Produksi karya-karya sastra Indonesia, sejak tahun 2000 hingga dua dekade berikutnya, cukup marak di seluruh pelosok negeri. Tetapi, karena pengaruh dampak eforia dari kekuasaan militerisme selama tiga dekade sebelumnya, para penulis muda – yang terlahir pasca 1965 – memilih menerbitkan karya-karya mereka secara independen. Bahkan, di samping masih banyak yang terbit di pusat-pusat kota, semisal Jakarta, Yogyakarta dan Bandung, namun lebih banyak dari para penulis muda memilih menerbitkannya di kota-kota kecil di daerahnya, baik tingkat provinsi maupun kabupaten.
Kita ambil contoh dari karya sastra yang akhir-akhir ini banyak mendapat apresiasi publik, semisal novel Pikiran Orang Indonesia. Meskipun novel tersebut diterbitkan oleh penerbit independen, namun tetap sudah terdaftar dan ber-ISBN. Pemasarannya memang terbatas, hanya berpusat di toko-toko buku wilayah Cilegon dan Serang (Banten), namun tidak sedikit penulis dan akademisi yang kemudian berbaik hati untuk menyebarluaskannya melalui jaringan internet (atas seizin penulisnya).
Penerbitan buku-buku sastra di daerah seumumnya terinspirasi dan digerakkan oleh komunitas sastra yang ada di setiap daerah, sehingga basis komunitasnya pun sangat beragam. Tentu saja perkembangan ini sangat positif, hingga perlu dicermati sebagai kajian historis kesusastraan Indonesia di era kekinian.
Terkait dengan kajian historis, maka adakah selama ini pengimbangan atau keselarasan antara perkembangan sastra (pasca Orde Baru) dengan munculnya penerbitan buku tentang sejarah sastra kita? Inilah yang menjadi ironi yang mengenaskan. Karena, lantaran stagnasi ini yang mengakibatkan buku-buku sastra Indonesia masakini menjadi kurang terlacak, kurang terdata, dan dengan sendirinya belum dikenal oleh pembaca luas, baik secara nasional maupun internasional.
Perkembangan sastra mutakhir Indonesia hendaknya tidak tercecer ke mana-mana, sehingga publik dapat mengakses dan mengenalinya satu persatu. Misalnya tentang kumpulan cerpen atau puisi yang dihasilkan dari goresan pena Supadilah Iskandar, Pujiah Lestari, Chudori Sukra, Muakhor Zakaria dan lain-lain. Seumumnya, mereka adalah generasi-generasi penulis yang muncul pasca militerisme rezim Orde Baru. Lalu, mengapa seakan ada keterputusan (stagnasi), antara perkembangan sastra dengan pendataan dan penulisan sejarah sastra Indonesia mutakhir?
Padahal, sejarah sastra tak lain merupakan bagian dari aspek pendidikan dan pembelajaran ilmu sastra juga. Tetapi, ketika ilmu pendidikan sastra itu tak didukung dengan pendokumentasian (yang meliputi pencatatan dan identifikasi) maka di manakah letak kepedulian bangsa terhadap dunia pendidikan sastra yang merupakan ujung-tombak kemajuan budaya dan peradaban?
Belum lagi, jika kita memasuki kajian sastra dari sisi sosiologis dan antropologis – sebagaimana novel Perasaan Orang Banten – yang dengan terampil dan cekatan mampu merelasikan karya sastra dengan masyarakatnya.
Bagaimanapun, harus kita akui secara jujur bahwa kita memang belum mempunyai tradisi yang kuat dalam mendokumentasi karya-karya sastra Indonesia. Padahal, dalam realitas produksi penerbitan karya sastra, telah terjadi lonjakan perkembangan yang sangat pesat. Misalnya, di Jawa Timur, Madura hingga Sumatera, banyak sastrawan-sastrawan muda yang aktif menulis sastra, khususnya kumpulan cerpen dan puisi, baik dalam bentuk antologi banyak penulis maupun yang bersifat pribadi. Penulisnya memiliki keunikan latar belakang yang berbeda-beda, baik dari kalangan jurnalis, mahasiswa, guru, dosen, pengasuh pesantren, ibu rumah tangga, hingga pekerjaan sederhana seperti tukang odong-odong yang menghibur anak-anak di jalanan.
Akan lebih optimal seandainya di tiap-tiap kabupaten atau provinsi ada penulis sejarah sastra yang berminat untuk menuliskan atau mendokumentasikan setiap karya sastra yang pernah ditulis di daerah masing-masing. Kemudian, hasilnya ditingkatkan dalam skala nasional. Dalam hal ini, institusi lembaga bahasa atau lembaga kesenian dan kebudayaan yang ada di setiap daerah, mesti memiliki kepekaan dan kepedulian. Mereka memiliki segala perangkat dan fasilitas untuk melakukan pendataan dan pendokumentasian karya-karya sastra yang pernah diproduksi di setiap area wilayahnya. Dilengkapi dengan data-data yang tersedia di Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang dapat dijadikan sumber kelengkapan dokumen.
Maka, kita akan memiliki buku sejarah sastra yang menggambarkan lahirnya karya sastra secara periodik, sebagai kelanjutan dari tradisi luhur pendokumentasian sastra yang pernah ada di republik ini. Sebab, bagaimanapun, materi sejarah sastra harus terus diperbaharui, sebagai gambaran tentang realitas produksi karya sastra di seluruh negeri hingga saat ini. Kita tentu saja tak dapat hanya menggunakan buku sejarah lama, karena kita tak dapat memberikan gambaran sejarah sastra Indonesia hingga pada perkembangannya yang mutakhir. (*)