“Pancasila mengandung nilai-nilai universal dengan prinsip Bhinneka tunggal ika yang telah disepakati menjadi dasar negara dan menjadi payung bagi kehidupan bersama dalam berbagai perbedaan. Namun di sisi lain, ada kelompok tertentu yang berpendapat bahwa Pancasila sudah tidak relevan sebagai dasar negara karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Dengan adanya kitab ini memberikan pengertian kepada seluruh bangsa Indonesia bahwa Pancasila sesuai dengan ajaran Islam” (Hakim, 2014: i)
Paragraf di atas adalah petikan dalam kata pengantar buku Mitsaq al-Madinah: Pancasila dan Piagam Madinah karya KH. Taufiqul Hakim Bangsri Jepara. Sebuah buku kecil, ukurannya sedikit lebih besar dari buku saku, yang mengulas tentang wawasan kebangsaan. Bisa dikatakan buku ini merupakan pegangan untuk memahami wawasan kebangsaan dengan pola pembelajaran khas pesantren. Oleh penulisnya, yang merupakan penemu metode Amtsilati, hasil karyanya ini memang ditulis untuk menangkis tuduhan beberapa pihak yang selalu memojokkan Pancasila sebagai produk kafir. Buku ini juga diharapkan dapat mengedukasi para santri dan masyarakat luas bahwa Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Karena itu, buku ini lebih cenderung menggunakan pendekatan teks dalam pembahasannya. Dengan bahasa lain, materi-materi kebangsaan seperti Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, atau toleransi dijelaskan dengan menggunakan perspektif teks-teks keislaman. Dengan pemaparan yang sangat singkat, materi tersebut kemudian diperkuat dengan legitimasi dalil al-Qur’an dan Hadits.
Agar mudah diingat, materi-materi tersebut kemudian dirangkum dalam bentuk bait-bait nadham. Satu nadham, untuk satu materi. Pola atau bahar yang digunakan adalah bahar rajaz yang memang sangat familiar di kalangan santri dan banyak digunakan oleh kitab pesantren bengenre nadham. Ada 37 bait nadham dalam buku ini yang terbagi menjadi 5 bab, yaitu Muqaddimah, Pancasila, Islam dan Bhinneka Tunggal Ika, Islam Rahmat Semesta Alam, dan Piagam Madinah.
Namun, ada satu hal unik yang membedakan buku ini dengan buku bergenre nadham pada umumnya. Pertama, Kebanyakan kitab pesantren bergenre nadham memiliki syarah yang terletak sesudah nadham, bukan sebelumnya. Tetapi di buku mitsaq al-madinah ini, penjelasannya justru terletak sebelum bait nadham. Kedua, Jika buku-buku nadham di pesantren kebanyakan ditulis hanya dengan satu bahasa, biasanya Arab atau lokal (Jawa, Sunda, atau Madura), maka tidak demikan dengan buku ini. Nadham dalam buku ini digubah secara multlingual dengan tiga bahasa, yakni Arab, Jawa, dan Indonesia.
Ini salah satu contoh nadham tentang Pancasila Sila pertama:
إن إلهكم إله واحد * هو الرحيم الأحد الباري المجيد
Pengeranmu kabeh Pengeran kang Siji * Kang Maha Welas Asih lan Maha Siji
Tuhan kamu semua Tuhan Yang Esa * Maha Pemurah Penyayang Maha Esa (Hakim, 2014: 4).
Penulisan nadham dalam bahasa Indonesia dan Jawa, tentu bukan tanpa alasan. Dengan tiga bahasa, penulis tampaknya menyasar pembaca dari berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya santri yang notabene akrab dengan bahasa Arab, tetapi juga kalangan awam, Jawa maupun luar Jawa. Hadirnya nadham versi Indonesia dan Jawa tentu akan mempermudah pembaca dari luar pesantren dalam memahami isi buku. Kecuali itu, nadham itu sendiri, kata al-Jahidz sastrawan klasik penulis kitab al-Hayawan, memang lebih mudah dihafal dan diingat daripada natsar. Thomas Amstrong (2002) juga menegaskan bahwa materi akan lebih mudah diterima dan diingat jika dikemas dalam bentuk lagu, apalagi jika dilantunkan dengan irama.
Sejak pertama kali terbit tahun 2014, buku setebal 112 halaman ini menjadi materi wajib dalam kurikulum madrasah diniyah Pesantren Darul Falah Amtsilati Bangsri Jepara. Tidak cuma di-bandong di kelas, nadham-nadham kebangsaan itu juga wajib di-lalar di waktu-waktu tertentu dan dihafalkan oleh santri sebagai syarat kenaikan kelas. Buku yang oleh santri disebut dengan “Kitab Pancasila” ini juga di-balah oleh kiai Taufiq dalam pengajian rutinan dengan masyarakat sekitar. Dalam pengajian, biasanya setelah Kiai menjelaskan materi-materi kebangsaan, jama’ah kemudian diajak untuk melantunkan bait-bait nadham bersama-sama. Terkadang pelantunan nadham juga diiringi dengan tabuhan rebana. Ini menjadikan pengajian lebih dinamis dan hidup daripada sekedar membaca dan menjelaskan teks kitab saja, yang bagi masyarakat awam dianggap monoton dan membosankan.