Sedang Membaca
Potret Lebaran Muslim Cirambeng

Potret Lebaran Muslim Cirambeng

5a330de2 6c85 4e26 8f20 E52ab13ceb44

 

 

Muslim Cirambeng merayakan lebaran sebagai momen dengan suka cita. Kondisi geografis Kampung Cirambeng berada di bawah kaki Gunung Kumbang. Secara administratif masuk ke Desa Pamedaran Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes.  Desa Pamedaran salah satu desa yang menggunakan bahasa Sunda dalam kesehariannya. Dari jumlah 21 desa di Kecamatan Ketanggungan, hanya 9 desa saja yang keseharian menggunakan bahasa Jawa. 

Khalayak umum familiar bahwa orang  Brebes menggunakan  bahasa “Jawa Ngapak”, namun Kampung Cirambeng menggunakan bahasa Sunda karena wilayahnya berbatasan langsung dengan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. (h.3). Jumlah populasinya hingga tahun 2019 diperkirakan 1000 warga dengan komposisi 95% muslim dan NU kultural. 

Masyarakat Ketanggunga yang 90% berbahasa Sunda dengan amaliyah warga NU. Diceritakan saat mencari imam yang  memiliki kriteria fasih membaca al-Qur’an, hafal surat-surat pendek, dan fisiknya kuat. Di Cirambeng tidak banyak orang yang mampu memenuhi kriteria tersebut. Oleh karenanya dilanggar, imam silih berganti dan tak jarang mengimpor dari kampung sebelah. (h.43). 

Ada salah satu imam langar bernama, Rahmad. Ia “diimpor” dari desa sebelah dan kebetulan menikah dengan perempuan kampung Cirambeng. Meski mengikuti organisasi Muhammadiyah. Dalam proses mengimami warga Cirambeng, ia menggunakan amalan NU, tarawih pun 20 rakaat, membaca quut dipertengahan bulan Ramadhan dan berwirid pasca sholat selesai. (h.44). Rahmad memahami bahwa masyarakat dilingkungan masyarakat Cirambeng mayoritas  NU secara kultural. 

Rahmad tidak serta-merta melakukan “judge” amaliyah yang dilakukan oleh jamaah. Ia tidak memaksakan apa yang ia percayai untuk mengikuti keyakinan organisasinya. Prinsipnya untuk bersikap toleransi (tasamuh) dan sikap ‘itidal memberikan solusi bagi jamaah. (h.45).

Baca juga:  Buku Sindhunata Ini Menjadi Obat Dikala Sakit

Dalam buku berjudul “Lebaran Di Jawa; Tradisi Simbol dan Memori”  menggambarkan sisi pergulatan agama dengan kebudayaan Muslim Cirambeng oleh Ceprudin dengan judul tulisan “Lebaran, Makanan dan SImbol Penghormatan Terhadap Keluarga Mertua; Observasi Singkat tentang Tradisi Nyorog di Brebes Selatan” memotret tradisi nyorog yang ada di masyarakat Brebes Selatan beretnis Sunda. 

Kebudayaan nyorong upaya memberi makanan kepada keluarga calon mertua laki-laki oleh calon menantu perempuan. Artinya,  simbol penghormatan keluarga perempuan  tterhadap keluarga calon laki-laki sebagai calon mertua. Ketika nyorog berhenti ke calon mertua, artinya keluarga perempuan sudah taka da hormat lagi kepada calon mertua. (h. viii)

Menjelang lebaran tradisi masyarakat kampung Cirambeng terdapat tradisi “ngambeng”, “ngateran”, “nganjang” dan “nyorong”.  Tradisi “ngambeng” biasa dilakukan  pada malam takbiran berupa makan bersama yang di awali tahlilan dengan makanan yang dikumpulkan dari warga secara sukarela.  Lalu “ngateran” merupakan tradisi memberi makanan kepada keluarga terdekat, yang usianya lebih tua. Orang tua menjadi penerima utama dalam tradisi ini. “Ngateran” dilakukan pada hari terakhir puasa. (h.8)

Tradisi muda-mudi Cirambeng saat “Nganjang” dengan mengantarkan pemuda ke rumah sang kekasih beramai-ramai. Di malam itu, sang kekasih sudah siap menerima tamu dengan jumlah banyak. Selain “nganjang”, tradisi “nyorog” di akhir puasa juga menjadi magnet 9d

Baca juga:  Apa yang Dikatakan Carool Kersten tentang Islamisasi Indonesia?

i kampung Cirambeng. Keluarga perempuan yang telah berstatus “tunangan”  akan terlihat lebih sibuk untuk mempersiapkan semua yang akan di bawa kepada calon mertua. 

Empat tradisi bernama “ngambeng”, “ngateran”, “nyorog” dan “nganjang” menjadi magnet di saat lebaran. Ingatan akan kampung halaman bagi warga Cirambeng menjadi “imaji” tradisi komunal. Di tambah pasca 2014, warganya 75% merantau ke daerah Jabodetabek. 

Lebaran (bagi Muslim Cirambeng) menjadi koskata lokal yang begitu memberi warna. Menyebut lebaran, tak hanya tentang sholat Id, tetapi perjumpanan dengan segenap aksesoris kultural yang subtansinya bersifat universal. Ia berbicara tentang kemanusiaan, solidaritas, berbagi, status sosial dan seterusnya. 

Tradisi lebaran di Kampung Cirambeng ditafsirkan oleh Cahyono dalam tulisan berjudul “Idul Fitri dan Identitas Kultural Muslim Pesisir Pantura Selatan: Potret Perayaan Idul Fitri dalam Ragama Tradisi di Dusun Cirambeng“ mencermati kehidupan masyarakat Sunda di Jawa Tengah bagian selatan. (h. x) Tradisi “ngambeng” dimaknai sebagai solidaritas kolektif mengenai upaya menjaga tali silaturahmi, gotong royong, semangat berbagi dan persaudaraan. “Ambeng” nya sebagai simbol  rejeki yang wajib dirayakan secara kolektif. (h. 136). 

Dimensi tradisi “nganjang”  sedang membangun tradisi religiusitas dan sosial. Konteks agama dalam peristiwa silaturahmi sesama umat beragama untuk menjaga “silaturahmi”. Pihak perempuan juga harus menyediakan perempuan sebagai dimensi sosial yang mana hidangan sesuai kemampaun masing-masing (h. 139). 

Masyarakat Muslim Cirambeng merepresentasikan  Idul Fitri tidak semata-mata hanya ekpresi ritual keagamaan, tetapi lebih pada bagaiamana ruang komunal ini menjadikan jematan membangun masyarakat yang harmonis. Kedua, perayaan idul fitri dalam bingkai aneka ragatradisi keubdayaan bagian dari kekuatan kultural masyarakat Muslim Cirambeng. (h.x) Aneka ragama, tradisi dan kebudayaan pada idul fitri menjadikan kekuatan kultural dan ragama tradisi masyarakat Muslim Cirambeng. 

Baca juga:  Tiga Kisah Viral tentang Mimpi Para Sufi dalam Kitab Nasaih al-‘Ibad dan Usfuriyyah

Dalam buku berjudul “Lebaran di Jawa ; Tradisi, Simbol dan Memori” notabene kumpulan tulisan yang mengulas tradisi lebaran di daerah Kebumen, Jakarta, Kendal, Kudus, Rembang, Bondowoso, Pati. Masing-masing menceritakan kultur lebaran dengan yang bukan perayaan sich. Melainkan, melihat dari kacamata peristiwa sosial yang seyogyanya dipahami oleh umat Islam. 

Meski begitu, buku ini kurang menonjolkan analisis wilayah yang sangat berkaitan dengan kondisi sosial. Misalnya tradisi lebaran bagi muslim wilayah pantai utara akan berbeda dengan pantai selatan. Belum lagi, di wilayah tengahan yang cenderung “dataran tinggi”. 

Perbedaan buku  ini dengan terjemahan disertasi Andre Moller berjudul “Ramadhan di Jawa; Pandangan dari Luar”  ada pada memfokuskan kajian pada  bagaimana orang-orang Islam di Indonesia khususnya di Jawa, dalam memahami dan menunaikan puasa di bulan Ramadan. Buku ini patut di baca untuk menambah khazanah saat perayaan lebaran  yang akan datang.

 

Judul Buku : Lebaran di Jawa; Tradisi, Simbol dan Memori

Tahun Terbit : Desember, 2019

Editor : Ubbadul Adzkiya’

Penerbit : ELSA Press

Halaman : 129 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top