“Jika kau tak lagi punya rasa malu, berbuatlah semaumu,” Ali bin Abi Thalib
Dapat dipastikan semua ulama sepakat perihal keutamaan taubat bagi setiap muslim. Mau ulama sufistik macam Syekh Abdul Qadir al-Jailani hingga Ibnu Taimiyah yang dikenal “tegas-syar’i”, ihwal taubat niscaya sama diagungkannya. Kendati tentulah para ulama pun memiliki kekhasan tersendiri dalam mendefinisikan dan mengepistemologikannya kemudian.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, misal, menjelaskan taubat sebagai lelaku rohani yang tak hanya dijalankan untuk memohon ampunan-Nya dari dosa-dosa yang telah dilakukan, tetapi juga lelaku yang mesti dipendarkan dalam amal-amal kebaikan. Orang saleh, ujarnya, akan selalu menjadikan taubat sebagai watak laku kesehariannya.
Lain dengan, misal, Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Murid kesayangan Ibnu Taimiyah ini meletakkan taubat sebagai jalan syariat untuk memohon ampunanNya atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Maka kaifiyat taubat mestilah dibungkus dengan “sikap menyesali, berjuang tak mengulangi lagi, dan mengiringinya dengan amal kebaikan”.
Ihwal rujukan dalil-dalilnya, tentulah semua ulama melandaskan pada khazanah ayat dan hadis yang sebagian besarnya sama belaka. Jadi, dalil-dalinya bisa saja sama, namun takwil-takwilnya kemudian berbeda dan beragam.
Pentingnya taubat sebagai jalan hidup muslim hari ini meluas dalam dua bentuk utama yang sangat jauh berbeda. Pertama, tetap disebut taubat, kedua, populer dengan istilah “hijrah”.
Taubat: Syariat dan Hakikatnya
Kalangan muslim masa kini yang menyebut taubat tetap taubat maupun hijrah, secara hakiki (ontologis) sama-sama meyakini bahwa taubat adalah pintu “imani” bagi kembali pulangnya diri kepada jalan Ilahi.
Seseorang yang dulunya karib dengan kemungkaran dan kemaksiatan, lalu di suatu masa menyesali semua amal buruknya, ia akan memasuki taubat sebagai pintu gerbang rohani barunya. Secara syariat, umumnya cara taubat diwujudkan melalui memperbanyak istighfar, tidak mengulangi perbuatan buruk itu lagi, dan mengisi hari-harinya dengan amal-amal ibdah dan kebaikan.
Kita bisa menyaksikan ini pada publikasi banyak selebritis yang melakukan pertaubatan dari dunia masa lalunya yang glamour. Bagaimanapun bentuknya, secara ontologis, gerakan taubat yang ditapakinya kini tentulah layak dinyatakan sebagai kemajuan spiritual.
Mereka secara umum menapaki jalan taubatnya dengan meninggalkan dunia lamanya, lalu intens mengikuti kajian-kajian agama Islam yang diasuh sejumlah ustaz (lebih karena faktor mudah diakses berkat dunia digital), kemudian (sebagian) aktif mensyiarkan syariat Islam melalui postingan-postingan sosial medianya, hingga mengubah penampilannya sedemikian rupa yang lalu dipopulerkan dengan sebutan “syar’i”.
Wajar belaka bila gerakan taubat para selebritis itu disambut gembira dan bahkan meriah oleh sebagian besar umat Islam. Bagaimanapun, umat Islam terasa mendapatkan karunia energi besar dengan bergabungnya pada selebritis itu, yang notabene memiliki pengaruh besar kepada para fansnya. Dan, secara syariat, fenomena taubat yang populer dengan julukan “hijrah” ini sahih belaka.
Kita ingat benar tatkala dulu Nikita Mirzani yang dikenal kontroversial itu mengunggah postingan-postingan hijrahnya melalui perubahan fashion-nya yang kasat mata. Banyak sekali umat Islam pegiat Instagram yang menyambutnya dengan gegap-gempita. Bahkan ada yang merayakannya dengan senandung “thala’al badru ‘alaina….” meniru sambutan raya masyarakat Madinah kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya yang berhijrah dari Mekkah.
Hijrahnya Rasulullah saw dari Mekkah ke Madinah ini pulalah yang lalu dijadikan rujukan historis oleh sebagian muslim hari ini dalam menggunakan dan mempopulerkan istilah “hijrah” tersebut. Seolah sejarah adiluhung tersebut telah sangat tepat untuk menggambarkan kembali pulangnya seseorang dari dunia maksiatnya di masa lalu menuju kemadaniyahan (kecerahan, keberadaban) –sesuai dengan apa yang telah dilakukan Rasulullah Saw dengan hijrahnya dari Mekkah ke Madinah.
Sebagai “gerak perpindahan” (dari maksiat ke syariat), penggunaan istilah hijrah tersebut sahih saja didapuk –kendati istilah lama “taubat” pun tetap tak bergeser derajat sahihnya. Akan tetapi, jika dirujukkan kepada keutuhan historis hijrahnya Rasulullah saw dari Mekkah ke Madinah, istilah hijrah hari ini, beserta seluruh fenomenanya, menjadi tampak reduksionis dan sekaligus glorifikatif (mengikis dan sekaligus berlebihan).
Reduksionis dikarenakan faktanya Rasulullah saw dan para sahabatnya berhijrah ke Madinah, melakukan “gerak perpindahan”, sama sekali bukan karena bertaubat atas kesalahan-kesalahan di masa lalu –sebagaimana laku hijrah hari ini. Rasulullah saw hijrah semata-mata demi menghindari intimidasi sosial-politis dari para kuffar Quraisy. Konteks historis ini jelas tak sepadan sama sekali dengan kehidupan kita hari ini yang bebas dijamin Undang-Undang dan pranata sosial umpama mau bertaubat di mana saja.
Glorifikatif dikarenakan praktik hijrah hari ini cenderung dirayakan dengan selebrasi yang luar biasa –baik oleh pelaku maupun komunitasnya—sehingga perkara yang khittahnya personal tersebut meluas seolah menjadi urusan semua orang. Taubat yang asalinya sunyi-diri-sendiri kini terglorifikasi sedemikian riuh-selebratif-publiknya. Plus, kita tahu, sejarah hijrah Rasulullah Saw dilakukan dengan diam-diam….
Baiklah, kita pinggirkan saja dulu persoalan etimologis yang problematis ini. Kini kita beralih kepada substansi (hakikat) taubat itu sendiri.
Telah saya sitir bahwa aktivitas hijrah sebagai padanan gerakan taubat hari ini sahih saja untuk dipakai secara syariat, sebagaimana tetap sahihnya menggunakan istilah lama, taubat. Pada aspek syariatnya, kedua istilah ini asalinya sama belaka isinya.
Yang lalu berikutnya mesti kita pertimbangan dengan seksama dan teliti ialah dimensi hakikatnya, batiniahnya, rohaninya.
Mau pakai istilah hijrah, seyogianya kita senantiasa teguh menggenggam asas dasarnya bahwa ia adalah gerakan pertaubatan. Dan pertaubatan, menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani, adalah kunci bagi ketakwaan. Dan ketakwaan adalah kunci bagi terbukanya segala bentuk kebaikan (‘ubudiyah dan mu’amalah).
Ini hakikat bagi kata kunci taubat (juga padanannya sebagai hijrah).
Seseorang yang tergerak untuk bertaubat pastilah fase awalnya dikarenakan ia menerima “getaran iman” (dalam bentuk perasaan maupun peristiwa) dari Allah Swt. Kondisi ini semacam merekonstruksi bangunan rohani yang porak-poranda dan lahirlah, lalu menjelma kerinduan spiritual untuk pulang kepada-Nya. Jika ia terus mengikutinya, maka makin sempurnalah ia menuju kepada jalan pertaubatannya.
Ini artinya, nomor satunya adalah bangunan iman.
Lalu, mari kita masuk ke ranah takwa yang oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani tadi dinyatakan sebagai pintu bagi kebaikan-kebaikan.
Alamiah untuk dimengerti mengapa orang-orang yang melantunkan taubat dalam hatinya –tanpa diglorifikasi sekalipun—pada detik yang sama mendekat kepada ketakwaan dan menjauh dari histori keburukannya. Iman di hati yang telah reborn itulah yang menggerakkannya. Pergerakan inilah yang melahirkan ekspresi-ekspresi karena memang iman tak mungkin berjalan tanpa ekspresi-ekspresi. Dan ketakwaan adalah roda-roda bagi hati untuk melajukan ekspresi-ekspresi tersebut dalam bentuk amal-amal konkret.
Anda bisa lihat dalam banyak sekali ayat dalam Alquran mengapa kata “amanu” (beriman) dan “ittaqu” (bertakwa) senantiasa disebut berbeda dengan urutan hierarkis: iman dulu, takwa kemudian. Ini misal:
Ya ayyuhal ladzina amanut taqulLah haqqa tuqatih wala tamutunna illa wa antum muslimun….
Ya ayyuhal ladzina amanut taqulLah waqulu qaula sadida yushlih lakum a’malakum wa yaghfir lakum dunubakum….
Ya ayyuhal ladzina amanut taqulLah waltandhur nafsun ma qaddamat lighadin wattaqulLaha….
Ini memperlihatkan adanya relasi-simbiosis-automatis antara iman dan takwa di hati. Ketika ia telah terejawantahkan dalam ragam ekspresi kebaikan, yang bisa dilihat dan dirasakan orang lain, seperti istiqamah shalat sunnah, sedekah, dan menjaga ucapan, itulah buah nyata takwa yang melimpas dari pohon pertaubatan dengan dinahkodai iman.
Orang beriman memang belum tentu bertakwa, tapi orang bertakwa pasti beriman.
Jelas sampai di sini bahwa ungkapan Syekh Abdul Qadir al-Jailani itu mengakomodir dimensi hakikat taubat dan sekaligus syariatnya –termasuk ejawantah riilnya sebagai keniscayaan.
Simpul-Simpul Rawan Hijrah
Yang lalu menjadi simpul-simpul genting untuk kita renungkan hari ini ialah mengapa glorifikasi taubat melalui hijrah “rawan” tergelincir roda-rodanya menjadi sekadar perayaan heroik lahiriah-artifisial dan nampak jauh dari kedalaman rohaniahnya –dengan ungkapan ekstrem: ketakwaan?
Mohon maaf, saya tak pernah bermaksud menghakimi para pelaku hijrah tidak kokoh imannya. Ihwal iman, selain yanqush wa yazdad, mutlak ia bertahta di hati personal setiap kita. Tak ada seorang pun yang berhak menakar-nakar iman orang lain.
Namun mari kita berusaha berpikir metodis karena kita telah memahani bahwa –sekali lagi—iman adalah “mesin hati” yang menggerakkan roda-roda ketakwaan dengan panen buah-buahan berupa kebaikan-kebaikan personal (‘ubudiyah) dan komunal (mu’amalah, akhlak). Dengan kata lain, secara metodis, kualitas iman seseorang cum roda-roda ketakwaannya niscaya senantiasa memancar dalam ekspresi-ekspresi kesalehan individual dan sekaligus sosial.
Dikarenakan korelasi-simbiosis-automatis dimesi rohaniah dan sosial tersebut adalah keniscayaan secara metodis (dan jelas secara ilmiah ini bisa dibuktikan; bukan mengada-ada), tentulah menjadi keganjilan tersendiri pula secara metodis tatkala kita menyaksikan para pelaku hijrah (tentu tak semua) memperlihatkan perilaku yang tak singkron. Bagai terbekap halimun anomali. Saya tentu tak perlu menyebutkan nama-nama beken yang kebetulan terpublikasikan luas pada konteks yang dimaksud ini. Anda pastilah bisa menyebut nama-nama itu dengan sama baiknya dengan ingatan saya.
Kita bertanya-tanya kemudian: mengapa pertaubatan mereka yang diglorifikasi dengan luas melalui bendera hijrah, di detik yang sama mengumbulkan kepatuhan syariat yang memukau tetapi di sisi lainnya mewartakan residu cahaya rohani?
Kita bisa menyaksikan langsung dengan vulgar pelbagai unggahan gencar “muhajirin cum tawwabin” yang berubah total penampilan fashion dan captionnya –dari sebelum hijrah—menjadi sedemikian syar’inya. Lema-lema khas Islam-Arab macam subhanallah, alhamdulillah, masya Allah, hingga sekadar petil-petil kosakata ringan Arab macam ana, antum, akhi, ukhti, dan sebagainya, dideraikan sedemikian derasnya di sosial media mengiringi pelbagai balutan penampilan dan aktivitas keseharian yang juga menyimbolkan dengan pekat situasi-situasi syariat–entah itu kajian, liqa’, silaturahim, hingga sekadar selfie sedemikian rupa semata.
Pada derajatnya yang sempurna memantik keganjilan rohani yang saya maksudkan tadi, kita pun mudah sekali menyaksikan mereka berfatwa tentang pelbagai bentuk dan hukum syariat Islam –atau kerap diistilahkan syiar dan dakwah—yang tak jarang meletupkan “ketegangan sosial” dengan pihak-pihak lain. (aa)