
Waktu kelas 2 SD saya pernah menangis. Menangis bukan karena kalah bertengkar di sekolah dengan anak kelas sebelah, bukan pula karena dijewer ayah saya setelah ketahuan dapat nilai 4 di ujian Matematika. Saya menangis tidak lain karena menonton sebuah film.
Ya ini serius, karena menonton film.
Kalau kamu juga sempat nonton film ini waktu kecil, saya ucapkan selamat, mungkin sekarang kita seumuran. Dan kalau memang cocok bisa datang ke rumah, stecu-stecu, eh.
Yang jelas, lama sebelum terbiasa ditolak akhwat— patah hati pertama saya, seingat saya memang sudah jauh-jauh hari ditempa lewat menonton film tragis ini.
Film ini bercerita tentang seorang kakak bernama Ali, yang dimintai tolong oleh Zahra adiknya buat pergi ke tukang sol—mereparasi sepatu merah jambunya.
Selesai dari tukang sol, Ali pun mampir buat beli sayuran pesanan ibunya— sembari menaruh plastik berisi sepatu adiknya di depan toko. Naasnya kebetulan tukang loak lewat dan mengira plastik itu sampah kemudian tanpa ragu memungutnya.
Baru saja keluar dari toko, Ali pun kaget mendapati sepatu Zahra sudah tidak ada, dan di sinilah kisah pilu kakak-adik ini bermula.
Mendapat kabar sepatunya hilang, Zahra tadinya ngambek luar biasa. Ali pun memohon pada Zahra untuk tidak mengadukan masalah ini pada ayah dan ibu mereka. Dengan kondisi ekonomi keluarga yang mencekik waktu itu, Ali khawatir bakal dimarahi habis-habisan, terutama oleh ayahnya.
Beruntungnya Zahra— yang sebenarnya sayang kakaknya— kemudian luluh, dan pada akhirnya mau juga menerima tawaran Ali untuk sementara memakai sepatu talinya yang agak kegedean.
Alhasil, Zahra yang masuk pagi, setiap pulang sekolah harus berlari kencang untuk bertukar sepatu dengan Ali yang masuk siang.
Namun yang menyedihkan adalah: sekencang apa pun Ali berlari, ia selalu datang telat ke sekolah. Tak jarang Ali harus rela mendapat sabetan rotan dari guru piketnya yang galak. Dan di adegan inilah saya ingat menangis waktu menontonnya.
Belum kering air mata saya, muncul lagi sebuah adegan saat Zahra menangis sepanjang jalan—mengejar sepatu kakaknya yang jatuh hanyut di selokan, sial, lagi asyik-asyiknya nonton, siapa ini yang mengiris bawang.
Belum lagi adegan di mana Ali harus menerima kenyataan: bahwa dalam lomba balap lari yang juara tiganya dapat hadiah sepasang sepatu, eh Ali malah dapat juara satu, padahal Ali sudah berjanji ke Zahra bakal juara tiga. Baru kali ini saya dapati orang, yang bersedih justru karena memenangkan perlombaan.
Hari berganti hari, seragam putih-biru, berganti jadi putih-abu-abu. Tibalah sebuah masa di mana buku-buku penyimpangan Syi’ah mulai banyak saya baca di perpustakaan sekolah, video-video Syaikh Adnan Ar’ur mulai banyak saya tonton saat dengan briliannya mendebat para ulama Syi’ah.
Ini semua telah merubah pandangan saya kemudian tentang banyak hal, tak terkecuali dalam menonton lagi film Ali dan Zahra tadi, yang belakangan saya ketahui ternyata berlatar Teheran Selatan. Ya, film dengan judul “Children of Heaven (1997)” ini ternyata buatan orang-orang Syi’ah, dan mendadak itu seakan jadi menodai kesan mendalam yang saya dapatkan ketika menontonnya waktu kecil.
Noda itu pula yang belakangan mulai membuat saya berpikir: seandainya saya hanya menonton “Children of Heaven” sebagai film saja tanpa perlu sibuk-sibuk menjajali doktrin sektarian di kepala saya, mungkin saya akan tetap menikmati film itu hingga kini. Sayangnya, itu memang bukan perkara mudah. Perlu pembiasaan.
Dan agaknya perspektif semacam itulah yang mulai saya biasakan belakangan saat menonton rudal-rudal Iran menghantam Tel Aviv.
Saya sangat menikmati momen ini. Apalagi kalau video rudal balistik yang diluncurkan malam-malam diiringi lagu Sparkle-nya Radwimps sebagai latar, gila, rasanya tak pernah saya rasakan lonjakan dopamin setinggi ini di otak, selama hidup saya.
Entah perspektif berbau sekular semacam ini bakal Anda terima atau tidak. Atau Anda mau menuduh saya Syi’ah? silakan saja, yang tahu siapa saya, tahu siapa saya, dan saya sama sekali tak berhutang penjelasan pada siapa pun. Wih, lagi pula siapa saya ya? kok jadi sok keren begini.
Sebagai muslim yang juga percaya bahwa agama sejatinya mesti punya peran banyak dalam membenahi politik, terkadang saya muak juga melihat peristiwa-peristiwa politik yang kompleks terlalu berlebihan dipaksa tunduk pada doktrin-doktrin keagamaan yang sudah mapan.
Yang mana saat memperdebatkannya, saya tak yakin, kalau persoalannya dapat mengubah realita bahwa setiap 5 menit sekali, ada yang meregang nyawa di Gaza sana, baik karena kelaparan ataupun ditembak oleh peluru tajam para tentara Wahyudi ini.
Gimana, opini saya udah kedengaran kayak intelektual muda muslim yang cocok diundang cuap-cuap sebagai pengamat politik di TV One belum? ayolah undang saya.
Kalau suatu hari diundang saya akan bilang: apa susahnya sih kalau kita memandang serangan Iran ke Israel seperti menonton film “Children of Heaven” saja? duduk manis dan nikmati saja tontonan ini. Tak perlu sibuk ngulik-ngulik apa agama aktornya? sektenya apa? ormasnya apa? NU, Muhammadiyyah, Pemuda Pancasila, atau Grib Jaya?
Terkadang membatasi rasa ingin tahu juga adalah sikap yang bijaksana. Dan bukankah terlalu banyak tahu, seringkali malah membuat kita kecewa? jadi, sudahlah nikmati saja, beri tepuk tangan, toh yang diserang Iran yang Syi’ah ini adalah musuh bersama kita semua, bukan?