Hamdani
Penulis Kolom

Pegiat Budaya. Kini mengabdi di Lajnah Ta'lif wa An-Nasr, Jatman NU Pamekasan. Founder Yayasan Paddhang Bulan Tacempah, Pamekasan, Madura.

Syaikh Abdurrahman dan Nêmor Kara Pamelingan

Malam melegam mempertegas semburat bulan yang sendiri tanpa sedikit pun awan meningkap langit. Di kejauhan, daun berzikir menggores angin yang dingin. Keheningan terasa genap ketika saya dan tim dari Lembaga “Paddhâng Bulân Tacempah” tiba.

Di sebuah padepokan kecil yang bersisian dengan asrama santri, tampak Kiai Abdul Hamid (juru kunci dari cagar budaya “Situs Rabah”). Beliau telah menunggu kami ditemani kepulan asap tipis yang menyeruak dari beberapa cangkir kopi-jahe yang belum tersentuh—menghalau dingin yang gigil.

Kiai Abdul Hamid adalah salah seorang keturunan Syaikh Abdurrahman Rabah dan penulis buku “Kiai Agung Rabah: Rabah dan Sejarahnya, Pustaka Muba, 2018.” Beliau juga menjabat Ketua Dewan Pengasuh pesantren Syaikh Abdurrahman Rabah, Sumedangan, Kabupaten Pamekasan (Madura).

Kami kemudian duduk melingkar ketika bulan keemasan membaringkan cahayanya di atas kubah masjid yang tampak merenung. Obrolanpun dimulai melintasi gerbang waktu untuk menapaktilasi kisah hikmah dan teladan dari sosok Syaikh Abdurrahman Rabah, seorang wali Allah dan sesepuh para ulama di Madura.

Pada sekitar abad ke-15 M, langit di atas Kerajaan Pamelingan (kelak berganti nama Pamekasan) berhenti menurunkan hujan. Ia tampaknya tak sampai hati mengguyurkan hujan dan mengusik kekhidmatan seorang hamba Allah bernama Syaikh Abdurrahman yang tengah bertirakat dan bermunajat. Nêmor Kara atau kemarau berkepanjangan pun akhirnya melanda kawasan Pamelingan hingga tiga tahun lamanya (beberapa riwayat mencatat hingga tujuh tahun).

Raja Ronggosukowati, pemimpin kerajaan kala itu (memerintah sejak 1530 M), prihatin melihat situasi rakyatnya tersebab kemarau yang begitu panjang. Dia bermunajat kepada Allah meminta petunjuk dan pertolongan. Tak lama, ia didatangi wangsit bahwa kemarau yang melanda daerahnya disebabkan pertapaan seorang keturunan Sunan Kudus bernama Syaikh Abdurrahman di jantung hutan arah timur laut (tenggara) dari pusat kerajaan.

Riwayat lain menyebutkan bahwa Raja Ronggosukowati mengumpulkan para patih dan pemuka agama untuk mencari petunjuk di balik fenomena tak biasa tersebut. Konon, tampak cahaya kekuningan memancar dari arah timur laut wilayah kerajaan yang menandakan lokasi pertapaan Syaikh Abdurrahman.

Baca juga:  Hasyim Asy'ari: Tebar Harmoni, Tradisikan Literasi, Rangkul Petani

Sontak, sang raja bersama pasukan dan para pemuka agama kerajaan bertolak mencari lokasi pertapaan Syaikh Abdurrahman. Mereka sempat kewalahan saat hendak memasuki hutan yang angker dan dipenuhi binatang buas. Pemuka agama yang menyertai raja menyarankan untuk mengucap salam, maka raja pun mengucap salam. Jawaban salam pun menggema dari dalam hutan. Raja kemudian memerintahkan pasukannya untuk membabat hutan demi membuat jalan masuk mendekati sumber suara.

Pada kelokan keempat setelah mengucap salam keempat, tiba-tiba terdengar suara gaduh“rato ngombar” (raja datang) dari masyarakat sekitar hutan. Mereka ternyata telah mendengar rencana kedatangan raja sekaligus penasaran akan maksud kunjungan tersebut. Selama ini, mereka tidak tahu bahwa di jantung hutan tersebut, Syaikh Abdurrahman sedang bertirakat. Kelokan keempat inilah yang kemudian, bahkan hingga hari ini, lazim disebut “ombaran”  (kedatangan).

Syaikh Abdurrahman bertirakat di hutan tersebut atas perintah gurunya, Kiai Aji Gunung alias Raden Qabul dari Sampang, Madura, yang juga dipercaya sebagai wali AllahKiai Aji Gunung memerintahkan Syaikh Abdurrahman bertapa mengikuti arah lidi yang ia lempar dan kemudian jatuh di hutan wilayah timur laut Pamekasan.

Dalam tradisi pesantren dan tasawuf (mistik Islam), ketaatan dan adab kepada guru adalah proses kunci dalam penghayatan keilmuan seorang murid. Di saat berguru pada Kiai Aji Gunung inilah, ketaatan, pengabdian dan karomah atau kekeramatan Kiai Agung Rabah tampak sejak belia.

Suatu kali, cincin istri Kiai Aji Gunung jatuh ke jamban. Tak ada santri yang yang berani mencari dan menemukannya. Namun, karena keinginan besar Syaikh Abdurrahman untuk mengabdi kepada gurunya, ia menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut. Tak selang berapa lama, cincin tersebut pun diketemukan.

Masyhur Abadi, seorang akademisi Madura, memberanikan diri menafsir kisah cincin di jamban tersebut. Menurutnya, kisah ini menggambarkan sosok Syaikh Abdurrahman sebagai ahli hikmah yang dapat mengambil kebaikan (cincin) meski dalam suatu kubangan yang  kotor (jamban).

Baca juga:  Salam Tempel Kiai Abdul Hamid, Waliyullah dari Pasuruan

Fakta sejarah yang diwariskan secara turun-temurun dan melegenda memang kerapkali disangsikan. Namun begitu, legenda adalah legenda. Ia adalah senyawa narasi yang menghidupi nilai-nilai kearifan masyarakat tradisional. Selain dituntut untuk merangkai fakta-fakta yang mengelilinginya, apa yang lebih penting bagi generasi saat ini adalah interpretasi filosofis agar kita dapat memetik nilai kebijaksanaan daripada mendebatnya.

Singkat cerita, Raja Ronggosukowati dan rombongannya tak kunjung dapat menemukan letak pertapaan Syaikh Abdurrahman. Setelah mengucap salam tujuh kali di kelokan ketujuh, barulah raja menemukan letak pertapaan Syaikh Abdurrahman. Rajapun menuturkan hajatnya dan meminta Kiai Agung Rabah untuk memohon kepada Allah SWT agar menurunkan hujan.

Syaikh Abdurrahman menyanggupi permintaan raja dan sebagai balasannya, sang raja berjanji membangun bilik sederhana di tempat pertapaannya. Setelah bilik sederhana tersebut selesai dibangun, Kerajaan Pamelingan (Pamekasan) akhirnya dianugerahi guyuran hujan hingga berhari-hari lamanya. Peristiwa ini dicatat dalam buku-buku sejarah lokal seperti “Babad Soengenep (1914)” karya Raden Werdisastra.

Kebahagiaan ini tak berlangsung lama sebab hujan mengguyur tiada henti. Air meluap di mana-mana dan pemukiman penduduk terendam banjir. Area keraton kerajaanpun tak luput dari banjir sehingga balai (pendopo) kerajaan tampak mengambang—tempat dan peristiwa itu diabadikan sebagai nama jalan; Balaikambang (balai yang mengambang) hingga kini.

Kebingungan, Raja Ronggosukowati mengutus patihnya kembali ke hutan tempat tirakat Syaikh Abdurrahman. Kali ini, ia meminta kesediaan beliau memohon kepada Allah Swt agar menghentikan hujan yang telah begitu lama mengguyur Kerajaan Pamelingan. Sayangnya, di tengah perjalanan, kereta kuda yang ditunggangi sang

patih terjerembab dalam kubangan lumpur.

Tanpa berpikir lama, patih dan prajuritnya mendorong (sotok; bahasa Madura) kereta tersebut. Inilah asal muasal penamaan lokasi“Sotok”  yang masih dipakai hingga saat ini. Akhirnya, atas idzin Allah, setelah patih mengutarakan permintaan raja untuk kali kedua, hujan yang tak henti-hentinya selama 41 hari dan 41 malam mereda juga. Kerajaan Pamelingan kembali subur dan daerah yang sedikit melembah menjadi sawah produktif hingga kini.

Baca juga:  Ngalap Berkah: Orang Madura dan “Sanad” Mobil Bekas

Sementara itu, hutan tempat Syaikh Abdurrahman bertirakat dikelilingi oleh sisa genangan air hingga menjadi rawa-rawa. Atas peristiwa sejarah ini, daerah tersebut dinamakan Rabah (rawa) dan Syaikh Abdurrahman dijuluki “Kiai Rabah” alias “Kiai Agung Rabah.”

Banyak bagian dari kisah kehidupan Syaikh Abdurrahman yang menjadi muasal penamaan dusun, desa dan nama jalan. Ini bahkan tak hanya ditemukan di Kabupaten Pamekasan,  akan tetapi juga Kabupaten Sumenep, daerah kelahiran Syaikh Abdurrahman. Penamaan tempat dari kisah hidup seorang nabi, resi, wali, santo dan orang yang dianggap suci lainnya merupakan suatu fenomena yang universal.

Para sejarawan agama percaya yang demikian merupakan pengejewantahan iman paling awal dalam (hampir) semua kebudayaan. Sebuah kota, hutan ataupun gunung-gunung terikat secara sakral dengan nilai-nailai kebudayaan apapun kepercayaan religiusnya. Tidak mengherankan kemudian, bila invansi tata nilai ideologis ataupun kepercayaan mengindahkan penghancuran tempat-tempat yang dianggap sakral.

Malam beringsut diganti fajar baru. Saya dan beberapa teman meminta izin kepada Kiai Abdul Hamid untuk berziarah ke asta Syaikh Abdurrahman alias Kiai Rabah alias Kiai Agung Rabah. Di dalam area utama asta, kami bersimpuh menekuk lutut, merefleksikan kembali sejarah panjang para pendahulu.

Cahaya bulan di langit Rabah merambat, menembus kain penutup salah satu nisan hingga tampak sebagian yang tertulis di dalamnya (dalam Bahasa Arab yang kurang lebih berarti): “Ini adalah pusara Syaikh al-Akbar (yang agung), sang ‘alim, semoga rahmat Allah mengalir atasnya; bernama Kiai Rawa (Rabah). Tokoh yang menegakkan nisan ini bernama Tumenggung Notokusumo, seorang raja dari Negeri Sumenep, pada tahun 1187 (sejak masa) hijrah Nabi.

Tiba-tiba, sesuatu datang dari arah langit, menetes ke pipi untuk kemudian jatuh di atas pusara. Perlahan dan kian kuat, langit menurunkan tangannya melalui jari-jari hujan, mengguyur tubuh kami. Percikan air yang deras memecah di atas pusara, tempias cahaya meliuk bagaikan jubah sang darwis. (aa)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top