowani.
Dalam Ensiklopedia Nahdlatul Ulama (2014), jenis Santri Kelana inilah yang menjadi mediator melawan penjajah. Santri keliling atau santri kelana, seperti ditulis Ensiklopedia NU, menyebarkan informasi dari satu tempat ke tempat lain, dari satu kiai ke kiai lain, dari satu pesantren ke pesantren lain. Santri kelana bahkan memimpin perlawanan fisik menghadapi penjajah. Buku tersebut menyebut contoh Kiai Abbas dari Pesantren Buntet Cirebon, Jawa Barat.
Dalam Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1974) yang ditulis Kiai Saifuddin Zuhri (1919-1986), menteri agama era Sukarno, ayahanda dari menteri agama sekarang Lukman Hakim Saifuddin, santri kelana tidak lain ayahanda Gus Dur sendiri, yaitu Kiai Abdul Wahid Hasyim. Kiai Wahid di zaman perjuangan kemerdekaan tidak pernah berhenti berjalan menemui simpul-simpul perjuangan. Kota-kota di seantero Jawa yang berjauhan, tidak ubahnya tetangga desa yang kapan saja bisa didatangi oleh Kiai Wahid.
Kiai Wahid menemui kiai-kiai di pelosok desa hingga tokoh-tokoh nasional seperi Sukarno, Hatta, Yamin, Tjokroaminoto, Soedirman, Ki Hadjar Dewantara, Tan Malaka, Bagus Hadikoesoemo, dan sebagainya. Tokoh-tokoh itu sering bersilang pendapat dalam menghadapi situasi zaman kolonial. Kiai Wahid sering tampil untuk memecah persoalan dengan menemui satu per satu tokoh di atas.
Majalah Tempo edisi Oktober 2013 menulis Kiai Wahid sebagai santri kelana dalam konteks pengembaraan mencari ilmu. “Wahid lulus dari Madrasah Tebuireng pada usia 12 tahun. Di sela-sela pelajaran agama, dia menghafal syair-syair berbahasa Arab. Setahun kemudian, dia meminta izin kepada ayahnya untuk mengembara ke sejumlah pesantren,” tulis Tempo dalam artikel “Santri Kelana Ahli Tarekat.” Dalam konteks ini, santri kelana bermakna berpindah-pindah tempat atau pesantren untuk mencari ilmu. Wahid remaja tercatat pernah nyantri di Bangkalan, Sidoarjo, dan Lirboyo. Sebelum akhirnya meneruskan pendidikannya di Mekkah.
Saat masih menjadi santrilah Wahid remaja menempa diri. Pengalaman pergi jauh dari pesantren ke pesantren, tukar pikiran dengan para kiai di banyak tempat, di kemudian hari menjadi bekal Wahid saat sudah dewasa, yakni saat memimpin NU maupun berjuang demi kemerdekaan Indonesia.
Dalam konteks mencari ilmu itu pula Ahmad Baso menyebut para santri dari Madura dengan santri kelana. Santri-santri Madura makin mobile dan bersemangat mencari ilmu setelah kereta api dibuka di Jawa pada abad 19. Bersumber dari laporan pemerintah kolonial Belanda, Baso mengatakan orang Madura, terutama kaum santri, sangat memanfaatkan kereta api. Saya kutip tulisan Ahmad Baso yang bersumber dari Sejarah Perkerataapian Indonesia:
“Jadi, sejak dibukanya jalur kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa dan Madura pada tahun 1880-an, orang-orang Madura-lah yang paling banyak memanfaatkan teknologi kereta api. Dan kebanyakan mereka adalah kaum santri. Persisnya, sebagai santri kelana. Ini adalah perkembangan pasca masuknya kereta api. Sebelumnya orang-orang Madura memanfaatkan alat-alat transportasi lain seperti kuda untuk jalan darat serta perahu dan kapal untuk jalur laut.”
Ben Anderson, dalam karya klasiknya Revolusi Pemoeda (1988), juga mengagumi mobilitas sosial santri dari pesantren-pesantren di perdesaan Jawa dalam kemelut perjuangan.
Menguatkan Ikatan Sosial
Pindah-pindah ngaji, dari satu kiai ke kiai lain, dari satu pesantren ke pesantren lain, antar kota, antar provinsi, menjadi kelaziman dalam tradisi masyarakat pesantren. Tradisi inilah yang menjadikan antar pesantren, antar kiai, saling terhubung. Dan pesantren sendiri, sebagai tempat santri dari pelosok Nusantara, adalah titik temu. Penziarahan dan petualangan mencari ilmu dan hakikat kebenaran itu dalam peradaban Islam, yang kita sebut sebagai transmisi keilmuan para ulama, merupakan ruh dakwah Islam.
Dalam konteks kekinian tradisi santri kelana terlihat pada sejumlah pengurus muda PBNU yang tinggal jauh dari Jakarta. Mereka tinggal di indekos sederhana di seputaran Kramat Raya, Jakarta Pusat.
M. Imam Aziz, misalnya, yang tinggal di Yogyakarta, tak pernah absen mengikuti jadwal rapat PBNU yang sudah menjadi agendanya. Jauh sebelum berkarier di Jakarta, baik sebagai Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (LKPSM) PWNU Yogyakarta ataupun sebagai Direktur SYARIKAT, ia berkeliling puluhan kota di Jawa untuk menawarkan konsep rekonsiliasi kultural.
Imam sowan kepada kiai-kiai, menggelar diskusi, membuat ruang dialog informal ataupun formal terkait posisi NU dalam tragedi 1965. Kabar-kabar palsu atau hoax seputar ’65 diurai satu per satu. Ia akrab dengan semua jenis moda transportasi, jauh sebelum memiliki kendaraan pribadi. Dan saat sudah punya mobil pribadi pun, ia kerap memakai bus atau kereta api. “Mas Imam itu kayak bus AKAP, antar kota dan antar provinsi,” begitu seloroh sahabat-sahabatnya.
Tradisi berkelana ini memunculkan pula banyak bentuk solidaritas yang menguatkan ikatan sosial, dari hubungan keluarga, komunitas atau masyarakat, organisasi NU, hingga yang berdimensi politik. Santri Kelana pergi bukan semata karena surat tugas organisasi, melainkan panggilan kultural dan panggilan jiwa.
Mereka obah, mobile, bergerak, berjalan, karena kesadaran harus mengubah situasi, mendudukkan persoalan dengan jernih, mengurai ketegangan-ketegangan antar kiai, menyaring mana fakta dan mana fitnah, mendiskusikan peristiwa dan membuang hoaks. Dan tradisi ini masih hidup terjaga dengan bentuk yang terus menyesuaikan dengan zamannya.
Namun demikian, Santri Kelana juga boleh punya urusan sepele: tukar-menukar humor, numpang tidur dan makan, atau sekadar pinjam baju yang (biasanya) tidak akan kembali.
Frasa “santri kelana” adalah khazanah kebudayaan Islam pesantren, Nahdlatul Ulama. Ia sederhana, tapi kaya makna. (Artikel ini dimuat pertama kali di Tirto)