Sedang Membaca
Melihat Perpisahan India-Pakistan Lewat Saadat Hasan Manto
Gifari Juniatama
Penulis Kolom

Gifari Juniatama adalah penulis lepas dan peneliti independen. Meminati kajian sosial, agama, dan budaya. Saat ini tinggal di Tangerang. Dapat dihubungi melalui akun instagram @gifarijuniatama atau akun facebook Gifari Juniatama.

Melihat Perpisahan India-Pakistan Lewat Saadat Hasan Manto

Saadat Hasan Manto

Ketika dunia tiba-tiba dikejutkan dengan ketegangan antara India dan Pakistan, yang ditandai saling serang antara kedua pihak, rekaman ingatan tentang trauma kekerasan yang menyertai keputusan politik perpisahan di masa lalu mungkin langsung menyeruak di benak kedua bangsa. Luka yang nampak tidak pernah benar-benar pulih, setidaknya jejak itu terlihat dalam karya-karya sastra atau film.

Satu di antara jutaan memori kelam itu terekam dalam kisah hidup Saadat Hasan Manto. Seorang penulis yang lama tinggal di Bombay, India, namun mendadak terlempar ke Lahore, Pakistan, karena dirinya merasa tak aman sebagai seorang muslim. Cerita tentang Manto di tengah gejolak partisi, atau momen terpecahnya dua negara India-Pakistan itu tersaji dalam film biopik berjudul Manto yang dirilis tahun 2018 lalu.

Manto, adalah seorang penulis cerita pendek terkemuka yang dianggap kontroversial karena langganan masuk ruang persidangan sebab beberapa karyanya dinilai menabrak norma kesusilaan. Namun ia juga adalah seseorang yang keras kepala untuk membela karya-karyanya. Sebuah pendirian yang di dalam film digambarkan terus dipegangnya bahkan pada masa-masa tersulit dalam hidupnya.

Saat India merdeka, Manto merayakannya dengan suka cita. Di tengah malam, ia membangunkan istri dan anaknya untuk sekadar melihat kembang api yang bertebaran di langit Bombay menyambut kebebasan mereka dari penjajahan Inggris. Tapi, kemerdekaan India tidak menjadi perayaan panjang bagi dirinya. Beberapa adegan dalam film menceritakan bagaimana India kala itu menyimpan titik-titik api yang bisa membara kapan saja.

Manto dan istrinya pernah terjebak di sebuah toko sepatu dengan teriakan ancaman pada muslim dari luar toko. Kekecewaan kemudian memuncak ketika sahabatnya sendiri, melontarkan kebencian pada orang-orang Islam di depan mukanya. Dalam film yang diproduksi India ini, terlihat betul bagaimana peristiwa partisi menghancurkan hidup Manto.

Baca juga:  Shalawat Isra’ Mi’raj Karya Kiai Raden Asnawi Kudus

Para pemimpin politik dari tiap-tiap kelompok agama menjadi sasaran kekecewaan terbesar Manto, karena menyebabkan perpecahan India-Pakistan terjadi. Dalam salah satu cerpennya yang berjudul Toba Tek Singh, nampak sebuah kritikan yang menganggap para politisi yang membawa identitas agama untuk menjadi dasar tragedi sebagai orang gila. Dalam cerita tersebut, Manto memberikan sebuah ilustrasi bagaimana banyak orang-orang di India atau Pakistan mengalami kebingungan dengan adanya perpecahan India merdeka menjadi dua negara.

Orang-orang yang lahir dan tumbuh di Pakistan, tiba-tiba dipaksa untuk pindah ke India hanya karena beragama Hindu atau Sikh. Sebaliknya, para muslim yang menganggap India sebagai tanah airnya banyak yang terpaksa pindah ke Pakistan. Dunia mereka tiba-tiba menjadi sulit dipahami. Maka dengan menggunakan cerita orang-orang gila dalam Toba Tek Singh, Manto seperti menyampaikan pesan, bahwa peritiwa partisi adalah tragedi yang sangat sulit dipahami oleh banyak orang.

Selain perasaan “tercabut dari akar”, dalam beberapa cerpennya Manto juga mengangkat kisah-kisah memilukan dari kekerasan yang terjadi selama proses partisi. Ada kisah seorang lelaki bernama Sirajuddin yang kehilangan istri saat kabur dari India dan kemudian setengah mati mencari anak perempuannya di tengah penampungan pengungsi. Ada pula cerita berjudul Cold Meat tentang lelaki bernama Eshar Singh yang menderita dalam trauma akut akibat dari kekerasan brutal yang ia lakukan sendiri.

Baca juga:  Potret Tiga Serangkai dari Tegal (3): Zaldi SA Sang Pionir Master of Ceremony

Ayesha Jalal dalam The Pity of Partition (2013), menulis bahwa Manto merasa sangat terguncang dengan kehancuran-kehancuran yang disaksikannya selama peritiwa partisi pada 1947. Pada saat yang sama, Manto juga merasakan kekaguman ganjil pada Inggris yang sangat tenang ketika mereka menjalankan politik dekolonisasi, memecah belah India menjadi dua dan menyulut ledakan konflik dengan banyak korban.

Setelah Perang Dunia II berakhir, Inggris keluar dari kemelut dengan tenaga yang tak lagi perkasa untuk mencengkram wilayah jajahannya. India, sebagai salah satu wilayah koloni Inggris terbesar dinilai tidak lagi menarik untuk terus dikuasai dengan kondisi mereka saat itu. Maka mereka mendorong proses dekolonisasi dengan pemetaan sembrono yang membagi wilayah India berdasarkan persebaran penganut agama.

Politik pemetaan ceroboh serupa, pernah dilakukan Inggris lewat Thomas Stamford Raffles pada Melayu, dan pemetaan gegabah juga pernah dilakukan oleh orang yang sama saat membagi pulau Jawa menjadi dua dalam The History of Java (1817). Pengelompokan masyarakat berdasarkan identitas adalah gaya kekuasaan kolonial Inggris, sebuah metode yang digunakan untuk dapat melakukan pengendalian politik terhadap kelompok-kelompok yang dijajahnya. Konflik identitas yang selama ini masih menjadi masalah di negara-negara bekas jajahan mungkin sebenarnya disebabkan oleh perpecahan yang dibuat oleh kekuasaan kolonial di masa lalu.

Manto tidak hanya memendam kekesalan pada Inggris, ia juga nampak memberi bagian dalam hatinya untuk marah pada Amerika yang ia nilai terlibat dalam terjadinya partisi India-Pakistan. Manto menulis beberapa surat untuk “Paman Sam” dengan nada kecewa pada 1950an sambil meratapi dunianya yang terlanjur hancur.

Baca juga:  Esais Muda Pesantren (3): Sang Murobbi Mujahid; Dakwah, Perjuangan, dan Pengabdian Kiai Zaini Mun’im

Dalam surat pertamanya yang ditulis pada 16 Desember 1951, Manto menulis “surat ini datang kepadamu dari keponakanmu asal Pakistan yang tidak kau kenal… namaku Saadat Hasan Manto dan aku dilahirkan di tempat yang sekarang menjadi India. Ibuku dimakamkan di sana. Ayahku dikebumikan di sana. Anak pertamaku juga terbaring di sepetak tanah di sana. Namun, tempat itu bukan lagi negaraku. Negaraku sekarang adalah Pakistan yang sebelumnya hanya pernah aku lihat lima atau enam kali sebagai warga jajahan Inggris… negaraku miskin, tetapi mengapa juga bebal? Saya yakin, Paman, anda tahu alasannya, karena kau dan saudaramu “John Bull” (sebutan bagi Inggris) tidak ingin aku membahasnya karena tidak akan enak didengar.”

Terlihat bagaimana kekecewaan Manto pada Amerika dalam kutipan surat di atas. Ia merasa bahwa dirinya terpaksa untuk mengikatkan diri pada bangsa yang asing baginya. Tentang dampak pihak luar dalam membentuk nasionalisme bangsa-bangsa Asia Selatan, Partha Chatterjee dalam The Nation and Its Fragments (1993) berpendapat bahwa nasionalisme India sepenuhnya hasil dari gagasan modern, yang dirasionalkan dan kemudian menjadi bagian sejarah. Nasionalisme India bukanlah kelanjutan identitas yang jauh dari masa lalu, yang berpilin dengan identitas religius.

Dengan demikian, lewat kaca mata Manto dapat terlihat bagaimana perpecahan India dan Pakistan sebenarnya tidak semata-mata disebabkan oleh dua bangsa itu sendiri. Namun, ada tangan-tangan lain yang ikut memperkeruh dan membiarkan luka besar menjadi bagian dari sejarah yang sampai saat ini belum sepenuhnya diselesaikan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top