Sedang Membaca
Kisah Abdul Kahar Mudzakkir dari Sudut Pandang NU
Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Kisah Abdul Kahar Mudzakkir dari Sudut Pandang NU

Tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan dan pendidikan Islam ini hampir dilupakan orang. Namanya tidak tercatat dalam Ensiklopedi Islam Indonesia yang disusun IAIN Syarif Hidyatullah Jakarta yang diketuai Harun Nasution (Cet. Ketiga, 2002, Djambatan).

Dalam ensiklopedia tersebut, namanya hanya dicatat dalam entri “Institut Agama Islam Negeri” (IAIN) sebagai pemimpin Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Itu pun, ditulis secara keliru: Abdul Kahar Muzakar (nama ini menjadi entri Ensiklopedi Islam Indonesia), tokoh Sulawesi Selatan yang terlibat Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo. Untung saja, tahun ini pemerintah mengabadikan namanya dengan tinta emas sebagai “Pahlawan Nasional” melalui Keputusan Presiden Nomor 120/TK Tahun 2019 tertanggal 7 November 2019.

Sesungguhnya, anugerah ini agak terlambat, karena tujuh anggota “Panitia Sembilan” (tim kecil dari anggota BPUPKI) sudah diangkat menjadi “pahlwan”. Namun, masih ada tokoh dari anggota Panitia Sembilan (dibentuk tanggal 1 Juni 1945) yang belum ditetapkan menjadi “pahlawan”, yakni Abikoesno Tjokrosoejoso. Abdul Kahar Mudzakkir ditetapkan berbarengan dengan anggota Panitia Sembilan lainnya dari Maluku, Alexander Andries Maramis.

Saya lupa kapan pertama kali mendengar nama Abdul Kahar Mudzakkir tokoh Muhammadiyah ini. Namanya ditulis juga dengan ‘Muzakkir’. Saya mengikuti yang sudah ditulis Mitsuo Nakamura.

Dulu, saya mengira beliau adalah tokoh NU karena saat mesantren di Krapyak, secara lamat-lamat saya mendengar bahwa tokoh ini masih kerabat dari KH Muhammad Munawwir. Waktu itu saya tidak pernah bertanya bagaimana riwayat silsilah Abdul Kahar Mudzakkir bertalian keluarga dengan pendiri Pesantren Krapyak tersebut.

Riwayat kekerabatan antara Kiai Munawwir dan Kiai Abdul Kahar ini baru dengana jelas saya baca di status Facebook Gus Hilmy Muhammad, cicit Kiai Munawwir. Dia menulis:

“Alhamdulillah, Allahuyarham Prof. KH. Abdul Kahar bin KH. Mudzakkir bin KH. Abdullah Rosyad bin KH. Kasan Besari, keponakan Allahuyarham Simbah KH. Muhammad Munawwir bin KH. Abdullah Rosyad bin KH. Kasan Besari mendapat gelar Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya yang luar biasa kepada bangsa dan negara. KH. Abdul Kahar Mudzakkir adalah tokoh persyarikatan Muhammadiyah, pendiri Universitas Islam Indonesia (UII) dan anggota Dokuritu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945.”

Menjadi jelas, kekerabatannya sangat dekat, paman-ponakan, atau ayahanda dari Abdul Kahar, yaitu Kiai Mudzakkir adalah saudara kandung Kiai Muhammad Munawwir (1870-1941). Kedua ulama ini sama-sama putra dari pasangan Kiai Abdullah Rosyad-Nyai Khodijah. Abdul Kahar bin Mudzakkir lahir di Gunung Kidul Yogyakarta, 16 April 1907.

Baca juga:  Teladan Dari Imam Syafi’i

Silsilah yang disampaikan oleh Gus Hilmy di atas tidak tercatat dalam buku Bulan Sabit Terbit di Atas Pohon Beringin karya Mitsuo Nakamura. Nakamura hanya menulis bahwa Kiai Mudzakkir menikahi putri Haji Mukmin. Peneliti dari kelahiran Jepang tahun 1933 ini menulis Kiai Muhammad Munawwir dalam bukunya dalam konteks memiliki santri bernama Amir, yang kelak mendirikan cabang Muhammadiyah Kotagede (bersama Haji Hasyhudi), dan bergelar ‘kiai’, Kiai Amir. Amir, menjadi santrinya Kiai Munawwir, juga nyantri di Tebeireng selama 14 bulan, berguru langsung pada Hadrotusy Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Kiai Hasyim Asyari jugalah yang merekomendasi Amir muda melanjutkan pendidikan di Mekkah dari berguru kepada Syekh Mahfudz dari Tremas, Pacitan (Mitsuo Nakamura).

Selain karena nasab, dulu saya mengira Profesor yang Kiai ini adalah tokoh NU karena dalam banyak peristiwa, namanya sering berjejer dengan Kiai Abdul Wahid Hasyim. Ayahanda Gus Dur ini lahir di Jombang, Jawa Timur, 1 Juni 1914.

Selain sesama anggota BPUPKI dan kemudian keduanya menjadi Panitia Sembilan, Abdul Kahar Mudzakkir dan Abdul Wahid Hasyim sama-sama merintis berdirinya Sekolah Tinggi Islam.

Perguruan tinggi yang kemudian berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) ini adalah hasil dari pertemuan Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) tahun 1945 di Jakarta. Pertemuan ini dihadiri antara lain oleh Mohammad Hatta (Wakil Presiden Pertama Indonesia), Mohammad Natsir, Mr. Mohamad Roem, dan KH. Wahid Hasjim. Saya merujuk catatan ini dari buku Berangkat dari Pesantren karya Saifuddin Zuhri dan laman Wikipedia.

Sayang sekali, nama-nama di atas tidak ada dalam sejarah yang ditulis di laman UII. Web resmi yang beralamat  uii.ac.id itu hanya menyampaikan kronologi berdirinya UII, tanpa nama-nama tokoh yang terlibat. Dan Abdul Kahar Mudzakkir juga hanya tercatat sebagai rektor pertama saja, tanpa keterangan salah satu tokoh yang mendirikan perguruan tinggi Islam pertama ini. (Catatan lain: UII tidak ikut serta didokumentasikan dalam “album” bernama 30 Tahun Indonesia Merdeka [Cet. Keenam 1985] sebagaimana kampus lainnya seperti UGM, Universitas Airlangga. Mungkin karena dianggap swasta).

Baca juga:  Salim Nabhan, Kitab, dan Kertas Eropa

Kedekatan Abdul Wahid Hasyim dengan Abdul Kahar Mudzakkir direkam dengan baik oleh Saifuddin Zuhri dalam buku Berangkat dari Pesantren. Jika datang ke Jogja, Wahid Hasyim lebih banyak menginap satu kamar bersama seniornya itu (Wahid Hasyim lebih muda tujuh tahun).

“Sebagai penasehat Panglima Besar (Jend. Soedirman, pen.), sebenarnya ia berhak untuk minta disediakan rumah atau tinggal di hotel, tetapi ia merasa lebih sreg menempati kamar itu bersama K.H. Abdul Kahar Muzakkir. Aku turut juga makmum nebeng di sana atas bersetujuan mereka…” tulis Saifuddin Zuhri dalam bukunya. Kamar yang mereka tempati terdapat di Jalan Ngabean Jogjakarta itu sebuah kantor perusahaan batik milik Haji Bilal.

Saifuddin Zuhri dalam bukunya menceritakan peristiwa yang tidak nyaman dengan Abdul Kahar Mudzakkir. Suatu hari, Saifuddin muda datang di kamar yang biasa ditempatinya itu. Sementara si empunya kamar tidak ada, dan Abdul Wahid Hasyim belum datang. Oleh penjaga rumah/kamar, Saifuddin diminta masuk saja ke kamar tersebut, karena sudah biasa.

Mulanya Saifuddin Zuhri menolak. Dia ragu-ragu memasuki kamar tersebut. Dan dia menolak, sungkan, ewuh. Tapi penjaga kamar mempersilakan agak memaksa. Penjaga kamar mengatakan memang sudah dipersiapkan dan tak lama lagi si empunya kamar, Abdul Kahar, akan datang.

Akhirnya Saifuddin masuk ke kamar seniornya itu (Saifuddin lebihmuda 12 tahun dari Abdul Kahhar. Sementara dengan Abdul Wahid Hasyim, Abdul Kahar lebih tua, terpaut tujuh tahun). Dan benar, ta klapa setelah Saifuddin rebahan di kamar, Abdul Kahar datang.

“Siapa yang membuka kamar?” Abdul Kahar dengan nada marah. Saifuddin yang di kamar tersentak dan segera bangun.

“Wajah K.H. Abdul Kahar Muzakkir kala menjawab salamku tetap mendung dalam menahan kemarahan. Aku ceritakan imbauan Den Carik (penjaga kamar). Si Den turut pula menjelaskan duduk perkara,” tulis Saifuddin. Saifuddin merasa bersalah dan menyesal tak ketulungan.

Di kamar tersebut, Abdul Kahar hanya menjalankan salat Asar serta mengganti pakaiannya dengan sarung dan jas. Abdul Kahar mau pulang ke Kotagede, karena Abdul Wahid Hasyim tidak ada. Sebelum pergi, Saifuddin pamit mendahului pergi dari tempat itu.

Baca juga:  Gus Sholah, Apa Kamu Mau Jadi Kiai Pesantren?

Namun, Abdul Kahar melarang Saifuddin pergi, malah diminta menempati kamar tersebut sambil menunggu kedatangan Abdul Wahid Hasyim.

“Tak lupa aku diminta menyampaikan salamnya. Ketika aku berjabat tangan dan sekali lagi minta dimaafkan kesalahanku, orang besar ini juga meminta maaf yang diucapkan dari kerongkongannya yang terasa menyempit. Genggaman tangannya tak dilepaskannya dari genggamanku. Betapa lembut rasanya genggaman orang yang pandai menahan marah dan cepat melupakannya,” kenang Saifuddin.

Saifuddin Zuhri –karya-karyanya adalah bacaan wajib di NU—menulis dan menceritakan Abdul Kahar Mudzakkir tanpa basa-basi. Dia menulis dengan takzim dan detail menggambarkan kedekatan dua tokoh: Abdul Kahar dan Abdul Wahid.

Saya yang mengira Abdul Kahar dari NU lalu ternyata tokoh Muhammadiyah tidak berkurang sedikit pun penghormatannya. Mana mungkin saya mengurangi pernghormatan kepada beliau, sementara para sesupuh NU juga sangat takzim. Beliau-beliau takzim kepada Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir — wafat di Yogyakarta, 2 Desember 1973– bukan saja punya silsilah nasab dengan kelurga Pesantren Krapyak yang notebene NU, tapi karena beliau punya jasa besar terhadap umat, kemerdekaan dan persatuan bangsa Indonesia. Kiai Abdul Kahar bersama-sama dengan Kiai Abdul Wahid (wafat di Cimahi, Jawa Barat, 19 April 1953) merumuskan Pancasila. Persamaan lain dari keduanya adalah punya visi terhadap dunia Pendidikan: Penggagas Universitas Islam Indonesia.

Lebih dari itu, generasi NU setelah keduanya juga mengikuti jejak para pendahulunya, dengan cara “titip badan” di rumah orang Muhammadiyah. Itulah yang dilakukan Ibu Nyai Sholichah pada putra sulungnya, Gus Dur. Gus Dur sewaktu sekolah di Jogja, numpang di rumah Haji Junaidi, tokoh Muhammadiyah di Kauman. Beberapa tahun kemudian, Kiai Ali Maksum Krapyak juga pernah menitipkan santrinya yang bernama Aziz di kediaman Kiai Azhar Basyir. Aziz adalah ayahanda M. Imam Aziz, ketua PBNU.

Beberapa tahun kemudian, saat saya ke Jogja, saya menginap di rumah seniman Muhammadiyah Jumaldi Alfi. Meniru jejak para pendahulu: gratis dan insya Allah berkah. Kita baca surah al-fatihah buat para pendahulu dan buat persaudaraan kita semua..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top