Kita tak pernah menyangka, bila tulisan KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) yang “Refleksi 94 tahun NU” dan dimuat di Kompas (27/1/2020) adalah buah pikiran beliau yang paling akhir. Seakan-akan, tulisan tersebut menjadi sebuah wasiat beliau yang secara spesifik disampaikan kepada warga NU.
Dalam kaitan ini, untuk merefleksi kembali tulisan beliau dan agar bisa menjadi pengingat bagi warga NU yang pada tanggal 31 Januari 2020 baru merayakan Hari Lahirnya yang ke 94, setidaknya ada empat hal yang perlu kita cermati dan resapi sepenuh hati.
Pertama, berkaitan dengan ajaran aswaja an nahdliyah yang harus dipegang teguh dan dilakoni oleh setiap warganya. Menurut beliau, ada dua aspek lagi yang perlu dileburkan dalam ajaran aswaja selain nilai-nilai seperti tawasuth, tasamuh, tawazun, dan taadul, yaitu aspek politik dan ekonomi. Dua aspek ini merupakan dimensi strategis dimana NU pernah berperan di masa lalu dengan mewujudkan berbagai perundang-undangan dan tantangan pemberdayaan masyarakat.
Kedua, berkaitan dengan ulama dan pesantren yang menjadi garda terdepan bagi perjalanan NU ke depan. Keduanya merupakan sekeping mata uang yang saling bersenyawa dan saling memberi ruang percakapan untuk tumbuh kembangnya NU.
Selain itu, keberadaan NU yang menjadi pesantren besar dan pesantren menjadi NU kecil adalah gambaran persandingan (partnership) yang saling memberi kesempatan untuk menjalankan berbagai amaliah keagamaan yang sudah mentradisi (al muhafadzah ‘ala qadim as sholih) dan juga menjadi tantangan untuk menghadapi berbagai perkembangan zaman dan perubahan sosial (al akhdzu bil jaded al ashlah).
Ketiga,berkaitan dengan keberadaan warga (jamaah) NU yang—menurut beberapa lembaga survey—mencapai 90-95 juta atau 40% dari total jumlah ummat Islam di Indonesia. Namun, dari populasi yang cukup besar tersebut, nampaknya NU belum bisa menjadi penentu arah konstalasi kekuasaan yang terjadi di republik ini. Bahkan, warga NU yang tersebar ke berbagai sektor—meminjam istilah Jusuf Kalla—mirip franchise yang dikendalikan oleh pemangku kepentingannya masing-masing. Dampaknya, warga NU terpecah-belah ke berbagai barisan dan lemah ketika didorong untuk menjadi ashhabul qoror maupun ash-habul haq untuk memperjuangkan nasib ummat atau rakyat.
Keempat, berkaitan dengan organisasi NU yang cenderung terseret ke wilayah politis. Beberapa figur tertentu NU yang menjadikan NU sebagai “tunggangan kuda” untuk kepentingan pribadinya menjadi benalu organisatoris yang tidak hanya merugikan NU sendiri. Akan tetapi, warga NU akan terkerangkeng dalam sebuah irama politis yang ditabuh oleh beragam pihak yang sengaja ingin membajak suara NU. Bahkan Posisi tawar organisasi NU yang hanya didudukkan pada lingkup pragmatisme akan menjadikan NU sebagai pendorong mobil mogok yang ditinggal sopir ketika mobilnya sudah bisa melaju di jalan.
Bahan refleksi
Dari keempat pesan tersebut, hemat penulis ada dua konteks untuk memahami wasiat terakhir Gus Sholah demi kebaikan NU ke depan. Konteks pertama berhubungan dengan perluasan makna aswaja an nahdliyah agar lebih membumi dalam kehidupan masyarakat sekaligus menjadi praksis ajaran ulama dan pesantren dalam melestarikan kemaslahatan ummat atau rakyat. Dalam kaitan ini, ulama dan pesantren harus terbuka dan bisa menyesuaikan diri dalam mentransmisikan pengetahuannya kepada masyarakat. Ketika masyarakat saat ini sudah terlatih dengan jejaringan digital dan terbiasa membangun ruang percakapan dengan media sosial, maka ulama dan pesantren harus bisa mengakrabkan dirinya dengan sistem informasi agar ajaran aswaja an nahdliyah bisa diterima oleh berbagai kalangan. Sebab, apabila ulama dan pesantren masih berkutat dengan pola dan cara yang tradisional-konvensional, maka tidak menutup kemungkinan akan banyak orang yang terpesona dengan ajaran transnasional yang dilakukan oleh para penggiat khilafah yang secara ideologis bertolak belakang dengan ajaran aswaja an nahdliyah. Selain itu, aswaja an nahdliyah perlu mencakupi aspek ekonomi dan politik sebagai mata rantai epistemologinya agar NU bisa membangun cara pandang (world view) yang lebih luas untuk membela ummat dan rakyat.
Konteks kedua, berhubungan dengan evaluasi diri untuk mencermati bagaimana kelebihan dan kelemahan NU serta peluang dan tantangan yang harus dihadapi oleh NU ke depan. Dalam hal ini, para pengurus NU (jam’iyah) perlu mendudukkan secara proporsional berbagai batas kewenangan yang menjadi kelaziman organisatorisnya. Hal ini perlu dilakukan, agar tidak terjadi tumpang tindih antar berbagai posisi, baik di level, syuriyah, tanfidziyah, lembaga, dan badan otonom. Selain itu, khittah NU perlu dijadikan sebagai landasan berfikir, bersikap, dan bertindak bagi setiap warga NU baik secara personal dan organisasi. Sebab, khittah merupakan sebuah kesepakatan (ijma’) para ulama untuk menfilter NU agar tidak terjebak ke dalam centang perenang kekuasaan yang dimanfaatkan oleh segelintir orang. Meskipun patut disadari, bahwa dalam khittah masih ada ruang terbuka bagi setiap warga NU yang ingin terjun di dalam politik praktis dengan catatan melepaskan diri dari latar organisasi ke-NU-annya.
Melalui penyikapan tersebut, maka warga NU akan bisa menentukan arah dan kiprah yang sesuai dengan cita-cita pendiri NU dan menjadi bagian terpenting yang bisa memberi manfaat kepada NU. Dan, ketika warga NU bisa sadar diri dengan tanggung jawab moral berjamaah dan berjam’iyah yang benar, maka warga NU akan bisa mengukur setiap derap langkah dalam mengelola kelebihan, mengatasi kelemahan, menyikapi tantangan, dan menjalani peluang dengan percaya diri. Sudah saatnya NU tidak hanya dimanfaatkan sebagai “bola panas” atau “bola liar” di setiap kontestasi. Sebab, siapapun yang masih mencoba “bermain api” dengan NU, maka hidupnya tidak akan barokah.
Akhirnya, semoga wasiat terakhir Gus Sholah yang wafat pada tanggal 2 Februari 2020 menjadi shadaqah fikriyah dan amal sholeh yang terus mengalir dan menjadi bahan refleksi dan introspeksi bagi kita semua, terutama warga NU, agar NU menjadi kekuatan masyarakat madani (civil society) yang berdaulat, bermartabat, dan maslahat bagi seluruh ummat atau rakyat.