Sedang Membaca
Kami Orang-orang Desa dan Raibnya Hari Kemerdekaan
Faris Ahmad Toyyib
Penulis Kolom

Santri PP. Annuqayah Latee. Mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA).

Kami Orang-orang Desa dan Raibnya Hari Kemerdekaan

Whatsapp Image 2020 03 24 At 3.14.07 Pm

Kemarin, 17 Agustus, kita bersuka-ria atas kemerdekaan RI ke-75. Sejak di proklamirkannya pertama kali 1945 oleh Bung Karno, ada yang merayakannya dengan lomba-lomba serupa panjat pinang, tarik tambang, dan lainnya. Ada pula yang merayakannya dengan nonton bareng (nobar) film bernafaskan kemerdekaan, atau yang lebih lumrah lagi, upacara pengibaran bendera merah putih sambil mendengungkan: ‘Indonesia Raya’.

Mungkin, itu yang terlihat atau terjadi di perkotaan, di lembaga-lembaga kepemerintahan, dan rumah-rumah pendidikan. Tapi, lain lagi di desa saya. Bagi orang-orang di desa saya, 17 Agustusan dan hari-hari lain sama saja. Tidak ada yang eksklusif. Tidak ada lomba-lomba, atau acara ini-itu. Juga tidak ada merah putih atau umbul-umbul di pajang di depan rumah. Mereka melaluinya seperti yang sudah-sudah: ibu tetap pada bekerja sebagai ibu rumah tangga, ayah yang santai-santai di rumah, karena baru nanti sore pergi melaut. Mungkin di desa, cuma kepala desa yang merayakan dengan memasang aksesoris merah putih dan lampu kelap-kelip.

Ketika kami, pemuda desa berkumpul, yang dibicarakan bukanlah kehebatan Bung Karno, gerilya Jendral Sudirman, tirani Belanda, kebengisan Jepang atau sebagainya, tapi main-main dan candaan belaka, hingga yang paling serius perkara mencari uang. Paling-paling ada yang berujar, “Sekarang hari kemerdekaan yang ke-75.” Yang lain hanya menganggukkan kepala, pertanda mengiyakan, atau melanjutkan cerita tentang perayaan kemerdekaan di berbagai tempat. Sepertinya untuk kami, pada 17-an, yang diperlukan cukup memasang simbol selamat di akun medsos pribadi. Tidak lebih.

Baca juga:  Dikit-Dikit Kadrun, Dikit-Dikit Khilafah: Paranoia?

Apa arti hari kemerdekaan bagi mereka? Jika dilihat, kami sama sekali tidak ada nasionalisme: cinta tanah air.

Kabingungan mencari pekerjaan untuk menghidupi diri dan keluarga. Harga jerih payah kami melaut yang dibeli murah. Sementara kebutuhan-kebutuhan hidup melonjak menindih. Merantau ialah satu-satunya cara. Mengadu nasib ke negeri antah-berantah, menjual segala yang ada di rumah, dan meninggalkan hutang yang menjulang—tanpa kepastian membayar.

Maklumlah demikian. Indonesia tidak pernah menjadi Ibu Pertiwi yang merawat dan mengasihi. Jadinya, harus mencari orang lain yang bisa merawat dan mengasihi, kepada selain Ibu Pertiwi. Salahkah jika tidak mengingat ia yang bukan siapa-siapa?

Apalagi, Indonesia  bukanlah  agama yang setiap saat bertandang dengan mata nanar siap memberikan balasan sepedih-pedihnya bagi yang ingkar dan hadiah tak terbayangkan bagi yang taat, sehingga harus selalu kami lekat dan ketat dalam otak.

Mungkin saja, karena kami tidak biasa merayakan hari kelahiran. Anak-anak tidak pernah diberi hadiah pada hari kelahirannya. Para orang tua banyak yang tidak tahu kapan dilahirkan. Jika terpaksa ingin mengingat atau ditanya karena ingin mengisi data KK (kartu keluarga), mereka berkata, “Saya lebih tua dari bibimu itu sepuluh tahun,” atau “saat aku menikah, aku baru lulus SD” dan berbagai macamnya, yang tidak menjawab pas kapan dilahirkan. Setidaknya, tahunnya tepat. Untuk tanggal, bulan, apalagi hari—bila mengisi biodata—mereka hanya meraba-raba, tanggal berapa mereka berada.

Baca juga:  Meneguk Tafsir Kopi Syaikh Ihsan Jampes

Kesemuanya, kami beragama islam. Doktrin Islam mengajarkan untuk selalu ‘mengingat mati’. Nabi menganjurkan pergi ke kuburan dan menjanjikan pahala, karena mengingatkan pada mati. Selain faktor budaya turun-temurun, sebab tadi pula, kami paling sering mengadakan tahlilan dari hari kematian hingga tujuh hari setelahnya, pada  hari keempat puluh, hari keseribu, dan setiap tahunnya dari rumah ke rumah, untuk orang  yang telah lalu dan baru saja meninggal dunia.

Entah yang mana penyebab raibnya hari kemerdekaan (Indonesia) lenyap dari diri kami? apakah karena negara yang tak pernah melihat kami, atau para pemimpin kami yang mungkin lupa untuk mengajarkan kepada kami bagaimana cara mencintai negeri ini, karena faktanya sampai saat ini sila kelima dalam pancasila yang menjadi cita-cita kemerdekaan masih sebatas menjadi slogan yang dibaca tanpa dijalani. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top