Ahmad Hakim Jayli
Penulis Kolom

CEO TV9 Nusantara, Televisi Kaum Santri. Penikmat sastra, Pegiat media Nahdlatul Ulama dan Pesantren.

Mengenang Ahmad Alhinduan, Seorang Habib Pengembara Demi Merajut Persaudaraan

Img 20201007 Wa0014

Ketersambungan para saleh adalah sesuatu yany nyata. Ia dgerakkan kecintaan pada keindahan Tuhan yang berpendar pada kesungguhan ibadah dan muamalah. Ujungnya kebersihan hati dan jiwa, hingga dari luar yang tersaji akhlak mulia di depan mata kita.

Ketersambungan itu kadang unik, bahkan terbilang acap kali aneh. Di sebuah waktu, di Pesantren Sukorejo Situbondo, Kiai As’ad Syamsul Arifin tiba-tiba bergumam keras dalam bahasa Madura hingga tertangkap jelas para santri yang sedang menyimak ilmu. “Duh, betapa rindunya saya pada sampeyan, Kiai Hamid.”

Entah apa yang membawa kalimat itu hingga terlontar. Karena tak lama, Mbah Kiai Hamid Pasuruan berkunjung dalam sebuah paseban penuh makna. “Betapa lebar telinga sampeyan, Kiai. Hingga bisa menangkap suara hati saya yang jauh di Sukorejo ini,” sambut Kiai As’ad. “Betapa panjang lidah panjenengan Kiai, hingga panggilan itu terdengar hingga Pasuruan sana.”

Begitulah Kiai As’ad dan Kiai Hamid berkomunikasi, sarat kode dan alangkah aduhainya. Tak lain dan tak bukan, yang demikian terjadi karena kesalehan keduanya. Dan kita rugi jika tak menikmati serta mengenangnya.

Dalam kali lain, saat menerima persembahan salam dari Mbah Kiai Yahya, PP Miftahul Huda, Pondok Gading, Malang. Mbah Kiai Hamid menerima salam seraya berucap: “Kiai Yahya, wali sing mulang.” Maksudnya, waliyullah yang istikamah mengajarkan ilmu Allah. Saya mendapat cerita itu, dari guru saya, KH Baidlowi Muslich, sang penyampai salam.

Ini ada kisah lagi tentang Habib Ahmad bin Abdulloh bin Umar Alhinduan. Panggilan akrabnya Habib Ahmad atau Habib Cilik, merujuk pada fisiknya yang kecil. Habib yang sepintas biasa-biasa saja. Habib yang lebih tampak sisi manusianya dari pada maqam julukan yang kelak disematkan oleh Mbah Kiai Hamid pada Habib kelahiran Gresik di sekitaran 1940-an ini.

Sejak masih kecil, saya sudah mengenalnya. Ya, Habib Cilik! Begitu kami, anak-anak sebaya sepermainan di kampung memanggilnya. Sejak pertama kali berjumpa dengan kakek kami, Mbah Hasyim Thoha di tahun 1960-an, Habib Ahmad selalu menjadi tamu istimewa keluarga. Bahkan tamu keluarga besar pesantren dan masyarakat sekitar PP Darul Ulum Karangpandan Pasuruan, tempat kami tinggal sebagai sub kultur. Penghormatan ini terjaga hingga di dua estafet kepengasuhan pesantren, era Kiai Ma’shum Almubarok dan Kiai Hafidz Hasyim.

Baca juga:  Pelajaran dari Kalimat Kontroversi Gus Dur

Habib Ahmad biasa menginap beberapa hari di rumah mbah, dimana saya juga tinggal di rumah yang sama. Membawa dagangan makjun (jamu khas Arab) dan minyak wangi merk ‘ST’ untuk dipasarkan pada keluarga, santri, wali santri dan masyarakat sekitar pesantren. Boleh di kata rumah kami adalah ‘base camp’ untuk aktivitas niaga ini.

Saya dan sepupu seusia kerap membantu Pak Habib. Memilah dan membungkus, mencatat daftar nama pelanggan hingga memasukkan barang dagangan itu ke ‘kanthongan’ tas kain putih bekas kemasan tepung bubuk segitiga biru. Kakak sepupu saya, Cak Wasik bin Kiai Makshum yang mengantar Habib via motor ayah atau paman ke pos-pos alumni atau wali santri di mana dagangan itu akan didistribusikan dan dihutangkan! Kok? Ya, bayarnya enam bulan lagi. Habib hanya akan menerima pembayaran setelah kurun setengah tahun berselang untuk makjun seharga 6 ribu hingga 12 ribu itu!
“Walau bayar sejuta, saya tak mau!” Kalimat itu sering terlontar. “Kalau misalnya saya dak sampai umur, sedekahkan uang itu atau rupakan sajian kue dan teh, bawa ke masjid atas nama saya.” Subhanallah.

Habib Ahmad tidak semata berjualan. Dia sedang bersilaturahmi berkala kepada keluarga-keluarga santri di kampung-kampung. Tak jarang Habib menemukan sedih dan perih yang sedang melilit rumah tangga yang sedang dikunjungi. Dia mendengarkan, dan lantasi menguatkan dengan nasehat ulama. Hampir pasti, Habib Ahmad menfotokopikan jadwal haul habaib dan kiai di tanah jawa ini, dan menyarankan kami semua hadir bila memungkinkan. Mulai Haul Habib Ali Alhabsyi Solo, Haul Habib Abubakar Assegaf Gresik, Habib Jakfar bin Syaikhon Pasuruan, juga haul sang ayahanda, Habib Abdullah Alhinduan Gresik yang selalu dia peringati setiap ahad pertama bulan shafar.

Di tengah keluarga yang dikunjungi, Habib Ahmad adalah pelontar kebahagiaan dengan tawa dan keceriaan. Mminjam istilah KH Bahaudin Nursalim atau Gus Baha’, konsep ini disebut Al farah fi tha’atillah la fi ma’shiyatillah. Bahagia dalam taat, tak harus sampai maksiat hanya untuk bahagia dan tertawa.

Habib orangnya lucu. “Hakim, kalau dulu ada ABRI Masuk Desa, sekarang sudah diganti ”
“Diganti, apa Bib? ”
“ARBI Masuk Desa!” Hahaha… Arbi maksudnya Arabiyyun alias orang Arab. Kami semua tertawa. Dan Habib akan mengulang-ulang temuannya itu selama kami di perjalanan mobil sepulang silaturahim.

Baca juga:  Bagaimana Gus Dur Mengenalkan Gus Mus kepada Kaum Seniman?

Saya saya mondok di Pondok Gading tahun 1990, Habib Ahmad ikut menyambung silaturrahmi ke pesantren ini. Habib Ahmad disambut gembira oleh Kiai Abdurrohim, Kiai Abdurrohman, Kiai Ahamad Arif, Kiai Baidlowi Mislich dan Kiai Shohibul Kahfi. Kehadirannya di Pondok Gading bak oase pasca ditinggal Habib Muhammad bin AbdullahbbA’abud Lawang yang sangat dekat dengan para Kiai kami. Habib Ahmad pun rutin hadir haul Kiai Yahya dan menginap di ndalem Kiai Abdurrohman. Saya kebagian diutus Kiai, mengantarkan Habib ke halte Angkota jurusan Gading-Arjosari dengan membawakan kanthongan Segitiga Biru, bekal habib je perjalanan berikutnya.

Menemani dan mengantar Habib Ahmad, membuat saya mengenal lebih dekat kualitas hidup dan sisi kemanusiaan para habaib. Cara pandang, jargon, dialek, bahkan sisi kebudayaan dan keseharian sebagaimana pakaian dan kuliner. “Al fulus, wa yaj’al kullu kasarin halus.” Suatu saat Habib Ahnad berkelakar tentang ungkapan bahasa arab itu. Uang bisa menghaluskan yang kasar-kasar. Haha…

Habib suka bercanda, utamanya dengan bocah di sebuah keluarga. Dia pasti menyiapkan oleh-oleh, mulai sekadar permen, snack hingga lembaran uang ribuan. Bila dirasa perlu, Habib Ahmad bahkan membelikan baju anak sebagai hadiah, demi senyum bocah. Dia menyebut baju itu sebagai ‘rok kemanten’. Ya, Anak kecil selalu bahagia, bila Habib Ahmad datang. Bahkan Habib Ahmad sampai harus beratraksi bak seorang komedian, menutup muka, pura-pura menangis, hingga menyanyi, demi senyum bocah di hadapannya. Kami santri bahkan para kiai sangat menghormati dan mementingkannya, tapi bagi Habib Ahmad anak-anak adalah orang mulia yang harus selalu dalam senyum dan tawa.

“Allah menyediakan sorga khusus, bagi kita yang bisa menghormati anak-anak kecil. Mereka tak punya dosa. Yang dilakukan mereka adalah iradah Allah. Mereka wali-wali Allah,” dhawuh Habib Ahmad suatu ketika.
“Semoga kelak saya dianugerahi taman sorga itu. Namanya Jannatus Shibyan.”
“Amin. InsyaAllah, Ya Habib,” sahut saya, sambil berdoa dalam hati.

Baca juga:  Ibnu Sina dan Asal Usul Namanya yang Jarang Diketahui

Habib Ahmad, wafat hari Jumat, 2 Oktober 2020 di tempat yang istimewa, kediaman KH Hasan Ainul Yaqin atau Gus Nunung, Pengasuh Pesantren Baitus Shalihin, Komplek PP Zainul Hasan Genggong Probolinggo.
Habib Ahmad wafat dalam usia sepuh, 90an tahun setelah beberapa kali sakit dan dirawat beberapa tahun belakangan. Para Kiai berebut merawatnya. Habib Ahmad adalah pengembara sejati. Rumahnya di Gresik sudah lama dilepaskan. Kediaman yang sesungguhnya adalah di hati keluarga para kiai. Sebelum akhirnya memilih Pondok Genggong sebagai peristirahatan terakhir. Rumah Gus Hasani Mas’shum di Karangpandan Pasuruan termasuk di antara persinggahan. Habib Ahmad sempat menjadikan rumah Haji Arif Di Malang dan rumah Haji Edi di Mojokerto sebagai rumah singgah utamanya. Bahkan di rumah Haji Edi di kawasan Surodinawan Kota Mojokerto ini, Habib Ahmad beberapa tahun belakangan menggelar Haul ayahandanya, Habib Abdullah bin Umar Alhinduan dan sang adik, setiap ahad pertama bulan shafar. Di majelis haul ini, semua keluarga kiai dan santri yang biasa dikunjunginya di berbagai kota hadir. Tiba-tiba kami seperti menjadi keluarga besar, bersama para sadah dan Habaib dari penjuru Jawa, dipersatukan dan dipersaudarakan oleh sosok shaleh ahli silaturahmi, berhati bening. Sosok yang selalu menangis setiap tercetus kata kematian. Sosok yang selalu menggendong senyum bocah. Sosok yang wafat di awal bulan shafar, sama seperti haul waliduhu yang undangannya rutin disampaikan setahun sebelumnya.

Sosok yang oleh Mbah Kiai Hamid Pasuruan disebut sebagai Wali Tanggung. Wallahu a’lam apa maknanya Sebutan langit, kode di antara para orang shaleh. Dan Habib Ahmad pun berkirim salam. “Kalau ziarah ke makam Kiai Hamid, sampaikan salam saya, salam dari Wali Tanggung…”

Ahlan Ya Habib. Terima kasih. Kami banyak belajar ilmu dan laku hati padamu. Bahwa hidup adalah perjalananan panjang, tak lelah menyambungkan kebaikan dan persaudaraan di mana-mana. Bahwa untuk menyemai kebaikan, maka ikhlas dan istiqamah adalah koentj-nya’. Dan kau telah membuktikan, orang terbaik adalah yang panjang usianya dan konsisten baik hingga di akhir usia. Alfatehah..

Surabaya, 7 Oktober 2020.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top